ADA postulat, ketika dunia kampus mulai bersikap dan bergerak maka negara memang sudah dalam situasi gawat darurat. Eksis pula aksioma, tatkala sivitas akademika mulai melawan, berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa sudah keterlaluan. Itulah yang terjadi di negeri ini sekarang.
Setelah lama memilih diam, kampus sebagai institusi akhirnya bersuara lantang. Sejumlah universitas ramai-ramai menyatakan keprihatinan dan menyerukan peringatan kepada penguasa, utamanya Presiden Joko Widodo. Mereka satu frekuensi bahwa Jokowi sudah terlalu jauh menyimpang dari tugasnya sebagai presiden dan kepala negara. Mereka satu kata bahwa Jokowi sudah terlalu liar mengabaikan etika dan merusak demokrasi.
Keprihatinan, peringatan, bahkan perlawanan itu diawali oleh Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengeluarkan petisi yang isinya secara jelas dan tegas mendesak Presiden Jokowi segera kembali ke koridor demokrasi.
Langkah UGM diikuti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Melalui pernyataan sikap bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan, mereka menyesalkan Jokowi yang semakin lupa atas sumpahnya untuk mematuhi dan menjaga konstitusi. Mereka menyebut penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan demi kepentingan politik kelompok kian menggila jelang hari-H Pemilu 2024.
Universitas Indonesia tak ketinggalan. Sebagai kampus perjuangan, mereka tak tahan lagi memendam keprihatinan atas situasi politik Indonesia yang kian menyimpang dari semangat reformasi dan demokrasi. Mereka menegaskan, tatanan hukum dan demokrasi sudah hancur. Mereka mengingatkan, etika bernegara dan bermasyarakat terutama terkait dengan korupsi dan nepotisme sudah hilang.
Universitas Andalas Padang dan Universitas Hasanuddin Makassar pun telah bersikap. Kita yakin, sangat yakin, gerakan dan perlawanan atas kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan itu akan terus berdatangan bak gelombang dari masyarakat kampus. Sejarah membuktikan, dunia kampus tak pernah berdiam diri ketika kontraksi demokrasi tak terkendali.
Kalau kampus mulai bersikap, bergerak, dan melawan, itu sebuah keniscayaan. Harus tegas kita katakan, demokrasi yang dengan susah payah dibangun bahkan harus ditebus dengan nyawa anak bangsa, kini sedang terancam hebat. Eksis sejumlah indikator yang menguatkan penegasan itu.
Indikator utama ialah majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pengambilannya diwarnai pelanggaran etika berat dan kental dengan intervensi politik. Gejala penyalahgunaan kekuasaan sangat kentara ketika Jokowi menyatakan presiden boleh berkampanye dan berpihak.
Situasi pun kian memburuk dengan semakin gencarnya distribusi beragam bantuan negara oleh Presiden Jokowi yang diarahkan ke penguatan dukungan kepada pasangan capres-cawapres tertentu. Belum cukup, mobilisasi aparat negara tanpa malu-malu lagi dipertontonkan di depan publik. Segala itu merupakan penjajahan terhadap etika, moralitas, sekaligus menginjak-injak hukum dan konstitusi.
Celakanya lagi, peringatan dan seruan dari banyak kalangan agar Jokowi sadar dan kembali ke jalan yang benar bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Lewat begitu saja. Bahkan, ada kesan semakin kencang seruan datang semakin bersemangat dia memamerkan penyimpangan.
Pada konteks itulah, genderang perlawanan dari dunia kampus memang sudah saatnya kembali ditabuh. Ia bisa membangkitkan perlawanan yang lebih besar dari kalangan yang lebih banyak lagi. Kita patut menyambut baik perlawanan itu agar Jokowi sadar diri jika memang masih punya nurani. Sebagai bangsa, kita pantang diam supaya demokrasi tidak benar-benar mati.