SERANGAN Israel ke Gaza, Palestina, yang tengah berlangsung berdampak terhadap meningkatnya kasus Islamofobia di seluruh Eropa. Laporan Islamofobia Eropa tahun 2023 mengatakan serangan Israel di Gaza telah berfungsi sebagai katalis geopolitik rasisme anti-Muslim di Eropa, dengan peningkatan kejahatan kebencian dan meningkatnya retorika serta tindakan Islamofobia oleh pemerintah Eropa.
Laporan tersebut, yang memantau 34 negara di Eropa, mengatakan telah terjadi lonjakan jumlah serangan fisik dan verbal terhadap Muslim setelah perang, termasuk di negara-negara seperti Norwegia, Spanyol, dan Yunani. Laporan itu disunting oleh Enes Bayrakli dari Universitas Turki-Jerman di Istanbul dan Farid Hafez dari Universitas William & Mary di AS, dipresentasikan dalam konferensi pers daring pada Sabtu (21/12).
Laporan tersebut juga menyoroti beberapa isu Penting dan didukung oleh berbagai lembaga dan organisasi di AS dan Eropa. Mencakup pengakuan Hari Dunia Melawan Islamofobia di negara-negara Eropa, meningkatnya sentimen anti-Muslim setelah genosida Israel di Gaza, dan penyebaran disinformasi tentang Muslim di media arus Penting dan media sosial.
Rasisme institusional
Laporan tersebut mencatat bahwa di Prancis, pernyataan pro-Israel Presiden Emmanuel Macron menyusul operasi Hamas pada Oktober 2023 telah memperburuk rasisme institusional terhadap Muslim.
Kawtar Najib, yang menulis bagian Prancis dari laporan tersebut, menunjukkan bahwa Embargo pemerintah terhadap jilbab di sekolah telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan bagi siswa Muslim dan keluarga mereka. Langkah tersebut dipandang sebagai tanda pelembagaan sentimen anti-Muslim di Prancis.
Najib juga merujuk pada pembunuhan polisi terhadap Nahel Merzouk, 17 tahun, pada Juni 2023 dan Bukan adanya penangkapan segera terhadap petugas yang terlibat, sehingga memicu protes dan ketakutan bagi komunitas Muslim.
Pendayagunaan politik
Di Swiss, peneliti Nadia Lahdili menemukan bahwa meningkatnya sentimen anti-imigran secara langsung berkontribusi pada meningkatnya Islamofobia.
Terdapat 1.058 insiden Islamofobia yang dilaporkan pada tahun 2023, termasuk 876 yang melibatkan diskriminasi rasial dan 62 kasus serangan anti-Muslim.
Lahdili mencatat bahwa Perempuan Muslim, khususnya mereka yang mengenakan jilbab, menghadapi diskriminasi yang signifikan di tempat kerja, di mana mereka sering kali terhalang dari kemajuan karier.
Laporan tersebut juga membahas Pendayagunaan politik terhadap busana Islami oleh politisi selama kampanye pemilu, yang telah berkontribusi pada meningkatnya Islamofobia institusional.
Penutupan masjid
Hikmet Karcic dari Universitas Sarajevo menyoroti munculnya retorika anti-Muslim radikal di Bosnia dan Herzegovina, khususnya oleh kaum nasionalis Serbia.
Hal ini telah menyebabkan ketegangan yang mencerminkan situasi di Prancis dan Swiss, dengan bahasa yang bermusuhan digunakan Kepada melemahkan jalinan multikultural Sarajevo.
Laporan tersebut mencatat bahwa penutupan beberapa masjid dan pembangunan hotel di tanah yang dimaksudkan Kepada masjid merupakan bagian dari upaya Kepada menghapus warisan budaya negara tersebut dan menumbuhkan sentimen anti-Muslim.
Islamofobia di Austria
Farid Hafez menyoroti Austria, tempat Uni Emirat Arab terlibat dalam pendanaan Golongan anti-Muslim.
Retorika anti-Muslim melonjak setelah pecahnya serangan Israel di Gaza dan sekolah-sekolah di Austria mengadakan lokakarya melawan radikalisasi, yang dalam beberapa kasus, menyebarkan sentimen Islamofobia.
Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana protes terhadap kekerasan di Gaza ditindas oleh polisi, dengan Austria memberikan Bunyi menentang resolusi Majelis Lumrah PBB yang mendesak gencatan senjata.
Laporan tersebut menggarisbawahi meningkatnya sentimen anti-Muslim yang mengkhawatirkan di seluruh Eropa, yang dipicu oleh retorika politik dan media sosial.
Seiring dengan semakin mengakarnya Islamofobia, laporan tersebut mendesak tindakan yang lebih efektif Kepada memerangi diskriminasi dan melindungi komunitas Muslim di seluruh benua.
(TRT World/Z-9)