Politik Dinasti Membunuh Demokrasi

DEMOKRASI di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Presiden Joko Widodo yang diharapkan membuat demokrasi kita makin sehat dan sempurna, justru melakukan hal sebaliknya.

Alih-alih berlaku netral, Jokowi justru mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa seorang presiden boleh kampanye dan berpihak dalam perhelatan Pemilu 2024. Pernyataan ini sebagai respons karena dirinya berkali-kali dituding cawe-cawe dan melakukan kampanye terselubung untuk mendukung paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Pihak yang membela Jokowi menyebut apa yang dilakukan Jokowi sesuai dengan aturan perundangan dan tidak menyalahi konstitusi. Apalagi, Jokowi yang merupakan ayah dari cawapres Gibran berkali-kali mengeklaim dirinya tidak melakukan kampanye.

Tetapi, banyak kalangan melihat aksi yang dilakukan Jokowi sudah membahayakan praktik demokrasi yang sudah dirintis sejak 1998. Mereka, para kelompok kritis itu, melihat ada motif Jokowi memperpanjang kekuasaannya. Salah satu caranya dengan mempraktikkan politik dinasti yang dilakukan dengan menekuk aturan.

Cek Artikel:  Bansos bukan Sokongan Jokowi

Biarpun banyak perdebatan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan praktik politik dinasti di dalam negara demokrasi. Taatp kepala negara atau pemerintahan berhak menyiapkan penerus trah politik kekuasaan yang pernah dimiliki orang tuanya.

Sebut saja Presiden George W Bush yang merupakan anak mantan Presiden George Bush di Amerika Perkumpulan, atau Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang merupakan anak mantan Perdana Menteri Pierre Trudeau. Atau ada klan Kennedy yang pada era 1960-an begitu berpengaruh di Amerika Perkumpulan.

Tetapi, apa yang dilakukan para penguasa di negara demokrasi tersebut untuk memperpanjang dinasti politik tidak menjadi polemik, apalagi sampai merusak tatanan demokrasi di negara masing-masing. Pasalnya, semua proses perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara yang konstitusional dan tidak melanggar etika politik yang berlaku di negara tersebut.

Cek Artikel:  Putusan MA untuk Siapa

Sedangkan apa yang dipertontonkan di negeri ini untuk meneruskan trah politik justru terlihat sebaliknya. Bukannya memberikan proses kaderisasi dan pematangan berpolitik, politik dinasti dijalankan dengan rupa-rupa cara, bahkan hingga menabrak etika. Yang selalu didengungkan ialah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Sebatas itu.

Upaya meraih kekuasaan dengan meneruskan kepada keluarganya tidak lagi dilandaskan pada ukuran pantas atau tidak pantas. Bahkan, jika perlu aturan bernegara yang sejatinya dibuat untuk menjaga kualitas demokrasi di negara ini, bisa ditekuk-tekuk sesuai selera hati.

Harus tegas kita katakan bahwa politik dinasti hari-hari ini di negeri ini sudah menjadi embrio rusaknya demokrasi. Ia meupakan pangkal yang bisa mengantarkan demokrasi kita di ujung kematian, bila langkah-langkah itu tidak dihentikan.

Cek Artikel:  Legislasi Kilat Lupakan Mandat

Serangkaian aksi dan pernyataan yang disampaikan pucuk pimpinan di negeri ini tersebut menjadi tanda penolakan, atau setidaknya lemahnya komitmen, terhadap aturan main demokrasi. Bahkan, langkah-langkah itu kian hari kian menunjukkan upaya mengabaikan dan berusaha melemahkan, bahkan mematikan demokrasi.

Sungguh tragis, presiden yang dipilih untuk menduduki posisi tertinggi di negara ini melalui proses yang nyaris tanpa cela, ternyata berupaya membangun politik dinasti yang merusak demokrasi. Kita mesti tegas menolak segala upaya serius pelemahan demokrasi yang pencapaiannya tidak sekadar dengan cucuran keringat dan air mata, tapi juga cucuran darah dan hilangnya nyawa. Setop aksi brutal merusak demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai