
TULISAN ini lahir atas dua kegelisahan pribadi penulis. Kegelisahan pertama ialah fenomena mutakhir tentang perusakan alam dan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. Kedua, kejumudan/kemandekan kaum muslim terhadap tafsir Surat Al-Ma’un.
Atas dua kegelisahan tersebut, tulisan ini akan mengulas tiga hal: perkembangan tafsir teologi Al-Ma’un, fakta dan data kerusakan ekologis dan lingkungan hidup, serta tafsir baru atas teologi Al-Ma’un dalam merespons isu Pemanfaatan alam.
Al-Ma’un sebagai teologi pembebasan
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, teologi pembebasan lahir seiring munculnya gerakan pembaruan Islam dari Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai bentuk respons terhadap problematika kaum muslim dan bangsa Indonesia Ketika itu, seperti kejumudan beragama, kebodohan, kemiskinan, dan penjajahan.
Kepada merespons problematika tersebut, Ahmad Dahlan sebagai pendiri bukan hanya sekadar melakukan pembaruan pemahaman keagamaan yang bersifat teologis, tapi ia juga menawarkan penafsiran keagamaan yang Mempunyai dimensi transformatif secara sosiologis. Karena itu, salah satu pemikiran yang melatarbelakangi berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah ialah teologi Al-Ma’un yang didasarkan pada Surat Al-Ma’un.
Pemahaman teologis ini diterjemahkan ke dalam tiga pilar gerakan Muhammadiyah: pendidikan (schooling), pelayanan kesehatan (healing), dan pelayanan sosial (feeding). Teologi itu pula yang Membikin organisasi ini Bisa bertahan hingga lebih dari satu abad dengan Mempunyai ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, lembaga zakat infak sedekah, dan layanan kesejahteraan sosial lainnya. Teologi Al-Ma’un dipandang juga berhasil membawa penganutnya gigih Kepada membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin), serta mengalami transformasi dari wacana menjadi gerakan Konkret dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pandangan Munir Mulkhan (2010), gerakan kemanusiaan Kiai Dahlan yang berbasis kewelasasihan merupakan nilai dasar dari spirit kenabian/profetik. Spirit ini merupakan kekuatan yang menggerakkan seseorang melakukan tindakan sosial membela sesama yang dapat menandingi konsep Darwinisme yang mengandalkan kekuatan persaingan (struggle of the fittest). Dalam konteks ini, teologi Al-Ma’un juga merupakan bagian dari keberlanjutan meneruskan nilai-nilai profetik yang diemban oleh para nabi.
Inilah teologi Al-Ma’un, yang disebut oleh Mulkhan sebagai ‘teologi humanis’: Insan masuk surga Bukan cukup hanya berbekal salat dan puasa, tapi juga membutuhkan kesadaran akan kepedulian terhadap sesama makhluk hidup, kesadaran akan kepedulian terhadap kemiskinan, kesadaran akan kepedulian terhadap lingkungan hidup, dan kesadaran akan kepedulian terhadap ketidakadilan.
Perkembangan tafsir teologi Al-Ma’un
Tafsir teologi Al-Ma’un dalam perkembangannya, menurut Sokhi Huda (2011), mengalami empat fase. Pada fase pertama, teologi Al-Ma’un dikontekstualisasikan oleh Kiai Dahlan menjadi praksis gerakan pembebasan melalui amal Konkret berupa pelayanan sosial (panti asuhan), pendidikan (sekolah), dan kesehatan (klinik/rumah sakit) Kepada orang-orang yang membutuhkan.
Pada fase kedua, Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh melahirkan gagasan ‘tauhid sosial’ dari Amien Rais. Tauhid sosial secara sederhana dapat diartikan dengan penegakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat dan negara. Menurut Amien Rais (1991), Insan-tauhid dan umat-tauhid memikul kewajiban mengajak Insan Kepada menegakkan tatanan sosial yang adil dan etis. Kemudian, pada tahun 2003 muncul gerakan antikorupsi yang dipelopori oleh Ahmad Syafii Maarif, hasil kerja sama antara Muhammadiyah dan NU.
Pada fase ketiga, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) melontarkan istilah the new mustad’afin pada tahun 2003. Pemikiran tersebut sebagai upaya kontekstualisasi pembacaan teologi Al-Ma’un terhadap fakta Ketika itu. Tafsir terhadap orang lemah dan miskin atau mereka yang tertindas bukan hanya sebatas secara ekonomi, tapi juga dalam Arti luas, yakni orang-orang yang tertindas dan termarginalisasi dalam bidang sosial, budaya, dan politik di era neoliberal.
