Cendekiawan bukan Buzzer

KAUM cendekiawan bukanlah mereka yang berumah di atas angin. Meski kerap dianggap sosok suci yang mendakwahkan kebenaran, ia tetaplah menjejak bumi sebagai penjaga moral kehidupan bermasyarakat.

Maka, amatlah wajar jika  belakangan ini sejumlah guru besar dan tokoh intelektual di negeri ini lantang bersuara. Mereka resah ketika ada pihak-pihak yang coba mengkhianati demokrasi untuk kepentingan pribadi. Mereka pun mengingatkan para elite akan pentingnya menjaga etika dan moral ketimbang urusan menang-kalah untuk kepentingan elektoral.

Secara bergantian, sivitas akademika dan guru besar dari sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta itu melempar pesan kepada elite agar serius meluruskan demokrasi yang berjalan menyimpang. Asikan itu bukanlah mengada-ada.

Mereka melihat gelagat etika dan moral yang secara kasat mata diselewengkan, dari mulai mengubah aturan Mahkamah Konstitusi terkait usuran pencalonan wakil presiden, pengerahan aparatus dan fasilitas negara untuk berkampanye, hingga tindakan intimidasi untuk mendukung paslon tertentu. Intinya, mereka hanya menginginkan Pemilu berlangsung jurdil, jujur dan adil, serta beretika, bukan untuk menggulingkan penguasa.

Cek Artikel:  Rancangan Mentah Makan Siang Gratis

Sayangnya, seruan moral ini ditanggapi berlebihan oleh Istana. Koordinator Staf Spesifik Presiden Ari Dwipayana, bahkan menuding para cendekiawan dan guru besar itu sebagai partisan. Kagak hanya merendahkan, mereka juga membuat narasi tandingan dengan membenturkan para cendekiawan. Eksis indikasi dugaan keterlibatan aparat sebagai operator mendekati para petinggi universitas untuk bungkam atau menyuarakan hal sebaliknya. Seorang rektor bahkan mengaku diintimidasi untuk membuat video yang mendukung penguasa. Para intelektual itu seolah ingin digerakkan sebagai buzzer.

Upaya-upaya intimidasi semacam ini harus dilawan. Asal Mula, membiarkan kesewenang-wenangan, apalagi mendukungnya, adalah sebuah bentuk pengkhianatan. Kaum cendekiawan atau intektual tidak semestinya terlibat dalam politik kekuasaan dan melupakan tugasnya sebagai penjaga moral. Kekuasaan, apalagi yang cenderung represif dan menindas, justru harus menjadi musuh bersama. Para cendekiawanlah yang harus berdiri di garda terdepan menyuarakan perlawanan agar kekuasaan itu tidak sewenang-senang.

Cek Artikel:  Ketidaknetralan di Luar Akal

Kaum cendekiawan harus mampu membawa pergerakan yang nyata serta menjadi agen perubahan. Mereka harus menjaga kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, baik yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan.

Seorang cendekiawan sejati harusnya merasa terpanggil untuk menunaikan tugas tersebut, karena di situlah martabat dia sebagai cendekia yang memiliki keunggulan rasio, moral, dan etika. Bukannya malah ikut larut dalam pusaran kekuasaan, apalagi hanya dengan iming-iming uang dan jabatan.

Para cendekiawan harus menampakkan dirinya sebagai figur yang mencerahkan, bukannya sebagai petualang politik yang takut menjalankan fungsi kritik terhadap kekuasaan. Berpikir kritis dan logis adalah sikap yang harus melekat dalam diri seorang cendekiawan bukan malah bersikap pragmatis dan menghamba pada kekuasaan. Kalau itu yang terjadi, maaf,  Anda tidak pantas disebut cendekiawan, karena cendekiawan tidak akan pernah beralih peran menjadi influenser, apalagi buzzer.
 

Cek Artikel:  Ketamakan Korupsi Timah

Mungkin Anda Menyukai