Menyongsong Pemilu Jujur Adil Mengambil Hikmah dari Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan

Menyongsong Pemilu Jujur Adil: Mengambil Hikmah dari Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
Prof Dr Imam Subchi, MA, Guru Besar Antropologi Keyakinan dan Wakil Rektor 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(Dok Pri)

FEBRUARI 2024 menjadi bulan yang penting bagi masyarakat Indonesia. Bulan ini menandai puncak dari proses demokrasi periodik yang menentukan babak baru pemerintahan negeri ini selama beberapa tahun ke depan. Segala anak bangsa mempunyai kans untuk membuktikan kapabilitas untuk mengelola negeri. 

Kepemimpinan merupakan bidang yang terbuka bagi semua kalangan. Seseorang dari keluarga berpunya maupun kurang berpunya, bahkan tidak berpunya sekalipun, mempunyai peluang dalam meniti kariernya sebagai pemimpin bangsa. Entah itu lewat jalur formal administratif (pendidikan administrasi negara) atau jalur politik, yakni melalui skema pemilihan senator atau pemimpin negara atau daerah, menjadi banyak bidang yang bisa dimaksimalkan, bergantung dengan hasrat dan kejelian dalam memilih peluang. 

Orang berpunya tentu mempunyai modal sosial yang jauh lebih besar. Mereka dapat menempuh pendidikan di kampus-kampus terbaik di dalam maupun luar negeri tanpa harus mengkhawatirkan biayanya. Iklim belajar yang teratur membuat mereka senantiasa fokus pada aneka bidang. Maklum, ini sudah menjadi kebiasaan sejak mahasiswa. 

Baca juga : Pertaruhan Menegakkan Demokrasi 

Ketika ia lulus, meniti karier sebagai pimpinan perusahaan, mungkin jadi pilihan. Di antara mereka mungkin ada yang memilih bergabung dengan partai, karena memang ia mempunyai motivasi menjadi pemimpin negara di masa depan. 

Bagi kalangan tak berpunya, jalannya mungkin agak terjal. Ia harus membiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, bahkan keluarganya, sembari belajar politik secara formal maupun informal. Mungkin saja, latar belakang pendidikannya tidak selalu terhubung dengan capaian lulusan menjadi pemimpin administratif di pemerintahan. Tetapi, dengan kesabarannya dalam meniti karier dalam organisasi politik atau organisasi massa, ia perlahan menemukan momentumnya. 

Cek Artikel:  Mencegah Politisasi Program Sokongan Sosial

Menjadi pemimpin dapat menjadi cita-cita semua kalangan, tergantung pada bagaimana proses yang dijalani dan kesempatan yang tersedia. Yang perlu ditanamkan, adalah keberanian dalam bertindak dan belajar hal baru. Jangan takut untuk memulai mengambil tanggung jawab, bahkan jika itu dimulai dari skala kecil, seperti menjadi petugas KPPS (Grup Penyelenggara Pemungutan Bunyi) di lingkungan tempat tinggal masing-masing. 

Baca juga : Politik Harus Junjung Etika, bukan Halalkan Segala Langkah

Kepada mendulang kebajikan dalam memimpin, dianggap baik jika kita menengok perbuatan pendahulu dalam sejarah. Tentu saja, konteks sosial yang terbabar, tidak selalu sama dengan yang ada di era kekinian. Era dulu dan sekarang mungkin ada perbedaan, namun ada nilai dan ajaran yang masih tetap dan dimaknai oleh generasi setelahnya. 

Belajar dari Utsman 

Utsman bin Affan, khalifah ketiga dalam sejarah Islam, dikenal dengan kepemimpinan yang mencerminkan perpaduan antara kedermawanan, kemurahan. Tetapi, dirinya tidak lepas dari kritik terkait perilaku nepotisme. 

Baca juga : JK Sebut Kepemimpinan Jokowi Bagus di Periode Pertama, Menurun di Periode Kedua

Ia dikenal sebagai pemimpin yang pemurah. Ia sering memberikan harta kekayaannya untuk kepentingan umat, seperti membangun masjid-masjid dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kedermawanannya ini membuatnya dihormati dan dicintai masyarakat pada masanya, serta menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi umat Islam.

