Rohingya, Homo Sacer pada Demokrasi Kontemporer

Rohingya, Homo Sacer pada  Demokrasi Kontemporer
(Grafis/Seno)

APA yang terjadi terhadap muslim Rohingya hari ini jelas merupakan tamparan keras terhadap tatanan demokrasi global. Ketika pelembagaan hak asasi manusia mengalami titik kulminasi, dengan berbagai deklarasi dan konvensi yang terus dilahirkan dan disempurnakan, kita masih mendapati orang-orang yang hidup tanpa hak, tanpa kewarganegaraan, dan terpapar kekerasan tanpa mediasi atau perlindungan hukum. Dalam lanskap global di saat nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi terus dirayakan, realitas limbo of rightlessness atau stateless people masih terjadi di Rakhine, Myanmar, dan beberapa lokasi yang lain.

Ratusan ribu muslim Rohingya hari ini mendapati diri berada dalam keadaan tanpa identitas nasional, tanpa hak-hak kewarganegaraan, sehingga tak ada lagi institusi formal yang dapat menjadi tameng untuk menghadapi realitas kekerasan. Dalam perspektif Hannah Arendt (Imperialism, Harcourt, Brace & World, 1968), nasib para pengungsi itu menunjukkan HAM sebagai hak yang diasumsikan tak terhapuskan pada diri semua manusia ternyata tidak operasional di luar konteks negara-bangsa. Visi modern tentang HAM yang bertolak dari prinsip ‘setiap manusia pada dirinya sendiri adalah sumber sekaligus tujuan tertinggi kehidupan’, menurut Arendt, terbentur pada kenyataan bahwa berbicara tentang HAM sama artinya berbicara tentang gambaran mengenai manusia yang abstrak dan sangat problematis dalam perwujudannya.

Perbincangan tentang hak tak pernah luput dari kerangka negara-bangsa yang kita temukan, bukan gambaran manusia dengan hak-hak universal, melainkan warga-negara dalam perbandingan eksklusifnya dengan yang bukan warga-negara. Seluruh pernyataan tentang HAM, menurut Arendt, selalu tumpang tindih dengan pernyataan tentang nasionalisme di saat gambaran tentang manusia selalu merujuk kepada pengertian bangsa atau rakyat–sebagai kolektivitas–dan bukannya pengertian manusia individual.

Tanpa identitas politik
HAM dalam praktiknya merupakan sebuah atribut institusional yang secara intrinsik melekat pada warga-negara dengan berbagai ikatan strukturalnya dengan negara. Di luar konteks warga-negara, HAM menurut Arendt menjadi tidak bermakna. Kita dapat melihat para pengungsi Rohingya atau pengungsi asal Timur Tengah di Eropa ialah entitas yang tanpa asosiasi politik dan tanpa keanggotaan dalam kolektivitas warga-negara. Mereka bukan hanya tidak memiliki hak kesetaraan di depan hukum, melainkan juga tidak tercakup dalam komunitas bangsa. Mereka menjadi sekadar kenyataan biologis telanjang tanpa identitas politis sehingga mesti menghadapi realitas kekerasan dengan kekuatan alamiah sendiri tanpa afirmasi atau mediasi dari institusi formal apa pun.

Cek Artikel:  MUI, di Antara Kesempatan dan Tantangan

Persoalan yang tidak kalah problematis ialah bagaimana warga-negara ditentukan dan apa kriterianya. Kritik Giorgio Agamben atas Deklarasi Hak Orang dan Kaum Prancis (French Declaration of the Rights of Man dan Citizen) dapat dipertimbangkan di sini. Klausul pertama deklarasi itu menyatakan manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bebas dan setara (men are born and remain free and equal in rights). Agamben mengingatkan pengertian manusia di sini tidak merujuk pada individu yang bebas dan otonom, tetapi pada semata-mata eksistensi biologis yang membentuk suatu kesatuan kolektif: warga-negara. Dalam status warga-negara, gambaran tentang hak yang inheren dalam diri setiap orang digantikan gambaran tentang hak sebagai sesuatu yang diatribusikan negara pada warga negara.
Dalam status warga-negara, individu tidak lagi diperlakukan sebagai subjek yang bebas, tetapi sebagai semata-mata eksistensi lahiriah yang terorganisasi sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan bangsa (nation). Deklarasi itu juga mengatribusikan kedaulatan tidak kepada setiap orang, tetapi kepada entitas bangsa, seperti tecermin pada klausul ketiga, ‘The principle of all sovereignty resides essentially in the nation’.

Dalam telaahnya, Agamben juga menjelaskan status warga negara tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai universal kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan seperti termaktub dalam Deklarasi HAM, tetapi juga pada ide tentang identitas nasional atau kemurnian bangsa. Konsep warga negara tidak selalu bersandarkan pada ide sakralitas harkat-martabat manusia dan lebih ditentukan perkara kesamaan tempat kelahiran, agama, atau etnisitas, seperti yang terjadi pada 1948 ketika Burma memerdekakan diri.

Di belakang konsep warga-negara ini, kita menemukan paham nasionalisme yang melihat bangsa sebagai komunitas politik yang khas, terpisah, dan terutama sekali dibentuk kesamaan-kesamaan primordial. Memang ada nasionalisme dalam pengertian semangat persatuan nasional antarkomunitas dengan beragam identitas etnik, ras, atau agama. Dalam kemajemukan, komunitas-komunitas itu mencoba mengidentifikasi dan membayangkan diri sebagai satu kesatuan yang spesifik dan terbatas.

