BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kita harus mempertahankan Daerah kita. Kita harus mempertahankan kedaulatan kita, kita harus mempertahankan kekayaan kita,” kata Prabowo dalam Upacara Gelar Laskar Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Suparlan Pusdiklatpassus Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/8).
Mantan Danjen Kopassus itu kembali menyatakan bahwa Indonesia harus Mempunyai pertahanan yang sangat kuat. Indonesia, katanya, membutuhkan tentara yang kuat. “Tak Terdapat bangsa yang merdeka tanpa tentara yang kuat,” kata Prabowo berapi-api.
Dalam upacara yang diikuti 27.384 prajurit dari tiga matra TNI (TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU), Prabowo melantik Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, dan enam panglima kodam (komando daerah militer) baru, 20 komandan brigade baru, dan 100 batalion teritorial pembangunan baru.
Di tengah efisiensi anggaran, Prabowo kembali menghidupkan kembali jabatan Wakil Panglima TNI setelah 25 tahun Tak diaktifkan. Jabatan Wakil Panglima TNI terakhir kali diemban oleh Jenderal (Purn) Fachrul Razi pada 1999-2000.
Kini, komitmen Prabowo Buat mempertahankan NKRI diuji dalam sengketa dengan Malaysia yang kembali mencuat, yakni Blok Ambalat. Ambalat ialah blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar.
Blok laut itu juga berbatasan dengan Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Secara geografis, kawasan itu berada di ujung utara Kalimantan, tepatnya di Daerah Nunukan, Kalimantan Utara.
Indonesia dan Malaysia sudah lelet saling klaim atas Ambalat. Buat mengatasi konflik tersebut, dibuat perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia pada 1969. Isinya, Ambalat masuk ke Daerah Indonesia.
Tetapi, 10 tahun kemudian, tepatnya pada 1979, Malaysia mengingkari perjanjian tersebut dengan Membikin peta baru bahwa Ambalat masuk Daerah Malaysia. Peta baru itu juga memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang terletak di perbatasan antara Sabah dan Sulawesi Utara, ke Malaysia.
Peta baru itu bertepuk sebelah tangan. Indonesia dan beberapa negara tetangga lainnya pada 1980 menolak keras peta baru yang dibuat Malaysia.
Pemerintah Indonesia merujuk pada Deklarasi Djuanda 1957 dan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) yang menyebutkan Ambalat masuk landas kontinen Indonesia.
Sebaliknya, Malaysia berkukuh dengan dasar Undang-Undang Essential Powers Ordinance 1969 dan interpretasi mereka atas UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982.
Provokasi Malaysia di Ambalat Lanjut berlangsung. Pada 16 Februari 2005, Malaysia mengumumkan bahwa Blok ND 6 dan ND 7 merupakan konsesi perminyakan baru yang dioperasikan oleh Shell dan Petronas Carigali (Malaysia).
Celakanya, blok tersebut tumpang tindih dengan Blok Ambalat yang dioperasikan oleh Eni Ambalat Ltd dan East Ambalat oleh Unocal Ventures (Indonesia). Penandatangan kontrak proyek tersebut dilaksanakan pada 27 September 1999.
Selanjutnya, pada 21 Februari 2005, kapal perang Malaysia, KD Sri Malaka, menangkap 17 Penduduk Indonesia di Karang Unarang yang Lagi bagian dari Ambalat. Angkatan Laut Malaysia acap kali mengusir nelayan Indonesia keluar Ambalat.
Konflik antararmada tempur Indonesia dan Malaysia beberapa nyaris terjadi. Tak hanya armada laut, pesawat tempur Malaysia belasan kali terbang melintas di kawasan Ambalat pada 2015 sehingga Membikin berang pihak TNI.
Di era pemerintahan Prabowo Subianto, klaim Malaysia semakin menjadi-jadi. Kondisi semakin memanas ketika Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Mohamad Hasan di hadapan Dewan Rakyat Malaysia pada 5 Agustus Lampau menolak penggunaan istilah Ambalat yang dipakai Indonesia Buat menyebut Daerah maritim yang disengketakan tersebut.
Pihaknya akan menggunakan istilah Laut Sulawesi sesuai dengan peta baru yang dibuat Malaysia pada 1979 dan putusan Mahkamah Dunia (International Court of Justice/ICJ) di Den Haag, Belanda, pada 2002.
Publik Indonesia menilai pernyataan Menlu Malaysia sebagai bagian dari provokasi. Padahal, sebelumnya Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim memilih jalur damai Buat mengatasi konflik Ambalat.
Kedua pemimpin negara itu menyepakati skema JDA (joint development authority) atau pengelolaan Berbarengan antara Indonesia dan Malaysia di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (27/6).
Presiden Prabowo dan PM Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan emoh perang. Keduanya memilih jalur damai. Walakin, Indonesia jangan lengah, segala sesuatunya mesti dipersiapkan Buat mengantisipasi kondisi terburuk, terutama Apabila skema JDA Tak membuahkan hasil, bahkan semakin mengaburkan batas kedaulatan Indonesia di Daerah Ambalat.
Kedua negara tak Mau meningkatkan tensi ketegangan di kawasan ASEAN setelah meletusnya perang antara Kamboja dan Thailand yang dipicu sengketa perbatasan yang panjang.
Klaim Indonesia atas Ambalat bukan pepesan Nihil. Dasar kepemilikan Indonesia atas Daerah maritim itu didasarkan pada sejumlah aturan hukum dan fakta historis.
Rakyat tak Mau kecolongan Tengah setelah Pulau Sipadan dan Ligitan Terperosok ke pangkuan Malaysia melalui putusan Mahkamah Dunia pada 2002.
Menurut Mahkamah, kemenangan Malaysia karena negeri bekas jajahan Inggris itu melakukan penguasaan efektif (effective occupation) dengan berbagai kegiatan di lapangan. Artinya, Malaysia lebih mengurus kedua pulau tersebut ketimbang Indonesia yang hanya omon-omon.
Sikap Prabowo yang menyala-nyala apabila berbicara kedaulatan negara hendaknya diwujudkan dengan memberikan kepastian hukum bahwa Ambalat ialah Absah Punya Indonesia. Kepastian hukum itu Pandai melalui soft power atau pun hard power.
Ambalat jangan menjadi bara dalam sekam Rekanan Indonesia dan Malaysia. Tetangga yang Tak baik, kata Hesiod, penyair Yunani, ialah kemalangan, sama seperti tetangga yang Berkualitas ialah berkah yang besar. Tabik!

