TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Pahamn 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan layak disambut hangat.
Selain sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap inisiatif global untuk memerangi penghindaran pajak, perppu ini juga hendak mengatasi problem stagnasi rasio pajak yang membuat tersendatnya pembiayaan pembangunan nasional.
Bahkan cekaknya pundi-pundi negara memaksa pemerintah berpikir keras menyediakan instrumen pembiayaan lain seperti penerbitan surat utang negara. Tetapi, belakangan timbul diskusi yang hangat pascapenerbitan Permenkeu Nomor 70/PMK.03/2017 sebagai pelaksanaan perppu. Lampau bagaimana isu ini sebaiknya dipahami dan dikelola?
Perppu ini lahir karena sebuah kemendesakan. Indonesia yang menyatakan berpartisipasi dalam Mendunia Tax Lembaga yang dibentuk organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (OECD) setuju untuk ikut dalam inisiatif pertukaran informasi otomatis (automatic exchange of information/AEOI) melalui Perpres No 159/2104.
AEOI memungkinkan negara-negara yang bekerja sama untuk mempertukarkan data/informasi keuangan milik warga negara mitra yang disimpan di lembaga keuangan di negara tersebut.
Dengan demikian, perjalanan panjang menangkal praktik penghindaran pajak agresif yang selama ini dikeluhkan karena menggerus basis pajak dan potensi penerimaan negara maju dan berkembang akan dapat diatasi.
Tetapi, penilaian Mendunia Tax Lembaga terhadap Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih belum sesuai dengan standar yang diharapkan (partially compliant) karena belum memiliki primary regulation atau undang-undang yang memungkinkan pertukaran dilakukan.
Konsekuensinya, jika sampai 30 Juni 2017 tidak memiliki UU, akan dianggap tidak memenuhi komitmen dan dapat dikucilkan.
Pencapaian terbesar OECD dan G-20 ialah penyelarasan instrumen pertukaran informasi bernama common reporting standard, (CRS) pada 2013.
Selama ini kita hanya mengenal pertukaran informasi berdasarkan permintaan dan spontan.
Hal inilah yang menjadi kendala karena jika negara mitra tidak kooperatif karena ingin melindungi kepentingan mereka, praktis informasi keuangan akan disembunyikan.
Praktik yurisdiksi rahasia (secrecy jurisdiction) atau dikenal pula sebagai negara suaka pajak (tax havens) telah amat mengkhawatirkan lantaran isunya bukan semata melindungi hak pribadi (privacy), tetapi melindungi kerahasiaan (secrecy) bahkan di hadapan otoritas pajak yang berwenang.
Selain mengatur pertukaran informasi otomatis antarnegara, perppu juga mengatur kewenangan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam negeri.
Mengapa harus diatur saat ini? Karena problem pemungutan pajak selama ini ialah minimnya akses ke data/informasi keuangan yang justru menjadi titik krusial untuk diatasi.
Data amnesti pajak mengonfirmasikan kemendesakan ini. Kagak kurang Rp2.900 triliun aset keuangan dideklarasikan selama program berlangsung, atau mencapai 56% dari total deklarasi harta, dan Rp2.100 triliun di antaranya ditempatkan di dalam negeri.
Argumen bahwa tuntutan kemendesakan global hanyalah AEOI sehingga perppu seyogianya hanya mengatur pertukaran otomatis antarnegara dapat dimengerti meski kurang memadai.
Kita melupakan satu hal, bahwa negara-negara yang tergabung dalam OECD aktif memperjuangkan AEOI karena mereka telah menyelesaikan persoalan keterbukaan akses untuk kebutuhan dalam negeri.
Isi perppu dan tantangannya
Perppu ini setidaknya mengatur (i) kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik), dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(ii) Lembaga jasa keuangan–meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan–melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara berkala wajib menyampaikan laporan yang berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
(iii) Perlindungan hukum bagi pejabat maupun para pihak yang melaksanakan kewajiban, dan sanksi bagi lembaga jasa keuangan dan para pihak yang tidak memenuhi kewajiban, (iv) pencabutan pasal-pasal kerahasiaan di UU KUP, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Perdagangan Berjangka Komoditi, dan UU Perbankan Syariah.
Menteri Keuangan melalui Permenkeu Nomor 70/PMK.03/2017 mengatur lebih lanjut supaya perppu ini setelah disahkan DPR dapat segera dijalankan dan memberikan kepastian hukum.
Terdapat beberapa hal yang penting dipahami dari PMK ini, antara lain (i) pengertian-pengertian umum dan khusus agar memberi kepastian baik bagi wajib pajak, lembaga jasa keuangan maupun otoritas. (ii) Ambang batas (threshold) saldo yang wajib dilaporkan lembaga jasa keuangan, yaitu US$250.000 atau setara Rp3,3 miliar untuk pertukaran antarnegara. Dalam rangka pelaksanaan peraturan perpajakan dalam negeri, ambang batasnya Rp200 juta untuk nasabah pribadi dan tanpa batas bawah untuk badan. Belakangan ambang batas Rp200 juta ini dinaikkan menjadi Rp1 miliar setelah memperhatikan berbagai masukan dari masyarakat. (iii) Mekanisme atau tata cara penyampaian informasi/laporan, jangka waktu dan batas waktu, serta konsekuensi dan sanksi, (iv) penegasan perlindungan data dan larangan penyalahgunaan data termasuk sanksinya.