Cek Artikel:  Mengeksplor Surga Wisata Mentawai

Ahmad Shalaby, dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 1 (terbit 1988), menyebutkan, selain kedermawanannya, Utsman juga dikenal sebagai sosok berperangai ramah. Kegemarannya dalam berbagi tidak bisa dipungkiri dari privilage yang dimilikinya. 

Utsman adalah khalifah dari keluarga yang terkenal kaya di Tanah Arab. Ia mempunyai bisnis yang berkembang dan menghasilkan keuntungan yang bukan saja untuk mencukupi dirinya, namun juga sebagian masyarakatnya. Kedermawanannya tercermin dalam sikapnya yang ramah, sehingga ia mampu menggunakannya untuk menjalin kemitraan politik yang kuat dengan para pemimpin umat Islam lainnya. 

Baca juga : Dirty Vote, Masyarakat Harus Paham Kondisi Demokrasi Terkini

Di sisi lain, kepemimpinan Utsman bin Affan juga dicatat dengan adanya nepotisme. Beberapa kebijakan atau posisi dalam pemerintahannya cenderung menguntungkan atau memberi keistimewaan kepada kerabat dekatnya. Meskipun hal ini tidak mencakup semua aspek kepemimpinannya, kritik tentang nepotisme ini tetap menjadi bagian dari evaluasi terhadap pemerintahannya.

Nepotisme Utsman perlahan melahirkan gelombang protes dari para sahabat nabi yang tidak sepakat dengan keputusannya itu. Kebencian akan sikap sang khalifah terus menjadi duri dalam sekam yang semakin mengancam pemerintahannya. 

Akhir hidup sang khalifah pemurah ditutup dengan kematian yang memilukan. Ia dibunuh oleh faksi politik yang kecewa dengan kepemimpinannya. Kemurahannya tidak selamanya berujung pada kebahagiaan semua kalangan. Kalau boleh jujur, tragedi ini dapat lahir salah satunya karena praktik nepotisme sang khalifah. 

Baca juga : Menuju Pemilu Jujur dan Adil

Cek Artikel:  Tinjauan Etik dan Hukum Terhadap Fraud Arsip Usulan Profesor

Perlu diingat, nepotisme Utsman sejatinya lahir secara naluriah, Keluarga kaya cenderung memaksimalkan potensi pendapatan di lingkungan keluarganya sendiri. 

Arangl A’la al-Maududi, dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan (terbit 1984), menilai nepotisme Utsman, berpadu dengan kehendak untuk menjaga kepentingan kelompok. Alasan itu, distribusi kepemimpinan, akhirnya terkonsentrasi di satu lini keluarga tertentu, dan mencegah adanya infiltrasi dari keluarga-keluarga lainnya, yang mungkin dianggap membahayakan sistem yang sudah berjalan. 

Seseorang yang memiliki latar belakang pribadi yang berpunya, seperti kekayaan materi, cenderung memiliki kecenderungan untuk tidak menggunakan kekuasaannya guna memperkaya diri sendiri. Secara teoritis, individu yang memiliki kekayaan yang cukup sebelumnya, tidak akan tergoda untuk mengambil harta yang bukan menjadi haknya saat memimpin kelak. Hal ini karena mereka telah memiliki sumber daya finansial yang mencukupi, sehingga tidak perlu memanfaatkan jabatan politiknya untuk tujuan pribadi.

Baca juga : Cak Imin Sebut Legitimasi Kekuasaan Pemerintah Pagilai Mulai Keropos

Tentu saja anggapan di atas sebatas teoritis. Perlu untuk disikapi secara arif, karena biasanya kelebihan harta dapat bermuara pada ruang ganda: kemurahan seperti Khalifah Utsman, atau ketamakan tak berujung yang justru membawa pada kehancuran. 

Sepenggal hikmah di atas, tentu menjadi pegangan yang baik sebagai bekal bagi para calon pemimpin di masa depan, utamnya dalam menyelenggarakan proses pemilihan pemimpin yang jujur dan adil. 

 

Baca juga : PMII Keluarkan Mantapan Pergerakan Menyelamatkan Demokrasi Indonesia

 

Mungkin Anda Menyukai