SEORANG teman menggebu-gebu memberondong saya dengan pesan Whatsapp. Ia mengulang-ulang pesan yang sama. Ia menulis, ‘Akhirnya, setelah sekian purnama tidak menyaksikan Bu Risma (Mensos Tri Rismaharini) menangis, kita menyaksikan Bu Risma meraung-raung lagi’.
Saya tidak langsung menanggapi pesan sang teman karena belum terlalu mafhum apa yang hendak ia bidik dengan pesan bertubi-tubi itu. Apakah ia sedang bersikap sinis, mengkritik, atau justru berempati terhadap tangisan terbaru dari Bu Menteri itu. Dalam hati saya berharap sikap terakhirlah yang sedang ada dalam pikiran sang teman.
Saya lalu menulis tanggapan ‘menggoda’ agar rasa penasaran saya ihwal alasan dia memberondong pesan terjawab. ‘Alhamdulillah, Bu Risma berempati terhadap korban meninggal di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Semoga tangisan itu menjadi langkah pembuka solusi bencana di Papua Tengah’, begitu saya membalas pesan sang teman.
Sang teman pun menjawab, ‘Tangisan tidak menyelesaikan masalah bro. Saya malah curiga emosi Bu Risma labil. Kerap marah-marah, lalu begitu mudah menangis dengan ekspresi yang lebai’. Saya tetap pada pendirian bahwa tangisan itu empati dan bisa membuka jalan solusi, kendati dalam hati sedikit membenarkan bahwa tangisan saja tidak bakal mengubah keadaan.
Cita-cita dan kenyataan memang selalu bersabung dalam tangisan Risma. Setidaknya sudah empat kali publik di negeri ini menyaksikan suguhan tangisan Risma, baik saat masih menjadi wali kota maupun ketika sudah menjadi menteri. Tiga tangisan terjadi ketika Risma menjadi Wali Kota Surabaya.
Pada 2014, dalam program Mata Najwa di Liputanindo, Risma menangis saat ditanya apakah ia akan mengundurkan diri karena kritikan internal PDIP. Risma pun menangis karena teringat betapa banyak anak Surabaya yang menggantungkan harapan terhadap dirinya.
Tangisan kedua terjadi pada 2018, saat aksi teroris mengebom Surabaya. Risma menangis demi melihat korban aksi bom dan geram dengan gerakan terorisme yang mengacak-acak Surabaya. Banyak yang setuju bahwa tangisan itu sebagai bentuk empati sekaligus sikap geram terhadap terorisme.
Berikutnya, dan ini yang paling ‘fenomenal’, terjadi pada 2020 lalu, saat pandemi covid-19 melanda sekujur negeri ini. Bukan sekadar menangis, Risma pun bersujud di kaki pengurus Ikatan Dokter Indonesia. Risma mengaku telah gagal berkomunikasi dengan Rumah Nyeri Dokter Soetomo (rumah sakit Pemprov Jatim) sehingga banyak korban covid bertumbangan tanpa bisa dirawat di rumah sakit tersebut.
Tiga tahun berselang, pekan ini, Risma yang kini menjadi menteri sosial, menangis saat hendak menceritakan kondisi warga yang terdampak kekeringan di Papua Tengah. Risma menangis saat menceritakan momen dirinya membagikan bantuan di Papua Tengah. Risma tiba-tiba berhenti berbicara dalam konferensi pers soal update bantuan Kemensos bagi korban bencana kekeringan di Papua Tengah. Risma menunduk, menangis, lalu mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap air matanya.
Risma kemudian bercerita tentang kondisi orang-orang di Papua Tengah. Dia mengatakan warga rela berjalan kaki dua hari satu malam untuk menjemput bantuan sosial yang dibawa pemerintah. Donasi tersebut diberikan di Distrik Sinak, Papua Tengah. Eksispun orang-orang Papua Tengah yang menerima bantuan tersebut berada di Distrik Agandugume.
“Itu orang-orang sana sangat sopan. Apalagi anak-anak kecil. Ini berderet-deret aku ngomong ini mama punya ini, sebelahnya belum terima, diam saja. ‘Eh kamu udah dapat belum?’ (dijawab) ‘Belum, Mama’. Kalau enggak dikasih dia enggak minta. Jadi orang Papua itu baik-baik orangnya,” kata Risma.
Tiba di sini, saya berprasangka baik bahwa Bu Menteri menangis karena berempati terhadap usaha korban kekeringan di Papua Tengah menjemput bantuan dengan berjalan hingga dua hari. Begitu tiba di lokasi, mereka tidak bersikap rusuh untuk berebut bantuan yang dinanti-nantikan. Mereka malah tetap sopan dan sabar menerima giliran bantuan.
Tapi, saya juga sepakat bahwa tangisan itu tidak cukup. Ia butuh terobosan jitu agar perkara kekeringan yang berakibat meninggalnya enam orang itu cepat ditangani. Alih-alih cuma menangis, bahkan meraung-raung, Mensos mesti memastikan bantuan untuk rakyat Papua Tengah tiba dengan segera, apa pun kendala lokasinya. Kagak ada yang mudah menembus wilayah luas dan dengan cuaca tidak menentu di Papua Tengah. Tapi, menyerah dan sekadar menangis jelas bukan pilihan.
Demi jangka panjang, mesti ada evaluasi krusial, mengapa dana otonomi khusus Papua yang sudah ratusan triliun rupiah digerojokkan itu masih saja menceritakan kegetiran di kalangan rakyat Papua. Ke mana saja larinya uang itu? Ini bencana yang mestinya sudah bisa diantisipasi untuk tidak terus-menerus berulang. Masalahnya, belum ada yang sukses memutus mata rantai bencana itu.
Kalaulah jutaan tangisan bisa memecahkan kebuntuan, mari menangis dan meraung-raung bersama-sama. Kalau perlu, belanjakan triliunan rupiah itu untuk membeli air mata. Tapi, nyatanya, tangisan tidak cukup mengubah keadaan.