JANJI netralitas Presiden Joko Widodo kembali mendapat cibiran dari masyarakat. Berbagai aktivitasnya selaku kepala negara dan pemerintahan dikritik banyak pihak karena menguntungkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Terakhir, saat kunjungan kerja ke Salatiga, Jawa Tengah, pada Selasa (23/1) lalu, dari dalam mobil kepresidenan ada tangan yang mengacungkan simbol dua jari ke arah masyarakat yang berdiri berjejer di kanan-kiri jalan.
Di Terminal Selatan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, kemarin, Presiden langsung membantah posenya itu berkaitan dengan nomor urut capres yang akan berlaga pada 14 Februari nanti. Gembira bertemu masyarakat menjadi dalih pembenarannya.
Bukan ada yang tahu, kecuali Presiden sendiri, apa yang melatari adanya pose dua jari dari mobil yang dia tumpangi. Tetapi, yang pasti, pemerintah yang diwakili Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menerbitkan Surat Keputusan Berbarengan No 2/2022 mengenai netralitas dan larangan berpose untuk ASN selama masa pemilu.
Jangan main-main, aturan itu sangat detail. ASN yang terbukti melanggar akan dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin ASN dengan sanksi mulai peringatan, pemecatan, hingga pidana.
Selama masa pemilu, para abdi negara dilarang berpose menggunakan gerakan dan ekspresi tubuh yang mengarah pada dukungan politik. Dalam aturan itu, tertulis tegas larangan gaya tangan dengan dua jari yang selama ini jadi simbol damai (peace).
Hukuman disiplin berat akan membayangi ASN yang melanggar, meliputi penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan dari jabatan menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan, hingga pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Sejak Keputusan Berbarengan itu diundangkan pada 22 September 2022, tak ada lagi ASN yang berani berpose selain mengepalkan tangan sebagai tanda semangat. Itu masih berlaku hingga sekarang.
Tetapi, para aparat pemerintahan itu tentunya butuh contoh yang baik dari pemimpin pemerintahan. Demi Presiden selaku kepala pemerintahan tegas memerintahkan netralitas ASN, para abdi negara akan mengikutinya.
Tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, Surat Keputusan Berbarengan itu akan bernasib bak macan ompong, keras aumannya, tapi tak bisa menggigit. Pesan moralnya, jangan jadi macan kalau tak bergigi. Jangan terbitkan aturan kalau tak mampu menegakkannya.
Pose dua jari dari mobil kepresidenan yang ditumpangi Presiden jelas bukan contoh yang mesti ditiru ASN. Sebagai aparat pemerintahan, ASN tetap harus berpegang teguh pada netralitas sekalipun kepala pemerintah tidak mencontohkannya.
Sebagai presiden, Jokowi perlu diingatkan bahwa ia masih belum lepas dari sumpah jabatannya yang akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta menaati undang-undang selurus-lurusnya. Perintah untuk bersikap adil dan netral itu tertuang di Pasal 9 UUD 1945.
Karena itu, Presiden harus segera menghentikan tindakannya yang bisa diinterpretasikan tidak netral. Presiden harus menjaga kewibawaan pemilu sekalipun putranya, Gibran Rakabuming Raka, berlaga dalam pemilu nanti.
Pendidikan berdemokrasi tak boleh jalan di tempat, apalagi mundur. Salah satunya ialah dengan menjunjung tinggi etika berpolitik yang harus dimulai dari kepala negara.