Akui Kumpulkan Biaya CSR dari Empat Smelter Swasta, Harvey Moeis: Sifatnya Sukarela

Liputanindo.id – Terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis, mengakui dirinya menginisiasi pengumpulan Biaya tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) dari empat smelter swasta.

Pengakuan itu disampaikan oleh Harvey Ketika bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (23/10). Harvey mengungkapkan Biaya tersebut dikumpulkan Kepada kas sosial yang bertujuan memperhatikan masyarakat dan sosial dalam kegiatan pertambangan para smelter.

“Ini disepakati Serempak dan sifatnya sukarela, Bukan Terdapat hitam di atas putih,” kata Harvey, dikutip Antara, Rabu (23/10/2024).

Meski sifatnya sukarela, ia mengatakan Terdapat acuan pengumpulan Biaya sebesar 500 dolar Amerika Perkumpulan (AS) per ton berdasarkan produksi logam masing-masing smelter swasta. Adapun keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Terkait pengumupan Biaya sosial itu, suami Sandara Dewi itu mengatakan PT RBT tak ikut mengumpulkan Biaya CSR tersebut. Hal ini lantaran PT RBT berjalan sendiri dalam program sosial itu sesuai arahan Direktur Primer PT RBT Suparta.

Cek Artikel:  Kata Sholihin soal Dipolisikan Dugaan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Ya

Selama mengumuplan Biaya CSR itu, Harvey Bukan pernah menyebutkan hal itu secara gamblang. Dia hanya mengatakan Biaya itu diperuntukan Kepada kas sosial.

Pasalnya, ia menjelaskan program CSR merupakan tanggung jawab masing-masing perusahaan, bukan pengumpulan Biaya beberapa perusahaan. Istilah Biaya CSR, menurut dia, baru muncul Ketika penyidikan kasus dugaan korupsi timah dan dipakai konsisten Sekalian pihak hingga sekarang.

“Saya sempat menyanggah juga sebenarnya adanya istilah itu ketika diperiksa. Tapi akhirnya saya ikut saja kalau memang itu hanya istilah,” ungkapnya.

Harvey bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di Kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015-2022.

Selain dirinya, kasus itu antara lain menyeret Direktur Primer PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim, sebagai terdakwa dalam sidang tersebut.

Cek Artikel:  Pembagian Air saat Kemarau di Sukabumi Picu Konflik di Kalangan Petani

Riza Serempak Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di Kawasan IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di Kawasan IUP PT Timah.

Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT Kepada menampung Duit hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Perkumpulan (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

Selain membantu penyimpanan Duit korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian Duit (TPPU) atas keuntungan pengelolaan Biaya biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah Kepada menyembunyikan asal-usul Duit haram tersebut.

Cek Artikel:  Viral Bule Sindir Pembangunan IKN dengan Sebut 'Ibu Kota Koruptor Nepotisme'

Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Duit jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

Adapun perbuatan para terdakwa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun. Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada Kenalan tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

Mungkin Anda Menyukai