BELAKANGAN kian ramai wacana apakah pemilihan presiden (pilpres) akan berlangsung satu atau dua putaran. Apabila melihat fakta-fakta terkini, terutama dari mayoritas lembaga survei, hampir pasti pilpres akan berlangsung dalam dua putaran. Pasalnya, sejauh ini tidak ada satu pun pasangan kandidat yang elektabilitasnya menurut lembaga survei terkemuka mencapai lebih dari 50%.
Berdasarkan survei Poltracking Indonesia yang dilakukan pada 1-7 Januari 2024, misalnya, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran stagnan di kisaran 46-47%, dengan angka terbaru menunjukkan 46,7%. Sementara itu, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengalami kenaikan signifikan menjadi 26,9%. Eksispun elektabilitas Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berada di angka 20,6%.
Hasil yang kurang lebih sama juga tergambar dari hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) pada 1-7 Januari 2024. Berdasarkan survei itu, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran sebesar 42,3%. Anies-Muhaimin mengikuti di posisi kedua dengan 34,5%, sedangkan posisi terakhir ditempati pasangan Ganjar-Mahfud MD dengan perolehan suara sebesar 21,5%.
Dari data ini, sulit rasanya pilpres akan berlangsung satu putaran. Apalagi, tiap-tiap kandidat punya basis pemilih kuat, yang sukar untuk mengubah banyak peta persaingan, seperti yang tergambar dari hasil berbagai lembaga survei. Artinya, persaingan masih terbuka sebagai sebuah kompetisi. Sudah semestinya kontestasi ini berlangsung fair, diwarnai adu gagasan, bukan sekadar gimik atau memoles hasil statistik.
Pilpres dua putaran bukanlah sesuatu yang tabu. Selain dari hasil survei di atas, opsi itu juga dimungkinkan berdasarkan konstitusi. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, penentuan terpilihnya seorang presiden dan wakil presiden memerlukan perolehan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Itu artinya, selama angka itu belum tercapai, pilpres bakal berlangsung dua putaran.
Demi negara sebesar dan seluas Indonesia, ongkos pemilu memang sangat mahal dari sisi ekonomi. Tetapi, inilah ongkos yang berapa pun mahalnya harus dibayar oleh bangsa ini demi tercapainya dan terpeliharanya negara demokratis. Pemilu dan demokrasi itu ibarat sekeping mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena melalui pemilu yang jujur, adil, bebas, dan bersih itulah antara lain demokrasi ditegakkan.
Melalui pemilu, berbagai pilihan, baik ide maupun orang, ditampilkan dan dipertandingkan di hadapan rakyat. Lampau, rakyat dengan bebas mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya sebagai warga negara ataupun jalannya negara untuk lima tahun ke depan. Apabila pemilu dua putaran, selain dapat lebih menegasikan potensi kecurangan, hasilnya juga akan lebih egitimate dan lebih demokratis. Narasi dua putaran juga lebih rasional dan menjamin partisipasi yang lebih luas. Ini tentunya sehat bagi demokrasi.
Hari pencoblosan yang akan berlangsung kurang dari satu bulan lagi, memberi kesempatan dan peluang bagi masyarakat untuk mulai menentukan pilihan. Bunyi mereka, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, akan amat menentukan arah perjalanan bangsa ini ke depan. Oleh karena itu, partisipasi mereka dalam kontestasi ini amat diperlukan. Bukan semata mencoblos di bilik suara, tapi ikut mengawal pelaksanaan pesta demokrasi ini agar berjalan jujur dan adil. Jangan biarkan mereka yang haus kuasa secara benderang menghalalkan segala cara, termasuk dengan merekayasa angka dan fakta, serta memaksakan pilpres satu putaran.
Narasi pilpres satu putaran yang dipaksakan bisa menjadi pintu masuk praktik-praktik culas dan kecurangan. Bila narasi itu terus-menerus didengungkan, padahal kehendak rakyat yang tecermin dari hasil surveiĀ menunjukkan dua putaran, akan menggerus legitimasi demokrasi. Maka, memaksakan narasi satu putaran sama dengan membuat noda demokrasi.