Anomali Etik Dunia Akademik

DUNIA akademik kita seakan Bukan pernah Senyap dengan masalah etika. Saban bulan kita nyaris senantiasa disuguhi pelanggaran-pelanggaran yang dapat dikatakan mengagetkan hingga kita Layak mengeryitkan dahi sebagai pertanda kegundahan yang amat mendalam. Kita dipaksa menahan dan mengehela napas Panjang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dunia akademik kita? Mengapa masalah pelanggaran etika Lanjut-menerus terjadi tiada henti? Dosa apa yang tengah menimpa dunia akademik kita sehingga kutukan demi kutukan datang silih berganti bak jamur pada musim hujan?

Sejak Agustus 2024 yang telah lewat hingga kini April 2025, kita disuguhi pelanggaran etika dunia akademik yang sungguh-sungguh Membangun kita kecewa dengan dunia akademik. Kasus ‘jual-beli’ gelar profesor kehormatan, doktor ‘abal -abal’ karena Bukan memenuhi standar akademik yang diperoleh para politisi dan pejabat negara, plagiarisme penulisan disertasi, Tiba pelecehan seksual yang dilakukan para dosen perguruan tinggi yang bergelar doktor bahkan profesor. Dunia akademik kita Betul-Betul nyungsep dalam hal etika karena pelanggaran-pelanggaran yang Lanjut-menerus disuguhkan kepada publik.

Kasus paling mutakhir ialah terjadinya pelecehan seksual seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi negeri tersohor di Yogyakarta hingga diberhentikan Bukan hormat karena melakukan tindakan asusila pelecehan seksual terhadap para mahasiswa. Perguruan tinggi, melalui sidang etika yang dilakukan dewan etika perguruan tinggi, akhirnya memberhentikan seorang profesor farmasi tersebut karena terbukti melakukan tindakan amoral, melanggar etika dosen, bahkan etika akademik.

Pada awalnya sang profesor menyangkal bahwa yang dilakukan tidaklah seperti yang dituduhkan karena dengan argumentasi memanggil mahasiswa bimbingan ‘sebagai anaknya’. Tetapi, bergeming, dewan etika perguruan tinggi Bukan Dapat menerima argumen sang profesor Buat tetap menjatuhkan Hukuman dan memberhentikan dengan Bukan hormat.

Sungguh miris dunia akademik yang Sepatutnya menjunjung tinggi etika akademik, tapi sebaliknya, seluruh etika dilanggar dengan tanda malu-malu. Kasus ‘jual-beli gelar’, plagiarisme, guru besar abal-abal, Tiba kekerasan seksual merupakan pelanggaran dimensi etika yang sangat mendalam.

Oleh Asal Mula itu, Apabila Lagi Terdapat dosen atau pendidik yang Lagi mengelak, membela, bahkan Bukan mau Mengerti dengan kasus-kasus pelanggaran etika semacam itu, sangat layak dipertanyakan komitmen etiknya dengan dunia akademik yang selama ini sudah Sepatutnya dan Mempunyai kewajiban Buat menjunjung tinggi etika sebagai muruah dunia akademik yang Bukan boleh tergadaikan.

Cek Artikel:  Pendidikan Buat Mitigasi Perubahan Iklim

Apabila Lagi Terdapat dosen dan kampus yang membebaskan dosennya berkeliaran di dalamnya, padahal Jernih-Jernih sang dosen atau profesor melanggar etika, dunia kampus dipertanyakan kontribusi etikanya kepada publik. Sungguh kampus yang demikian dapat dikatakan sebagai kampus yang dengan sengaja melecehkan etika akademik dan agak Bukan Layak Buat dijadikan teladan dalam membangun moralitas publik di masa kini dan masa mendatang. Kampus yang membiarkan pelanggaran etika Lanjut terjadi sudah selayaknya diberi gelar sebagai ‘pemberi musibah’ pada bangsa dan masyarakat luas, bukan Kembali sebagai pendidik moral etik yang dapat menjadi acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

 

PARA PECUNDANG

Apakah kita rela kampus dihuni para pecundang? Ketika kampus yang dihuni para pecundang etika, rusaklah dunia akademik yang terhormat tersebut. Para dosen yang Terdapat di dalamnya Bukan layak Kembali disebut sebagai pencetak atau pendidik calon-calon intelektual. Dosennya pun Bukan layak disebut sebagai intelektual. Dosennya lebih layak disebut ‘para pecundang’ yang kalah dalam memberikan landasan nilai-nilai etik pada mahasiswa karena hasrat kuasa dan nafsu yang menang dalam karya akademik.

