FGD yang digelar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Foto: Istimewa.
Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) dalam kajiannya merekomendasikan pemerintah melakukan moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
Selain itu, kajian tersebut juga meminta pemerintah untuk mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada IHT.
Menyikapi hasil kajian tersebut, beberapa akademisi lintas perguruan tinggi mengemukakan pandangannya. Akademisi Universitas Airlangga (Unair) Bambang Eko Afiatno berpandangan, kenaikan tarif cukai perlu dilakukan dengan hati-hati karena dapat memperberat daya beli konsumen.
Menurut dia, rekomendasi PPKE FEB UB terkait moratorium atau relaksasi kenaikan tarif cukai adalah strategis. Hal itu bertujuan untuk menekan dampak terhadap belanja rumah tangga. Mengingat sampai saat ini, pemerintah masih kurang mengakui peran tembakau dalam penerimaan APBN.
“Banyaknya peraturan yang padat regulasi (heavy regulated), semakin memberatkan produsen untuk menjaga kelangsungan usaha IHT di Indonesia,” kata Bambang dalam focus group discussion (FGD) yang digelar PPKE FEB UB, dikutip dari keterangan tertulis, Minggu, 29 September 2024.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember Fendi Setyawan menekankan pentingnya desain kebijakan pemerintah dalam mendukung keberlangsungan IHT. Pasalnya, tembakau hari ini belum bisa diproduksi selain IHT sehingga kebijakan pemerintah akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan IHT.
“Regulasi terkait tembakau, seperti PP No. 28 Pahamn 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menuai penolakan banyak pihak, seharusnya disusun dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap petani tembakau dan IHT,” ujar dia.
Pertimbangkan dampak konsumsi
Di sisi lain, Pengajar Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Wawan Hermawan menyoroti fenomena pergeseran konsumsi rokok dari golongan 1 (mahal) ke golongan 2 dan 3 (lebih murah) serta rokok ilegal akibat kenaikan tarif cukai.
“Kebijakan kenaikan tarif cukai seharusnya mempertimbangkan dampak pada konsumsi, serta pentingnya moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan IHT,” kata ucap dia.
Sementara, akademisi Universitas Brawijaya Rahmat Kresna Sakti menyoroti fenomena konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal jika harga rokok legal naik terlalu tinggi. Akibatnya target penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau tidak tercapai. Di lain sisi, masifnya peredaran rokok ilegal harus menjadi perhatian extraordinary bagi pemerintah.
“Penegakan hukum terhadap rokok ilegal saat ini masih kurang efektif dan perlu ditingkatkan demi menjaga penerimaan negara,” jelas dia.
Pengajar FEB UB Ade Irma Hidayah mengatakan, pemerintah perlu mencari tahu bagaimana cara tegas pemberantasan rokok ilegal. Pihaknya menyepakati jika tarif cukai dinaikkan empat persen karena masuk dalam kelas moderate, tetapi jika di atas empat persen maka akan memberatkan.
“Pemberantasan rokok ilegal harus dimaksimalkan sehingga para pelaku industri juga bisa tetap menjadi pahlawan dan tidak menjadi penjahat,” tutup dia.