Gagasan ini hadir setelah muncul kritik atas distorsi teologi Al-Ma’un, ketidakefektifan ide tauhid sosial dan gerakan antikorupsi. Kuntowijoyo (2001) juga menggagas konsep ‘ilmu sosial profetik’. Gagasan ‘ilmu’ dapat menjadi alternatif bagi ‘teologi’ ketika keduanya dipahami secara lebih luas.
Pada fase keempat, teologi Al-Ma’un diwujudkan melalui pembentukan lembaga-lembaga pasca-Muktamar Muhammadiyah 2005 yang Mempunyai perhatian terhadap advokasi kepada mereka yang lemah. Adapun lembaga-lembaga tersebut ialah Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Lazismu, dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
MPM Pusat perhatian pada usaha-usaha pendampingan, pemberdayaan, dan pembelaan kepada masyarakat yang rentan seperti petani, tukang becak, pemulung, difabel, dan lainnya. Lazismu memobilisasi Biaya umat, menggerakkan semangat berbagi melalui tradisi kedermawanan (filantropi), membantu dan juga memberdayakan potensi kekuatan ekonomi kaum marginal. Adapun MDMC hadir sebagai respons terhadap kondisi alam Indonesia yang rawan bencana, menolong masyarakat yang mengalami korban bencana alam maupun sosial.
Lembaga-lembaga tersebut bukan sekadar melakukan penyadaran dan pendampingan terhadap masyarakat yang rentan. Mereka juga terlibat dalam melakukan kajian dan advokasi publik secara struktural Kepada perubahan. Bukan mengherankan Kalau Hajriyanto Y Thohari (2017) menyebut tiga lembaga itu sebagai ‘trisula baru Muhammadiyah’ sebagai kelanjutan dari trisula Pelan (pendidikan, kesehatan, dan sosial). Tiga lembaga dalam kategori trisula baru tersebut berjuang mewujudkonkretkan teologi Al-Ma’un sesuai dengan tuntutan kemanusiaan kekinian.
Jihad konstitusi: spirit Al-Ma’un dalam politik kebangsaan
Penafsiran terhadap teologi Al-Ma’un berkembang juga ke ranah politik kebangsaan melalui konsep ‘jihad konstitusi’. Di Dasar kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah menggalang kekuatan dengan berbagai elemen bangsa Kepada melakukan jihad konstitusi, yakni sebuah gerakan perjuangan yang mendorong agar negara tetap berada dalam jalur tujuan luhur konstitusi Indonesia (UUD 1945). Dengan Asa agar negara Cocok-Cocok bekerja Kepada kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi keadilan sosial ekonomi khususnya kepada rakyat yang termarginalkan, dan menghormati hak-hak asasi masyarakat sebagai Penduduk negara.
Wacana perlunya Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi bermula pada 2009. Ketika itu, Sekeliling 20 Member tim Ahli Muhammadiyah dari berbagai bidang keilmuan mengkaji realitas kehidupan kebangsaan, terutama dikaitkan dengan cita-cita nasional yang termaktub dalam pembukaan konstitusi. Menurut Din, Muhammadiyah menyimpulkan adanya distorsi dan deviasi dari cita-cita nasional. Ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia. Berangkat dari Intervensi itu, Muhammadiyah memutuskan terjun langsung Kepada melakukan kajian kritis serta mengoreksi aturan-aturan yang dianggap keluar rel konstitusi. Pada tahap selanjutnya, Muktamar Muhammadiyah 2010 di Yogyakarta memantapkan gagasan itu dalam bentuk mandat secara Formal persyarikatan (Tempo, 20 Juli 2015).
Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah mengoreksi setiap undang-undang (UU) yang menabrak UUD 1945 terutama Pasal 33 tentang kedaulatan ekonomi. Muhammadiyah menilai, UU Migas memangkas peran negara dalam pengelolaan minyak dan gas bumi Kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Padahal Pasal 33 menyebutkan sumber daya strategis dan sangat Krusial bagi hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Jihad konstitusi sejauh ini telah membuahkan hasil. Beberapa UU telah dikoreksi, diselaraskan kembali dengan tujuan konstitusi.
