SERUAN kritis dan sorotan tajam para cendekiawan, guru besar, dan aktivis terhadap polah tingkah keberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dianggap serius oleh Jokowi. Sikap Jokowi seakan masa bodoh dengan segala bentuk petisi, seruan, dan kritik tajam yang digaungkan para kaum intelektual dan aktivis itu.
Teguran para begawan yang menyebut Presiden telah menyimpang dari koridor demokrasi dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan politik praktis seakan dianggap sekadar gonggongan yang tidak perlu digubris.
Bukannya mengindahkan seruan, Jokowi justru melakukan akrobat politik yang menunjukkan keberpihakan terhadap pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Akrobat politik itu bahkan dipertontonkan semakin vulgar dan telanjang.
Peristiwa terbaru, Jokowi berkunjung ke tempat istirahat Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran seusai pelaksanaan kampanye akbar. Presiden berdalih mengantarkan cucunya untuk menemui ayahnya, yang tidak lain ialah Gibran. Kunjungan Presiden ke tempat tim pemenangan pilpres dan panitia kampanye capres-cawapres tidak bisa diterima dengan alasan apa pun.
Mengantar cucu terasa alasan yang terlalu ringan untuk tindakan yang dapat menimbulkan kecurigaan atas netralitas Presiden. Anak sekecil itu sangat tidak pantas dijadikan dan dihadirkan sebagai alasan untuk melakukan tindakan yang potensial akan menimbulkan kontroversi.
Mendatangi tempat istirahat peserta dan panitia kampanye jelas menimbulkan ketimpangan perlakuan dengan capres lainnya. Sikap itu justru mementahkan kembali ucapan Presiden yang tidak akan kampanye dan selalu bersikap netral. Sikap seperti itu kian menguatkan sikap ketidakpercayaan publik terhadap Jokowi.
Presiden seyogianya memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan sekaligus menjaga kredibilitas pelaksanaan pemilihan umum. Sebagai presiden, Jokowi harus menjaga proses pemilu yang merupakan salah satu agenda demokrasi dan proses estafet kepemimpinan bangsa ini.
Kalau presiden memiliki nalar yang wajar, pasti akan memastikan Komisi Pemilihan Standar untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas. Tetapi, kredibilitas dan legitimasi pemilu makin sulit terjadi apabila presiden berlaku layaknya tim pemenangan salah satu calon.
Demokrasi yang kini telah terluka karena akrobatik hukum dan politik bukannya mendapatkan pertolongan, melainkan malah hendak ditenggelamkan. Aksi lanjutan Presiden itu justru potensial membuat infeksi dalam proses pemilu makin parah. Sandiwara politik itu telah merontokkan moralitas dan adab demokrasi bangsa ini seperti hendak disuntik mati.
Presiden yang mestinya tegak lurus untuk berada di atas semua kandidat justru tidak memberikan teladan dalam proses demokrasi dengan panduan moral dan etika. Kagak ada autentisitas kepala negara. Kagak ada satunya kata dan perbuatan pada pucuk pimpinan yang mestinya jadi teladan negarawan.
Kondisi itu jelas membuat demokrasi di Indonesia berada dalam situasi krisis dan terancam eksistensinya. Apabila suara para begawan dan cendekiawan saja diabaikan, bagaimana suara jeritan rakyat yang merupakan roh demokrasi akan didengar?
Padahal, seluruh elemen bangsa berharap pemilu kali ini menjadi momentum konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi bisa terjadi hanya jika prinsip keadilan atau netralitas benar-benar tegak, tanpa ditawar lagi, apalagi digergaji dengan keberpihakan presiden yang di luar nalar dan kepantasan.