Pilkada Jakarta Haruskah Dua Putaran

Pilkada Jakarta Haruskah Dua Putaran?
()

SESUAI dengan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak 2017, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 pun telah dilaksanakan pada 15 Februari 2017 lalu.

Tak seperti daerah lainnya di Indonesia, sekalipun pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat berhasil mendulang suara terbanyak, keduanya tidak secara otomatis ditetapkan menjadi gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Masalahnya, Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara RI (UU No 29/2007) tidak menganut penentuan pemenang dengan prisip simple majority sebagaimana penentuan pemenang dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di daerah lain di luar Jakarta.

Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (1) UU No 29/2007 menyatakan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Berdasarkan hasil rekapitulasi hasil pemungutan suara KPU Jakarta, pasangan calon nomor pemilihan satu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni memperoleh 937.955 suara (sekitar 17,05%).

Selanjutnya, pasangan calon nomor pemilihan dua Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh 2.364.577 suara (42,99%).

Terakhir, pasangan calon nomor pemilihan tiga Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh 2.197.333 suara (39,95%).

Karena tidak terdapat pasangan calon yang meraih suara di atas 50% sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (1) UU No 29/2007, tahapan pemilihan Gubernur DKI Jakarta berikutnya tunduk kepada ketentuan lain.

Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (2) UU No 29/2007 menyatakan, bila tidak terdapat pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Merujuk rezim hukum dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU No 29/2007 di atas, dua pasangan calon peraih persentase suara terbanyak (Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno) tengah bersiap melanjutkan proses menuju pemilihan putaran kedua.

Menyantap perkembangan politik sekitar pemilihan Gubernur DKI Jakarta menuju pemungutan suara putaran pertama lalu, proses menuju putaran kedua sekaligus semakin memperpanjang ketegangan politik di wilayah Ibu Kota.

Cek Artikel:  Kabinet Indonesia Maju, Covid-19, Stunting, dan Tb

Karena itu, muncul wacana harusnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta dilakukan satu putaran sebagaimana daerah lainnya.

Materi undang-undang

Apabila diletakkan dalam sudut pandang konstitusional, keharusan untuk penentuan pemenang pemilihan Gubernur DKI Jakarta menggunakan prinsip mayoritas absolut (absolute majority) bukanlah masalah konstitusional.

Melacak pengaturan konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara RI Mengertin 1945 (UUD 1945) sama sekali tak mengatur atau menentukan bagaimana menentukan pemenang dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Jangankan persentase kemenangan, UUD 1945 bahkan tidak mengatur secara eksplisit ihwal pemilihan langsung kepala daerah.

Terkait dengan pengisian kepala daerah, konstitusi dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan: gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Meskipun konstitusi hanya menyebut dipilih secara demokratis, pembentuk undang-undang memaknai frasa ‘dipilih secara demokratis’ menjadi dipilih secara langsung.

Bahkan, untuk gubernur daerah yang diberi status istimewa seperti Yogyakarta, frasa ‘dipilih secara demokratis’ diberi makna tidak dipilih rakyat secara langsung dan tidak pula dipilih anggota DPRD.

Dengan demikian, bagaimana proses pemilihan kepala daerah dan penentuan pemenang dalam pemilihan menjadi substansi undang-undang.

Definisinya, bagaimana proses pemilihan dan penentuan pemenang menjadi wilayah yang selama dan sejauh ini dikenal dengan kebijakan terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.

Kebijakan terbuka tersebut sulit diangkat dan diletakkan menjadi isu konstitusional selama prinsip dasar dalam frasa ‘dipilih secara demokratis’ dipenuhi pembentuk undang-undang.

Berbeda dengan kepala daerah, proses dan penentuan pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan substansi konstitusi.

Ihwal ini, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan: presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Dalam menentukan pemenang, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Cek Artikel:  MK, Eksis Apa di Balik Kejar Tayang Kursi KPK

Selanjutnya, jika syarat itu tidak terpenuhi, pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan bertarung dalam putaran kedua.

Karena materi undang-undang, sejak rezim pemilihan kepala daerah langsung dimulai, penentuan pemenang kepala daerah telah mengalami penurunan persentase.

Misalnya, Pasal 107 Undang-Undang No 32/2004 menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

Meski demikian, bila batas 50% tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih?