Seorang intelektual di dunia kampus, seperti dikemukakan Julian Benda (1992), Sepatutnya berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, tanpa tedeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan sekaligus sebagai individu yang pemberani serta marah Apabila Menyantap pelanggaran. Ini malah berpikiran dan bertindak sebaliknya: sebagai pengabdi kekuasaan dan hamba syahwat rahwana. Bagi Benda, seorang intelektual semestinya Bukan memberikan ruang sedikit pun pada kekuasaan dan kezaliman Buat Bukan mendapatkan kritik. Oleh Asal Mula itu, Apabila intelektual di dunia kampus telah mengabaikan kekuatan kritik kepada penguasa dan pelanggaran, sungguh dunia akademik telah hancur lebur karena ulah para penghuninya.

Seorang intelektual/ilmuwan yang Terdapat dalam dunia kampus atau dunia akademik semestinya secara Berbarengan-sama menciptakan tatanan yang Bagus dalam masyarakat. Mereka kaum intelektual/ilmuwan merupakan mahkluk langka karena selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan sosial sehingga mereka layak mendapatkan gelar ‘Bersih’ sebagai bentuk distingsi dengan masyarakat awam yang bekerja kadang menabrak kaidah-kaidah kebenaran, moral, dan keadilan. Sungguh sangat mulia keberadaan seorang intelektual atau ilmuwan dalam dunia akademik. Tetapi, sekali Kembali belakangan sedang hancur sehacnur-hancurnya karena perilaku dan pikiran yang mereka lakukan sendiri.

Cek Artikel:  Transformasi Pendidikan Tinggi Indonesia Cerminan, Jalan ke Depan dan Perlunya Ruang Generative Serempak

Kaum intelektual atau ilmuwan tengah menggadaikan dirinya dalam hasrat kuasa dan tuna etika yang berujung pada pemenuhan syahwat rahmawana. Para intelektual-ilmuwan menjual diri mereka dengan ‘harga murahan’ di pasaran iklan kepada pemilik kuasa, pemberi kenikmatan duniawi, menjajakan profesi kepada para pemberi Fulus, kenikmatan instan, sehingga seorang intelektual-ilmuwan tak ubahnya seorang pelacur yang menjajakan dirinya pada pelanggan demi mendapatkan imbalan material (Fulus) yang dikehendaki sebagai pemuas dirinya. Inilah ‘intelektual-ilmuwan pecundang’ yang tunduk pada gasrat kuasa dan nafsu rahwana di dunia kampus. Kampus Bukan boleh menumbuhkan Insan-Insan yang Mempunyai tabiat sebagai rahwana karena akan menghancurkan dunia seisinya secara perlahan-lahan, tapi Niscaya.

Apabila kita mengikuti Edward W Said (1997), seorang intelektual-ilmuwan semestinya bukan melayani birokrat yang berkuasa dan majikan yang dermawan. Seorang intelektual-ilmuwan merupakan aktivis yang dalam dirinya senantiasa ‘Bimbang’, memberontak, melawan, dan dengan sadar melakukan perlawanan atas ketidakadilan sosial, pelanggaran etika, moral, dan melakukan Penyelidikan atas ketimpangan sosial, dan berpikir dan bertindak senantiasa berdasarkan pertimbangan moral. Seorang intelektual-ilmuwan bukanlah yang dengan mudah ‘Hening diri’ dan ‘tidur nyenyak’ ketika pelanggaran etika terjadi. Seorang intelektual-ilmuwan Bukan ‘berdiri di atas angin’ dan terbang bersamanya. Dia adalah yang bergaul Berbarengan masyarakatnya yang mendapatkan banyak masalah sosial dan pelanggaran etika.

Oleh Asal Mula itu, seorang intelektual-ilmuwan haruslah Mempunyai kemampuan Buat mengomunikasikan gagasannya pada publik sehingga dengan mudah masyarakat luas dapat menerima, bukan sebaliknya, publik menolak karena senantiasa berkutbah di atas Mega tanpa turun ke bumi.