Bola sekarang ada di DPR, yang akan memberikan persetujuan sehingga perppu ini sah untuk kemudian menjadi undang-undang, atau akan ditolak.
Dalam konteks di atas, seharusnya perppu ini sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan konstitusi yakni dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time.
Kita harus menatap ke depan dan melangkah maju. Kekurangan yang ada sebaiknya diupayakan dimitigasi dengan perumusan peta jalan yang lebih transparan dan komprehensif.
Meski demikian, perppu ini baru mengatur hal-hal normatif, khususnya kewenangan akses Ditjen Pajak terhadap informasi/data keuangan melalui peniadaan pasal-pasal kerahasiaan.
Langkah-langkah strategis perlu segera diambil pemerintah dan DPR.
Pertama, dalam rangka memanfaatkan momentum, DPR perlu segera memberikan dukungan pada penuntasan reformasi perpajakan dengan mengesahkan perppu ini menjadi undang-undang dan bersama pemerintah menyelesaikan revisi UU KUP dan UU Perbankan, termasuk segera menyetujui RUU Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, untuk menjawab keresahan publik, perlu segera dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat wajib pajak dan para nasabah. Bahwa selain kebijakan ini merupakan sebuah keniscayaan, implementasinya justru ingin memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak yang sudah patuh, termasuk yang telah ikut program amnesti pajak.
Kenaikan ambang batas menjadi Rp1 miliar patut diapresiasi karena akan meringankan beban administrasi lembaga jasa keuangan dan otoritas pajak.
Membangun tindak lanjut lebih efektif, dan keberpihakan pemerintah kepada kelompok menengah-bawah untuk tidak dijadikan sasaran kebijakan perpajakan dalam jangka pendek.
Ketiga, besarnya kewenangan yang diberikan UU harus diikuti sistem akuntabilitas yang baik, yaitu perlindungan data nasabah/wajib pajak (confidentiality and data safeguard) dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition) dan pertanggungjawaban pemanfaatan data keuangan.
Perlu segera dibuat regulasi yang secara eksplisit mengatur perlindungan data, sistem administrasi yang transparan dan akuntabel dalam mengawasi pemanfaatan data, dan formulasi sanksi yang berat bagi pihak yang menyalahgunakan kewenangan.
Keempat, segera diselesaikan pengembangan compliance risk management (CRM) yang menjamin data/informasi keuangan yang telah diberikan akan diolah bersama dengan data lainnya secara efektif sehingga tepat sasaran dan tujuan. Sistem ini akan menghasilkan klasifikasi wajib pajak berdasarkan risiko: tinggi, sedang, dan rendah.
Wajib pajak yang berisiko tinggi akan menjadi target pemeriksaan, yang berisiko sedang akan dihimbau untuk patuh, dan yang berisiko rendah akan mendapatkan pelayanan/insentif yang baik.
Keputusan Menteri Keuangan menaikkan threshold sudah tepat.
Data amnesti pajak menunjukkan wajib pajak dengan segmen UKM dan nilai harta di bawah Rp1 miliar mencapai 145.108 WP dan porsi asetnya hanya 2,28% dari total deklarasi WP orang pribadi.
WP OP UKM yang deklarasi hartanya di atas Rp1 miliar sebanyak 98.869 WP dengan porsi 22,33% dari total deklarasi.
Secara keseluruhan, deklarasi harta amnesti kelompok kas/setara kas di atas Rp1 miliar mewakili 95,50% dari keseluruhan kas/setara kas.
Data LPS juga memperkuat keputusan ini, bahwa jumlah rekening dengan nilai simpanan sampai dengan Rp200 juta ada 199,8 juta rekening dan porsi nilainya hanya 19,53%. Rekening yang nilainya di atas Rp1 miliar hanya dimiliki 496 ribu dengan porsi 64,22%.
Dengan demikian, cost of compliance di sisi lembaga jasa keuangan lebih rendah (efisien) dan cost of collection di sisi otoritas pajak juga turun (efektif).
Berdasarkan data dan analisis itu, tidak beralasan jika kebijakan ini akan berdampak negatif pada industri perbankan karena sasarannya jelas dan terukur.
Tujuannya juga dibatasi UU, dan pelaksanaannya dilakukan di bawah standar OECD dan koordinasi kelembagaan OJK dan Ditjen Pajak.
Kini kita menyongsong era baru perpajakan, era yang harus mengucapkan selamat tinggal pada rezim kerahasiaan menuju era keterbukaan.
Bagi yang sudah patuh, keputusan kita sudah tepat.
Bagi yang belum patuh, masih ada kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT atau pengungkapan ketidakbenaran.
Ini momentum emas yang harus dimanfaatkan agar terjadi akselerasi pemungutan pajak yang berkeadilan dan reformasi ekonomi yang menunjang pemerataan dan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Diperlukan perubahan paradigma di semua tingkatan agar tercipta keserempakan visi dan misi. Selamat datang era baru perpajakan, adios zaman sembunyi pajak!