HANYA butuh waktu 25 tahun bagi Republik ini untuk ‘memukul’ mundur demokrasi. Begitu sejumlah kritikus menggambarkan situasi yang terjadi di Tanah Air saat ini. Dalam bahasa pendiri Partai Terjaminat Nasional yang kini menjadi penulis, Abdillah Toha, banyak hal yang dilakukan petinggi negeri ini malah sudah ‘membahayakan demokrasi’.
Abdillah merujuk pada ikut cawe-cawenya Presiden Jokowi untuk mengatur strategi ihwal siapa yang bakal menggantikannya di Pemilu 2024 kelak. Juga, tendensi Mahkamah Konstitusi yang ‘rela’ direcoki tangan-tangan kekuasaan sehingga membuat keputusan yang di luar lingkup pekerjaan mereka sebagai penjaga konstitusi.
Para kritikus, termasuk Abdillah, umumnya merisaukan ketidaknetralan Kepala Negara dalam urusan Pemilu 2024 dengan dalih kepentingan nasional berupa keberlanjutan pembangunan. Mereka mengkritik dengan mengatakan bahwa seolah-olah apa yang sudah dicapai saat ini serbabenar, serbasempurna, sehingga harus dilanjutkan dan haram dikoreksi.
Rakyat, kata para kritikus, diharap percaya saja. Diminta manut saja. Kalau ada yang mbalelo, siap-siaplah dipersalahkan dan ditendang dari barisan. Itulah inti pokok dari kerisauan terhadap nasib demokrasi yang alih-alih ditegakkan, justru malah dirobohkan. Demokrasi itu dianggap penghambat ekonomi.
Jadilah hubungan antara demokrasi dan jalan ekonomi kembali dipisahkan. Demokrasi yang memberikan ruang terbuka terhadap suara berbeda dianggap menebar kegaduhan. Para kritikus yang cerewet, gaduh, dan berbeda itu bisa-bisa dicap sebagai pengganggu stabilitas ekonomi. Dapat dimasukkan golongan para pemutus keberlanjutan pembangunan.
Padahal, mereka merasa sedang mempraktikkan jalan demokrasi. Mereka itu tidak sekadar berbeda, tapi sedang menawarkan jalan alternatif. Mereka justru sedang berpartisipasi secara aktif untuk mewujudkan sebagian janji yang belum bisa ditunaikan.
Mereka yang mengkritik pembangunan infrastruktur yang mereka nilai serbasimsalabim dan mentah dalam perencanaan bukan berarti menolak pembangunan infrastruktur. Bukan. Mereka paham bahwa infrastruktur kita ketinggalan. Tetapi, demi memangkas ketertinggalan itu, bukan berarti semua harus selesai pada 2024 tanpa memedulikan ketahanan imfrastruktur tersebut untuk jangka panjang.
Demokrasi yang benar itu ada kebebasan untuk mengoreksi ketergesa-gesaan yang berpotensi menimbulkan keburukan dalam jangka panjang. Demokrasi kerap gaduh, tapi kegaduhan yang perlu. Lain cerita kalau kita memang menolak demokrasi. Di kalangan penolak demokrasi, berkembang pendapat pokoknya demokrasi itu selalu gaduh, penuh ketidakpastian, merongrong kenyamanan, memicu instabilitas.
Padahal, berbagai literatur dan penelitian menunjukkan sebaliknya. Terdapat korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan ekonomi. Demokrasi diyakini membawa pengaruh positif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi tersebut akan membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tingkat kesejahteraan yang tinggi banyak dijumpai di negara-negara yang menerapkan demokrasi secara teguh. Hasil kajian Morton Halperin dan kawan-kawan menunjukkan dalam kurun lima dekade terakhir, statistik pertumbuhan ekonomi di negara-negara demokrasi tercatat 25% lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara otoriter.
Betul bahwa pengalaman Singapura dan Tiongkok menunjukkan hal berbeda. Kedua negara itu seolah mengirim sinyal bahwa ada jalan lain di luar demokrasi untuk mencapai kesejahteraan. Tiongkok, misalnya. ‘Negeri Gorden Bambu’ tersebut mencoba bereksperimen dengan mengawinkan sistem politik otoriter dan sistem ekonomi pasar bebas. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini menjadi momok menakutkan bagi negara-negara Barat.
Kolumnis Fareed Zakaria mengistilahkan negara-negara tersebut sebagai illiberal democracy. Istilah yang diperkenalkan pada 1997 itu menggambarkan fenomena kemunculan negara pseudo democracy. Negara penganut sistem politik nondemokrasi, tetapi memiliki pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi juga termasuk dalam kategori pseudo democracy ala Fareed Zakaria ini.
Kiranya pengalaman Tiongkok dan Singapura itulah yang mengilhami elite kita untuk mengutak-atik demokrasi. Tetapi, itu hanya pengecualian. Pengecualian itu terjadi karena Singapura dan Tiongkok tidak semajemuk Indonesia. Pula, di dua negara tersebut, angka korupsi dan kolusi bisa ditekan. Mereka sangat keras terhadap perilaku korup dan kolutif.
Skor indeks persepsi korupsi Tiongkok yang 43 juga naik signifikan, lebih dari lima poin dalam waktu sewindu. Skor IPK Singapura malah stabil di atas 83 poin. Kepada Indonesia, skor IPK masih naik-turun. Skor IPK Indonesia masih di rentang 36 hingga 38. Dalam kondisi seperti itu, demokrasi justru mesti dikuatkan dan disuntik vitamin, bukan malah terus-terusan dirongrong.
Terdapatnya jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan mengkritik, kebebasan untuk berbeda tanpa dihalang-halangi yang menjadi roh demokrasi justru akan lebih memastikan pertumbuhan ekonomi berlangsung lebih langgeng, adil, dan merata. Demokrasi juga memastikan ruang sebesar-besarnya bagi perlindungan ekologis terhadap sumber daya alam yang kita miliki.
Tetapi, bila yang berbeda sikap terus dihalang-halangi, yang tidak puas tidak diberi ruang mengekspresikan ketidakpuasan, bahkan malah dikucilkan, berarti kita memang mesti membunyikan alarm bahaya bagi demokrasi. Kalau alarm itu mati, mungkin hari ini demokrasi kita sedang rebah. Tetapi, bisa-bisa, besok roboh. Semoga tidak.