PERHELATAN demokrasi melalui pemilihan umum lima tahunan di Tanah Air nyaris usai. Jutaan masyarakat terlihat begitu antusias menggunakan hak suara mereka untuk memilih pemimpin negeri dan wakil mereka di parlemen untuk lima tahun ke depan.
Jikapun belum final, sejumlah lembaga survei sudah memublikasikan hasil hitung cepat (quick count) terkait hasil pencoblosan suara Pemilu 2024. Berdasarkan hitung cepat, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memperoleh perolehan suara di atas 50% dari jumlah pemilih yang ikut mencoblos pada ajang pilpres. Sementara itu, PDIP masih memimpin perolehan suara untuk pemilihan anggota legislatif dengan kisaran 17% hingga 20% suara.
Apabila perolehan hitung cepat tersebut tidak berbeda jauh dengan hitungan resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Lazim (KPU), hampir dipastikan Prabowo-Gibran memenangi perhelatan Pilpres 2024 ini. Prabowo-Gibran mengungguli pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya dalam satu putaran, versi hitung cepat lembaga survei.
Tetapi demikian, banyak kalangan, terutama yang khawatir dengan proses tahapan Pemilu 2024, sudah memprediksi situasi ini bakal terjadi. Berbagai dugaan pelanggaran, baik pelanggaran regulasi maupun yang paling utama menabrak etika politik, terjadi.
Bahkan tak tanggung-tanggung, dugaan pelanggaran ini seperti diorkestrasi kekuasaan. Segalanya terlihat begitu telanjang dilakukan tanpa mengindahkan kritik publik secara luas.
Sebut saja dari upaya meloloskan pencalonan Gibran sebagai cawapres melalui utak-atik peraturan perundangan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu diketuai Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi. Pun penyalahgunaan pemberian bantuan sosial (bansos) dari dana APBN kepada masyarakat miskin yang diklaim sebagai bantuan Jokowi.
Yang tak kalah brutalnya ialah upaya mengerahkan pejabat kepala daerah pilihan penguasa dan kepala desa untuk memenangkan paslon tertentu. Bahkan, Jokowi sendirilah yang menyatakan presiden boleh berpihak kepada paslon tertentu. Padahal, di panggung yang sama, Jokowi selalu mengeluarkan ancaman kepada para aparat sipil negara (ASN) yang tidak bersikap netral dalam pemilu. Terdapat perbedaan antara panggung depan dan panggung belakang.
Yang semakin menguatkan kekhawatiran publik mengenai hasil pilpres ini, sejauh ini tak satu pun hukuman berarti yang diberikan kepada para pelanggar aturan ataupun etika tersebut. Apalagi, publik juga memahami lembaga yang berwenang dalam urusan pemilu nyaris sudah tidak memiliki daya hukum lagi.
Di tengah situasi yang tak menguntungkan bagi proses demokratisasi ini, publik perlu memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak yang tidak kenal lelah memperjuangkan martabat demokrasi di Indonesia. Keringat mereka, teriakan mereka, seruan mereka tidak sia-sia.
Para pemangku kepentingan di luar lingkaran penguasa saat ini, seperti para paslon, parpol pendukung, tim kampanye, aktivis masyarakat sipil, dan juga kalangan akademisi tetap tabah walau diiming-imingi rayuan dan godaan. Mereka tidak gentar walau menghadapi intimidasi yang terkadang berujung ancaman untuk dibui. Ini bukan sekadar soal kalah atau menang.
Perjuangan menegakkan demokrasi, mewujudkan keadilan dan kesetaraan, menegakkan etika dan keadaban bakal terus berlangsung. Demokratisasi yang diperoleh melalui keringat, air mata, dan darah saat Reformasi 1998 ini tak boleh dikerdilkan hanya karena urusan menang dan kalah dalam kontestasi politik elektoral pilpres.
Publik yang ingin berjuang menegakkan demokrasi pun perlu sadar betul bahwa kemenangan yang diraih dengan cara-cara mengabaikan etika, mengesampingkan martabat, dan menekuk aturan pada hakikatnya bukanlah kemenangan sejati. Perjuangan belum selesai. Figur bisa menang dan kalah, tapi semangat menegakkan keadilan dan demokrasi tidak boleh layu. Demokrasi harus tetap hidup. Ia tidak boleh dibiarkan mati.