Begitunya Mengawal Bunyi

HARI ini, setiap warga negara yang memiliki hak suara punya dua tugas penting. Pertama, menyalurkan suara. Kedua, setiap kita juga harus ikut mengawal dan mengamankan suara yang telah kita berikan itu.

Belum pernah sejak era pemilu, khususnya pemilihan presiden langsung, kita menghadapi ancaman kecurangan sebesar dan semasif saat ini. Indikasinya sudah begitu banyak, bahkan sejak sebelum rangkaian pilpres dimulai.

Yang paling nyata dan telah terbukti, apa lagi kalau bukan pelanggaran etik berat yang dilakukan Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, saat meloloskan cawapres di bawah usia 40 tahun sebagaimana syarat undang-undang. Dengan mengubah aturan, yang tidak bisa menjadi melenggang. Dengan menabrak etika, yang jauh dari kepantasan bisa dipantas-pantaskan.

Setelah itu, parade pelanggaran aturan dan pengangkangan etika berpolitik dan bernegara terjadi. Di sepanjang masa kampanye, muncul berbagai laporan penggunaan fasilitas dan alat negara untuk menguntungkan salah satu pasangan capres-cawapres. Mantapan kenetralan ASN dan aparat negara juga malah dijungkirbalikkan sendiri oleh Presiden dengan terang-terangan menyatakan boleh berpihak dan boleh berkampanye.

Cek Artikel:  Sistem Antikorupsi masih Tewas

Ketika sejumlah kampus mengkritik sikap Presiden yang kian menjauh dari esensi demokrasi, aparat justru dikerahkan untuk ‘menggembosi’ seruan moral itu. Seperti diungkapkan Rektor IAIN Sakral, Adurrohman Kasdi, yang mengaku diminta pihak kepolisian membuat video yang mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi. Permintaan itu ia turuti.

Sikap intimidatif juga ditampakkan salah satu kubu paslon, yakni dengan terus menggiring opini pilpres satu putaran. Argumennya pun tak kalah intimidatif, yakni mencegah pemborosan dan membangun kestabilan. Padahal, fakta menunjukkan bahwa berbagai survei dan analisis menyimpulkan pilpres dua putaran tidak terelakkan.

Tak hanya itu, di tiga hari menjelang pemilu, lewat film dokumenter Dirty Vote, mata publik semakin terbuka dengan dugaan kecurangan yang sistematis dan telah dimulai jauh sebelum pemilu. Video maupun audio kesaksian yang ada dalam film tersebut juga menunjukkan bahwa demokrasi telah dinodai bahkan sejak pelolosan partai-partai yang sebenarnya tidak memenuhi syarat.

Cek Artikel:  Menjadikan KPK Siuman Kembali

Kini, di hari-H pesta demokrasi, bahaya yang siap mengintai ialah pencurangan suara. Indikasinya sudah ada. Di Malaysia, minggu lalu, terdapat informasi adanya 1.972 surat suara yang dicoblos oleh orang tidak berwenang. Hingga saat ini, dugaan tersebut masih dalam penyelidikan Bawaslu dan Panwaslu.

Lagi di Malaysia pula, ada laporan penjualan surat suara dengan harga 25-50 ringgit (sekitar Rp81 ribu hingga Rp164 ribu). Surat suara yang dijual merupakan surat suara ‘nganggur’ alias surat suara yang tidak diambil di kotak-kotak pos.

Dengan kecurangan yang bertubi-tubi dan beragam cara itu, jelas dibutuhkan kepedulian setiap pemilih untuk menyelamatkan demokrasi. Sekali lagi, caranya mutlak dengan berpartipasi aktif menggunakan hak pilih alias tidak golput, serta ikut mengawal penghitungan suara.

Cek Artikel:  Olahraga Butuh Pembinaan Setara

Apabila selama ini Indonesia telah dikenal sebagai warganet nomor satu dunia, inilah saatnya kekuatan netizen harus bisa menyelamatkan demokrasi. Datanglah, telitilah surat suara, salurkanlah suara, berikut pula saksikanlah penghitungan suara. Arsiptasikan dan siarkanlah seluas-luasnya hasil penghitungan suara itu. Hanya dengan cara itulah kita bisa menyelamatkan demokrasi dari kerusakan akibat didiamkannya kecurangan.

Mungkin Anda Menyukai