Apabila seorang intelektual Bukan melibatkan dirinya dalam dunia Konkret, dia Bukan layak dikatakan sebagai seorang intelektual yang dapat dimintai petunjuk dan panduan moral-etik dalam kehidupan Konkret. Seorang intelektual sejati ialah mereka yang mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai kebenaran dalam perjuangan sosial-politik dan budaya. Dia, sekalipun Bukan sanggup mengatasi seluruh persoalan kehidupan Konkret, dapat memberikan inspirasi kepada publik karena bersandar pada kebenaran dan Fakta sosial.

Karenanya, seorang intelektual-ilmuwan dalam dunia akademik memang sering kali sangat berat tugasnya. Dia selalu berdiri di antara kesendirian dan pengasingan. Seorang intelektual-ilmuwan dalam dunia akademik dengan demikian Bukan berada dalam keramaian yang penuh dengan tipu muslihat, pencitraan tentang kesederhanaan, kebajikan, dan berbagai Ragam jenis penghormatan. Seorang intelektual-ilmuwan dalam dunia akademik karena itu Bukan Kehausan pujian dan menuruti nafsu serakah titisan rahwana sang penghancur dunia. Apabila terdapat seorang yang menuruti hasrat kekuasaan dan syahwat rahwana, dia sangat Bukan layak sebagai seorang intelektual-ilmuwan. Dia hanyalah pecundang bertopeng etika-moral akademik.

Cek Artikel:  Pemilu, Perlawanan Demokrasi Rakyat

 

MURUAH AKADEMIK

Fakta bahwa para intelektual-ilmuwan Mempunyai tugas dan beban berat dalam dunia akademik Bukan terbantahkan. Dia harus Mempunyai kejujuran etik, kejujuran akademik, serta kejujuran sosial. Seluruh ini tentu saja beban berat seorang dosen Apabila Ingin dikatakan sebagai intelektual. Tetapi, ketahuilah, seorang dosen yang menjunjung tinggi etika-moral akademik akan mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang tingggi di tengah masyarakat yang penuh dengan hiruk pikuk dan ingar bingar kehidupan sosial, politik, dan budaya instan.

Seorang intelektual-ilmuwan sebagai dosen akan senantiasa melibatkan dirinya dalam aktivitas yang dipandu oleh harkat dan Derajat moral-etik. Dia akan berusaha berdiri tegak di antara para pecundang, para pembisik kejahatan, penipu, pengkhayal, para bandit intelektual, dan para pander. Seorang intelektul-ilmuwan hanya akan bekerja sesuai dengan bisikan hati nuraninya demi membela kebefnaran akademik dan kebaikan etika, bukan menjadi hamba sahaya di hadapan penguasa dan pengusaha karena Cita-cita mendapatkan imbalan yang bersifat instan.

Apabila seorang intelektual-ilmuwan melakukan penelitian, menulis, kemudian memublikasikan karyanya Bukan bertujuan mengharap pujian maupun tunjangan berupa Bonus material. Tetapi, seorang intelektual-ilmuwan Apabila dia melakukan penelitian, pengajaran, pengabdian, dan memublikasikan karyanya karena memang dorongan yang kuat dalam kaitannya sedang menyebarkan pengetahuan, memberikan pendidikan, dan mengabdi kepada kasyarakat luas yang mungkin kurang Berhasil seperti dirinya. Inilah kemuliaan seorang intelektual-ilmuwan dalam menjawab kekhawatiran akan Renyah dan hancurnya etika-moral akademik. Dia tetap Tegar dan berdiri tegak dalam berbagai ancaman, teror, dan hinaan karena Lanjut menegakkan kebenaran dan keadilan sosial.

Seorang intelektual-ilmuwan dengan demikian dapat dikatakan sebagai ‘pemberi obor’ penerang di tengah kegelapan malam. Dia bagaikan lilin atau lampu temaram yang nyala Lanjut sekalipun terjangan angin Lanjut menghampirinya dengan kencang. Nyala lilin dan lampu temaram memberikan titik terang di tengah kegelapan dunia yang penuh dengan karut marut karena dorongan hasrat nafsu serakah dan syahwat rahwana. Seorang intelektual pikiran dan tindakannya tersistem dalam lingkaran kebenaran akademik dan etik, bukan sebaliknya, menjungkirbalikkan kebenaran dan etika sehingga menjadi anomali akademik.

 

Mungkin Anda Menyukai