Perkembangan terbaru, Undang-Undang Nomor 8/2015, persentase minimal penentuan pemenang kepala daerah tak dikenal lagi.

Definisinya, apabila hasil pemilihan telah dilakukan, pasangan yang meraih suara terbanyak atau persentase tertinggi lansung ditetapkan sebagai calon terpilih.

Sebagai materi undang-undang, penentuan pemenang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta memang berbeda sendiri.

Bahkan, Undang-Undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh mempersamakan besaran persentase kemenangan calon dalam UU No 32/2004.

Revisi UU No 29/2007

Apabila ditilik ke belakang, upaya mempersoalkan keharusan penentuan pemenang pemilihan gubernur Jakarta dengan mayoritas absolut lebih dari 50% bukan isu yang muncul saat ini.

Merujuk catatan pada 2012, sebelum hasil penghitungan putaran pertama ditetapkan KPUD, tiga warga Jakarta mengajukan judicial review Pasal 11 ayat (2) UU No 29/2007 ke Mahkamah Konstitusi.

Argumen mereka, ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan UU No 32/2004 yang mengatur penetapan dua putaran dilakukan jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30%.

Terkait dengan masalah ini, dalam tulisan Kontroversi Putaran Kedua Pilkada (2012), saya kemukakan pertanyaan mendasar: apakah prinsip mayoritas absolut itu menjadi sebuah kekhususan model pemilihan di DKI? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.

Tetapi, kalau dikaitkan dengan Aceh dan Papua, kedua daerah ini memang memiliki karakter khusus yang membedakan dengan daerah lain.

Cek Artikel:  Momentum Revisi UU ITE

Tetapi, persentase penentuan pemenang pemilihan kepala daerah tidak tepat diletakkan jadi alasan untuk meneguhkan status khusus yang diberikan undang-undang kepada Jakarta.

Sayang sekali, aturan pemenang berdasarkan mayoritas absolut yang dinilai sejak pemilihan Gubernur Jakarta 2012 sebagai persoalan hukum yang serius tidak pernah dipersoalkan lagi begitu Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama berhasil menjadi gubernur dan wakil gubernur.

Padahal, pengaturan yang membuka peluang adanya putaran kedua sejak 2012 disadari berpotensi menimbulkan titik rawan dalam proses politik Ibu Kota.

Sepatutnya, begitu pemilihan Gubernur Jakarta 2012 berakhir, langkah untuk merevisi (legislative review) UU No 29/2007 terutama menyangkut penentuan ambang batas kemenangan di atas 50%.

Dalam situasi seperti sekarang, apakah masih mungkin mengulangi pengajuan pengujian ke Mahkamah Konstitusi?

Sama seperti upaya yang dilakukan pada 2012, dengan telah selesainya putaran pertama, permohonan menjadi masalah pelik tidak hanya bagi pihak yang menjadi pemohon, tetapi juga bagi MK.

Bagi yang mengajukan, pilihan ke MK sulit untuk dikatakan tidak bias kepentingan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

Sementara bagi MK, rentang waktu yang tersedia tidak mudah mengambil putusan.

Selain itu, mengabulkan permohonan MK dapat dinilai berpihak kepada pasangan peraih suara terbanyak putaran pertama dan menolak permohonan MK dapat dinilai berpihak kepada peraih suara kedua.

Di tengah situasi yang serbatak menguntungkan, putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta 2017 harus dilanjutkan.

Berspekulasi dengan segala macam langkah hukum berpotensi menghadirkan pesoalan termasuk masalah hukum dan politik yang lebih serius.

Langkah paling bijak, setelah proses pemilihan Gubernur Jakarta selesai, pemegang kuasa pembentuk undang-undang (presiden, DPR, dan DPD) harus mulai berpikir dan berbuat nyata untuk merevisi UU No 29/2007.

Dengan demikian, upaya menghapus kemungkinan adanya putaran kedua dalam pemilihan Gubernur Jakarta harus ditempatkan sebagai politik hukum (ius constituendum).

Apabila upaya ke arah revisi tidak dilakukan, beban politik putaran kedua sangat mungkin bersua kembali lima tahun ke depan.

Mungkin Anda Menyukai