Akademisi UNJ Krusial Libatkan Sejarawan Dalam Penyematan Nama Ibukota Negara

Akademisi UNJ: Penting Libatkan Sejarawan Dalam Penyematan Nama Ibukota Negara
Suasana pembangunan rumah susun (rusun) hunian ASN di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (13/09/2024),(ANTARA/M RISYAL HIDAYAT)

USULAN nama Ibu Kota Nusantara (IKN) dari sejumlah tokoh nasional mendapatkan tanggapan serius dari akademisi yang juga sejarawan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Sumardiansyah Perdana Kusuma. Menurutnya, kajian historis pemberian nama sebuah ibukota idealnya melibatkan sejarawan.

“Sejarawanlah yang mengerti secara metodologi mengenai kebijakan yang diambil, apakah sudah sesuai secara aspek historis, dari sisi sumber, data, fakta, dan kontekstualisasi antara fakta masa lalu dengan kejadian aktual pada hari ini,” kata Sumardiansyah dalam keterangannya hari ini, Rabu (9/10)

Sebelumnya, dua tokoh nasional yaitu Ketum GPM Emir Moeis menyatakan, pemberian nama IKN ada baiknya dikaitkan dengan sejarah berdirinya Negara Indonesia. Sedangkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengusulkan agar nama IKN adalah Atlantis.

Baca juga : Jokowi Niscayakan Keppres IKN Nusantara akan Diteken Prabowo

“Kita harus ingat sejarah, bahwa salah satu pendiri bangsa ini adalah Soekarno. Selain sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno adalah tokoh yang merepresentasikan persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Emir Moeis saat memberikan sambutan dalam acara bedah buku “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” yang digelar di Ruang Theater Alas 3 Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur berapa waktu lalu.

Cek Artikel:  Penelitian Terbaru Ungkap Otak Perempuan Lebih Segera Menua Dibandingkan Lelaki Akibat Lockdown Covid-19

“Beliau bisa diterima semua kalangan, semua agama dan semua golongan,” tambah Emir Moeis.

Menurut Sumardiansyah, apa yang disampaikan Emir Moeis merupakan usulan yang sah-sah saja. Apalagi, Soekarnopura dari sisi historis bisa saja digunakan apabila konteksnya diambil dari Presiden Indonesia pertama yang menginisiasi pemindahan ibu kota negara.

Baca juga : Pemerintahan Dorong Swasta untuk Ikut Bangun IKN Tahap 2

Tapi, dia tetap mengingatkan, bahwa nama ini berpotensi menimbulkan polemik karena secara politis dianggap lebih merepresentasikan rezim tertentu. 

“Loyalp pemimpin pasti ingin membangun legacy sesuai jiwa zaman yang hidup pada masanya. Kalau begini tentu seandainya dimungkinkan Presiden Jokowi pun sepertinya ingin namanya juga diabadikan sebagai nama ibu kota, misalnya saja Jokowipura?” kata Sumardiansyah yang juga Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) untuk periode 2022-2027.

Cek Artikel:  Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Meningkatkan Daya Saing SDM Indonesia

Sedangkan nama Atlantis, menurut Sumardiansyah, terlalu jauh untuk bisa digunakan sebagai nama ibu kota. “Kalau kita memahami perspektif indonesiasentris yang diusung pemerintah, maka Atlantis yg berasal dari dialog Socrates karya Plato lebih cenderung mengarah kepada mitologi Yunani,” kata dia. 

Baca juga : Jokowi Bertolak ke IKN untuk Ngantor dan Kumpulkan Pimpinan TNI-Polri

“Meskipun kita juga memahami hari ini Indonesia atau Nusantara sering dikaitkan dengan mitologi bangsa atau kota Atlantis yang pernah gemilang pada masa lalu,” tambahnya. 

Meski demikian, nama IKN dalam pandangan Sumardiansyah pemilihan nama Nusantara juga boleh-boleh saja. “Nusantara dalam konteks merujuk kepada kegemilangan bangsa di masa lampau. Soal penamaan selain bersifat ilmiah jugoa tentu tidak lepas dari konsensus yang cenderung bersifat politis,” tukasnya.

Cek Artikel:  Ramalan Zodiak Pisces Hari ini Eksis Berita Kurang Bagus dari Interaksi Asmaramu

Lebih lanjut, Emir Moeis sebelumnya pernah mengingatkan tentang sejarah perebutan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Papua, menurutnya, mengalami beberapa perubahan ibu kota sepanjang sejarahnya. 
Sebelum Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia, wilayah ini merupakan bagian dari Papua Nugini yang dikuasai oleh Belanda. Pada masa kolonial Belanda, ibu kota administratif di wilayah Papua adalah Hollandia.

“Nama ini digunakan selama masa penjajahan Belanda, dan kota ini menjadi pusat administratif utama di wilayah Papua saat itu. Nama Hollandia kemudian diubah menjadi Sukarnapura hingga tahun 1967. Kemudian oleh Orde Baru diubah menjadi Jayapura hingga sekarang ini,” tukas Emir.(H-2)

Mungkin Anda Menyukai