Akhiri Manipulasi Demokrasi

KENEGARAWANAN Presiden Joko Widodo berada di titik nadir dalam kubangan praktik politik yang tidak lagi menjunjung moral dan absen dari etika. Publik kian risau dengan posisinya di puncak kepemimpinan pemerintahan, Jokowi terus bermain api yang membuat hukum ditekuk, etika ditanggalkan, dan demokrasi dibuat berantakan.

Di singgasana tertinggi, mestinya negarawan yang bertahta. Tetapi, jujur kita harus katakan bahwa yang kita saksikan dalam situasi terkini ialah sosok politikus biasa yang lebih kentara. Politikus berkadar biasa itu tidak lagi mengenal mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, tapi lebih kepada pertimbangan mana yang menaikkan elektoral dan mana yang berpotensi menghambat suara elektoral.

Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih dan menggenggam erat kekuasaan agar tidak lepas dari tangannya. Pemilu sebagai penghormatan terhadap demokrasi dan hak rakyat, diposisikan sekadar ajang perlombaan antara menang dan kalah tanpa memedulikan martabat.

Cek Artikel:  Mempertaruhkan Wibawa Negara

Situasi itulah yang membuat para cendekiawan, intelektual, para guru besar dan sivitas akademika dari puluhan perguruan tinggi negeri dan swasta menyatakan sikap mengkritik rusaknya demokrasi di bawah pimpinan Presiden Jokowi. Mereka menilai banyak penyimpangan yang terjadi. Kaum intelektual penjaga muruah bangsa itu sungguh-sungguh merasa akal kecerdasan dan standar moral dan etika bangsa ini dilecehkan sedemikian rupa.

Penyalahgunaan kekuasaan untuk membajak demokrasi hanya karena nafsu untuk memenangkan calon yang didukungnya sudah melampaui batas-batas toleransi. Maka, para akademisi penjaga kewarasan itu tidak tahan lagi menyaksikan para pemegang kendali kekuasaan sungguh-sungguh mempermainkan rakyat melalui cara-cara brutal mengangkangi akal sehat.

Mereka pun menyeru. Mantapan dari para akademisi dan guru besar itu merupakan peringatan keras kepada Jokowi atas keresahan publik yang meluas. Pasalnya, selama ini, kritikan maupun masukan yang diutarakan oleh masyarakat sipil kerap diabaikan oleh Jokowi.

Cek Artikel:  Salip-menyalip Penegak Hukum

Bukannya mengindahkan seruan para begawan, Jokowi menganggap gaung masif kaum intelektual sekadar gonggongan yang tanpa arti. Celakanya lagi, Istana, lewat Koordinator Staf Spesifik Presiden Ari Dwipayana, justru menuding suara dari kampus sebagai partisan. Guru besar penjaga muruah itu disebut sebagai bagian dari perang narasi guna mendulang elektoral.

Enggak cukup tudingan partisan, elite kekuasaan ditengarai melakukan intervensi terhadap kebebasan berpendapat para guru besar, berupaya membuat narasi tandingan, dan membenturkan para cendekiawan. Terdapat indikasi keterlibatan aparat sebagai operator mendekati para petinggi universitas.

Sehingga muncul kelompok tandingan yang seolah tidak ikhlas mendengar dan menyaksikan seruan kelompok yang bersuara kencang mengingatkan perilaku penguasa yang terseret jauh dari etika dan moral berdemokrasi itu.

Bahkan, sivitas akademika Universitas Sriwijaya dengan memohon maaf kepada publik, terpaksa membatalkan deklarasi pernyataan forum dosen menyikapi situasi menghadapi pemilu 2024 seperti kampus lainnya. Dalihnya, untuk menjaga keharmonisan dan kekeluargaan sivitas akademika yang lebih penting untuk dikedepankan.

Cek Artikel:  Segera Atasi Badai PHK

Begitupun intimidasi terhadap mahasiswa juga dilakukan sejumlah orang tidak dikenal, dengan membubarkan konsolidasi mahasiswa Jakarta di dalam Kampus Universitas Trilogi. Kekuasaan yang sakit memang akan dihantui rasa waswas. Kekuasaan yang alpa terhadap etika, akan diracuni beragam kecemasan dan ketakutan.

Rasa cemas, takut, dan panik itu membuat tindakan represi bermunculan. Tapi, dalam sejarah bangsa-bangsa, kekuasaan yang dibangun di atas pondasi ketakutan kehilangan kekuasaan, justru akan runtuh pada waktunya dengan amat menyakitkan. Karena itu, jangan remehkan seruan penjaga kewarasan. Jangan bungkam peringatan kembali ke akal sehat demokrasi. Akhiri mengangkangi demokrasi untuk kepentingan pribadi.
 

Mungkin Anda Menyukai