Cek Artikel:  Penyesuaian Proses Pendidikan Pascapandemi

Tetapi, di berbagai kawasan hingga abad ke-21, masih berkembang tendensi perumus­an nasionalisme berdasarkan kesamaan agama, ras, atau etnisitas dalam masyarakat yang sebenarnya majemuk. Persoalan menjadi pelik karena penentuan batas-batas teritorial suatu negara sering tidak mempertimbangkan persebaran agama, ras, atau etnisitas itu. Bangsa Kurdi tercerai-berai ke dalam negara Turki, Iran, Irak, dan Suriah. Kaum muslim di utara Semenanjung Malaysia harus bergabung ke dalam negara Thailand yang mayoritas Buddha. Masyarakat Khasmir India dan Khasmir Pakistan harus terpisah meskipun secara tradisi dan agama mereka sama, bahkan terikat dalam hubungan darah. Demikian juga dengan etnik Bengali yang muslim terpisah dari saudaranya di Bangladesh dan harus mendiami teritori Myanmar yang mayoritas Buddha.

Esensi kewarganegaraan di sini bukan proses penentuan diri secara sadar dan sukarela, melainkan proses pemaksaan melalui kekuasaan politik dan senjata. Persoalannya kemudian, kemajemukan sebagai akibat dari politik teritorial seperti ini tidak diterima sebagai konsekuensi niscaya dari terbentuknya sebuah negara, tidak diperlakukan sebagai ciri khas kebangsaan yang mesti dipelihara. Alih-alih, kemajemukan itu justru terus-menerus diperlakukan sebagai ‘duri yang harus dicabut’ untuk mewujudkan kemurnian identitas nasional. Tak pelak lagi, tak terhindarkan terbentuknya kantong-kantong minoritas dan fenomena warga negara kelas dua.

Di dalam kantong minoritas dan terhadap warga kelas dua tersebut, hukum dan prinsip-prinsip keadilan menangguhkan diri. Hukum mengabaikan hubungan korelatifnya dengan keadilan dan kemanusiaan, bahkan kemudian menyediakan diri menjadi sarana pemaksaan. Seperti dikatakan Arendt dalam konteks totalitaria­nisme, ­everything is possible. Kekerasan, diskriminasi, dan persekusi dapat setiap saat terjadi. Alih-alih mengendalikannya, negara bahkan secara resmi mensponsori.

Cek Artikel:  Bahasa dan Susastra untuk Kebangkitan

Area indistingsi
Dalam perspektif Agamben, Rakhine merupakan sebuah dislocating localization. Di dalam sistem politik sebagai keseluruhan ternyata terdapat area dengan keberlakuan hukum dan prinsip-prinsip demokrasi ditunda. Tetapi, perlu ditegaskan, proses penundaan hukum dan prinsip-prinsip demokrasi ini bukan sesuatu yang ilegal karena dilakukan institusi resmi negara. Di dalam suatu teritori negara demokratis, ada sebuah lokasi kekerasan dibenarkan sebagai sesuatu yang legal atas nama negara.

Yang tercipta kemudian zona indistingsi antara hukum dan anomi, antara tatanan dan ketiadaan tatanan. Dalam zona indistingsi ini, kekerasan menjadi keniscayaan dan orang-orang Rohingya secara aktual luruh ke dalam status homo sacer: orang-orang yang menjadi objek kekerasan tanpa tameng perlindungan dan tanpa mekanisme untuk membela diri. Kekerasan yang terjadi bukan merupakan tindakan kriminal sehingga tidak ada konsekuensi apa pun bagi pelakunya. Dislocating localization melahirkan melahirkan apa yang disebut David Luban sebagai limbo of rightlessness: zona ketiadaan hak dan eksistensi kewarganegaraan dalam konteks hukum nasional atau internasional (Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Stanford University Press, 1998).

Kekerasan terhadap muslim Rohingya pada akhirnya juga menunjukkan tantangan bagi pelembagaan HAM hari ini adalah–menggunakan istilah Agamben–tren normalisasi keadaan darurat. Dalam keadaan darurat kekuasaan, negara lazim mengabaikan hukum dan prosedur-prosedur demokratis, menangguhkan prinsip-prinsip pembagian kekuasaan untuk membenarkan kekerasan dan pemberangusan hak-hak asasi. Prinsip penyelenggaraan negara dalam keadaan darurat itu dalam perkembangannya mengalami normalisasi dan menjadi paradigma penyelenggaraan kekuasaan.

Keadaan darurat yang sebelumnya secara ontologis merupakan keadaan pengecualian atas pelaksanaan hukum kini telah menjadi hukum itu sendiri. Perlu ditegaskan, Agamben menjelaskan tren normalisasi keadaan darurat itu tidak hanya dalam konteks negara totaliter atau transisi pascatotalitarianisme, tetapi juga dalam konteks normalitas negara demokrasi kontemporer. Dalam hal normalisasi keadaan darurat, serta dalam hal apropriasi kekerasan ke dalam tatanan hukum, demokrasi menurut Agamben memperlihatkan kesinambungan dengan totalitarianisme.

Mungkin Anda Menyukai