Dalam kurun waktu lima tahun, empat beleid telah ‘rontok’ dihantam uji materi Muhammadiyah melalui jihad konstitusi. Bahkan, Mahkamah Konstitusi membatalkan satu beleid secara penuh, yakni UU Sumber Daya Air. Sebelumnya, UU Sumber Daya Air telah lima kali digugat oleh Walhi, tapi belum berhasil. Akan tetapi, Serempak Muhammadiyah, gerakan mengawal sumber daya air Kepada kepentingan hajat hidup orang akhirnya berhasil dilakukan (Tempo, 20 Juli 2015).
Jihad konstitusi Bukan lepas dari keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang strategis dalam mengawal konsitusi. Melalui lembaga itu, setiap Penduduk negara yang dirugikan Dapat melakukan judicial review. Sebagai bagian dari masyarakat, Muhammadiyah mengajukan uji materi terhadap beberapa UU yang Bukan berkeadilan dan Dapat merugikan rakyat secara Formal formal. Melalui jihad konstitusi ini, Muhammadiyah telah ber-amar ma’ruf nahi munkar melawan berbagai UU serta peraturan yang dapat merugikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, Muhammadiyah berusaha mengartikulasikan spirit teologi pembebasan Al-Ma’un dalam konteks politik kebangsaan.
Krisis ekologis dan kejahatan ekosida
Ketika ini, Indonesia sedang mengalami krisis ekologis berupa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan konflik agraria. Dalam presentasi Parid Ridwanuddin (peneliti Walhi) pada Lembaga Regional Meeting LHKP Muhammadiyah di Kota Makassar, 2 September 2023, dijelaskan bahwa Pemanfaatan sumber daya alam telah berhasil dilakukan di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, dan Ketika ini sedang menyasar kawasan Indonesia Timur, terutama Kepada pengembangan industri nikel dalam rangka memenuhi pasar mobil listrik dunia.
Pemerintah telah memberikan izin skala besar Kepada pertambangan, izin pembukaan hutan, Pemanfaatan pesisir-laut-pulau kecil dalam rangka memenuhi Sasaran investasi. Akibat dari itu, terjadi degradasi lingkungan hidup yang parah serta mempercepat bencana banjir dan tanah longsor.
Menurut data BNPB, sejak 2000 hingga 2019, telah terjadi sebanyak 9.394 kali banjir yang menyebabkan 5.023 orang meninggal dunia, 263.605 orang mengalami luka-luka, dan memaksa 29.537.476 orang mengungsi. Selama 19 tahun ini juga telah terjadi 5.461 kali bencana tanah longsor yang mengakibatkan 2.991 orang meninggal dunia, 2.944 orang terluka, dan memaksa 278.991 orang mengungsi.
Dari data izin usaha pertambangan per November 2021, tercatat setidaknya Eksis 2.919.870,93 hektare (1.405 IUP) Distrik pesisir dan 687.909,01 hektare (324 IUP) Distrik laut Indonesia telah dikaveling-kaveling oleh izin-izin tambang. Lebih dari 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek ini. Akibat proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat masif ini, setidaknya Eksis 6.081 desa pesisir yang kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan.
Muhammadiyah di Dasar koordinasi M Busyro Muqoddas (Ketua PP Muhammadiyah) selalu mendampingi masyarakat korban terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Punya pemerintah yang terjadi di sejumlah Posisi, seperti di Desa Wadas Purworejo (Jawa Tengah), Desa Pakel Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur), dan Nagari Air Bangis Pasaman Barat (Sumatra Barat).
Pendampingan dilakukan juga di berbagai Posisi lain. Dengan menggandeng berbagai pihak yang Lagi mempunyai jiwa kemanusiaan, tugas ini secara kelembagaan di Muhammadiyah didampingi oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Majelis Hukum dan HAM (MHH), dan Lembaga Sokongan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP).
Inilah fakta mutakhir. Krisis ekologis telah dan Lagi terjadi karena adanya Pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang diberikan izin oleh pemerintah. Lebih dari 80% bencana ekologis berasal dari konsesi yang diberikan pemerintah Kepada investasi skala besar, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Tentu bencana ekologis ini Mempunyai Akibat jangka panjang terutama bagi generasi anak cucu kita kelak.
Krisis ekologis ini, dalam pandangan Fransz Broswimmer (sosiolog lingkungan Universitas Hawai), disebut sebagai fenomena ekosida, Yakni pembunuhan dan pemusnahan terhadap sebuah ekosistem termasuk mereka yang ikut serta dalam Membikin kebijakan dan mengonsumsinya secara masif. Praktik ekosida dilakukan secara sistematis, yang menyebabkan musnahnya fungsi ekologis, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan Insan.
