Akhiri Hengki Pengki Pajak

NEGARA punya hak mengambil pajak dari rakyatnya, sedangkan rakyat punya kewajiban membayar pajak. Mengelak dari membayar pajak dengan sengaja menyembunyikannya, berarti mengemplang pajak.

Kebiasaanlnya pajak berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Semakin membaik kondisi perekonomian warga di suatu negara, akan kian meningkat pula penerimaan pajak negara itu. Salah satu indikatornya ialah rasio pajak atau tax ratio. Rasio yang membandingkan penerimaan pajak dengan pendapatan domestik bruto (PDB) itu menjadi indikator utama keberhasilan negara memungut pajak dari rakyatnya.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2023 merilis rasio pajak Indonesia pada 2021 memang bukan termasuk yang terburuk di dunia. Tetapi, Indonesia masuk lima terbawah untuk tingkat Asia Pasifik dalam urusan rasio pajak ini.

Cek Artikel:  Bencana Tersebab Ulah Mahluk

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, OECD mencatat rasio pajak Indonesia pada 2021 mencapai 10,9%. Di bawah Indonesia hanya ada Vanuatu, Bhutan, Pakistan, dan Bangladesh.

Terdapatpun berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio pajak 2023 mencapai 10,21%. Bilangan itu menurun jika dibandingkan dengan 2022 yang mencapai 10,41%. Pada 2021, tingkat rasio pajak hanya 9,11%.

Dari rasio tersebut, penerimaan pajak pada 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun dan pada 2022 sebesar Rp1.716, 8 triliun. Bilangan itu memang naik, tapi kenaikannya belum bisa dikatakan ekaponensial. Wajar karena rasio pajak tidak pernah bergerak signifikan juga.

Persoalannya, banyak kasus menunjukkan terjadi patgulipat dan tawar-menawar antara wajib pajak dan aparat pajak. Pajak bisa dikempiskan dari yang semestinya dibayar.

Pada masa lampau, praktik kasak-kusuk semacam ini disebut hengki pengki. Pada masa kini, sering disebut cincai. Akibat praktik semacam itu, pendapatan pajak bocor.

Cek Artikel:  Pantang Ragu Pengawas Pemilu

Maka, amat relevan dan usul calon presiden Anies Baswedan dalam diskusi dengan Kadin Indonesia, Kamis (11/1). Kata Anies, sebelum melahirkan target dan kebijakan baru terkait perpajakan, lakukan dulu fiscal cadaster atau semacam sensus ulang untuk mengidentifikasi objek-objek pajak yang terlewat.

Penyisiran ulang yang menjadi salah satu upaya reformasi perpajakan itu diyakini akan mampu menaikkan rasio pajak menjadi berkisar 13%-16%. Sasaran yang realistis tanpa harus memberi angin surga.

Usul itu juga bukan sekadar angan-angan, apalagi halu.

Anies pernah menerapkan sensus perpajakan itu semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta. Terdapat bukti rekam kerja di pernyataan tersebut. Kala itu, petugas menyusuri Jalan Gatot Subroto Jakarta untuk mendata tanah, bangunan, maupun tempat usaha yang belum terdaftar sebagai objek pajak.

Tentu saja, sensus objek pajak di tingkat nasional akan berbeda dengan di tingkat daerah. Tetapi, pada pokoknya ialah melakukan penyisiran kembali untuk mendeteksi objek pajak yang terlewat atau sengaja dilewatkan sebagai permainan para pemburu rente.

Cek Artikel:  Bansos bukan Sokongan Jokowi

Itu sebabnya, orang dalam atau ordal badan pajak justru kerap enggan menerapkan fiscal cadaster. Karena, mereka-mereka itulah yang menjadi lintah dalam sistem perpajakan.

Sejumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tercatat telah berhadapan dengan aparat penegak hukum. Mereka memanfaatkan posisi justru untuk menggelapkan pajak, rekayasa nilai pajak, pemerasan, hingga pencucian uang.

Tutup celah rente pajak, walhasil, pendapatan negara dari pajak bisa naik signifikan. Jangan sampai utang terus melambung untuk menambal belanja negara akibat penerimaan pajak bocor dan terus-terusan tercecer di jalan. Kelakuan hengki pengki para ordal sudah waktunya untuk diakhiri.

Mungkin Anda Menyukai