Setidaknya Eksis tiga aspek Krusial suatu perbuatan disebut sebagai ekosida. Pertama, Akibat kejahatan itu sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta Bukan dapat dipulihkan kembali. Kedua, terdapat satuan fungsi yang musnah pada suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapat penyimpangan fisik dan psikis Insan. Karena itu, Parid mengatakan bahwa ekosida sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan modern yang setara dengan kejahatan kemanusiaan lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari akibatnya yang sangat parah terhadap lingkungan hidup dan kehidupan Insan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Bahkan, sejumlah organisasi lingkungan hidup Dunia seperti Dunia Witness menyerukan pelakunya diadili di Den Haag besama dengan penjahat perang.
Dengan meminjam konsep ekosida di atas, UU Omnibus Law Cipta Kerja dan peraturan turunannya Mempunyai potensi besar Kepada dapat dikategorikan sebagai bagian dari kejahatan ekosida. UU tersebut menciptakan ekosistem yang dapat mengakibatkan Pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam sehingga berdampak pada bencana ekologis dalam jangka waktu yang Pelan. Kebijakan PSN yang mengakibatkan tindakan intimidasi oleh aparat pemerintah kepada rakyat, seperti yang terjadi di Wadas, Pakel, dan Air Bangis, adalah fakta yang mengarah pada indikasi tindakan ekosida.
Al-Ma’un hijau: tafsir baru menuju Insan ekologis
Fakta krisis ekologis yang telah dijelaskan di atas, Kalau ditafsirkan dalam konteks Al-Ma’un, adalah bagian orang-orang yang mendustakan Religi. Di dalam Surat Al-Ma’un disebutkan bahwa orang-orang yang mendustakan Religi adalah mereka yang Bukan memedulikan anak yatim dan orang miskin. Karena itu, mereka yang menghilangkan sumber kehidupan anak yatim dan orang miskin, di mana sumber kehidupan tersebut berasal dari alam semesta, itu termasuk orang yang juga mendustakan Religi. Meskipun mereka salat, tetapi menjadi bagian perusak alam dan mendukung UU yang menghancurkan alam, Bukan Eksis gunanya salat mereka. Karena hakikat sejati dari salat ialah menjaga alam, bukan merusak alam.
Segala tindakan yang mengarah pada pembunuhan lingkungan hidup maupun pemusnahan alam yang berdampak pada rusaknya sumber kehidupan bagi generasi berikutnya termasuk anak yatim dan orang miskin adalah orang-orang yang mendustakan Religi. Karena itu, teologi Al-Ma’un harus kita wujudkan Bukan hanya berhenti pada tataran keyakinan, tapi juga aksi Konkret yang melahirkan generasi Insan yang mencintai alam semesta. Teologi ‘Al-Ma’un hijau’ harus diyakini dan dilakukan oleh Insan-Insan yang Bukan hanya Mempunyai jiwa kemanusiaan, tetapi juga kepedulian Kepada menjaga dan melindungi alam semesta Berkualitas itu alam di darat, alam di laut, maupun alam di udara.
Konsep Insan ekologis adalah tawaran Parid Ridwanuddin. Ini adalah bentuk ijtihad yang sangat bagus. Kalau Ketika ini Insan hanya disebut sebagai makhluk sosial, saatnya ide tersebut ditransformasikan menuju Insan ekologis, yakni perjalanan jiwa seseorang menuju Insan yang hidupnya Bukan Dapat terpisahkan dari aksi Kepada Acuh sekaligus merawat dan melindungi seluruh alam semesta beserta isinya.
Ayat pertama pada Surat Al-Fatihah pun menegaskan tentang ketakjuban Insan kepada Sang Pencipta pemilik alam semesta ini. Ummul kitab pada dasarnya adalah surat ekologis. Lantas, apakah kita menjadi penganut Religi yang Bukan taat perintah Sang Pencipta dengan merusak isi perut alam dan bumi ini? Celakalah Insan-Insan yang demikian dan ibadah mereka sudah Niscaya tertolak langit.
Di sinilah pentingnya cita-cita menjadi Insan ekologis sebagai entitas yang harus dimiliki oleh Insan yang Mempunyai jiwa kepedulian akan kelestarian bumi ini, sehingga kita bukanlah orang-orang celaka karena turut aksi Kepada merawat sumber kehidupan bagi generasi mendatang termasuk kaum mustadh’afin.