Budaya tanpa Ego

Budaya tanpa Ego
()

ANGGAPLAH ini sebuah hipotesis: Sebuah bangsa dengan kebudayaan yang tak memberi ruang atau peluang pada ego-personal yang eksesif (hyper-ego), tidak menciptakan ruang juga peluang untuk lahirnya diktator. Sebelum membuktikannya pada bangsa-bangsa lain (di dunia), bagaimana dengan negara atau bangsa Indonesia, bangsa kita?

Pertanyaan itu begitu penting karena jawaban atasnya bisa menjadi fondasi kuat untuk kita memahami bangsa ini, memahami diri kita sendiri. Sebuah pemahaman yang hingga saat ini masih problematik karena belum ada penjelasan atau argumen otoritatif mana pun yang bisa diterima khalayak negeri ini. Fakta yang membuat persoalan identitas itu tinggal sebagai satu hal yang secara permanen obskur, jika tidak dapat dibilang absurd.

Sebagaimana kita akan selalu kesulitan menjelaskan orang Jawa, misalnya, yang mengidentifikasi dirinya pada bayang (wayang), sesuatu yang hanya merupakan refleksi-diri yang kerap bias, meleset atau tergelincir. Terlebih bila orang Jawa mengatakan, hidup yang kita jalani ini (the reality) sebenarnya hanya untuk ‘numpang minum saja’.

Berkualitas, kita coba menelusuri jawaban pertanyaan krusial di atas dengan sebuah pertanyaan kontradiktoris semacam ini: “Mengapa negeri yang dikenal dan mengklaim dirinya bangsa bahari ini, kok, tidak memiliki tokoh-besar-di-lautan?” Bila kita menjelajahi sejarah maritim global, tak ada satu pun yang mencatat nama yang berasal dari Indonesia atau wilayah Nusantara ini.

Sementara negeri-negeri kontinental (daratan), tentu nonbahari, mencatat dengan tinta emas, pahlawan-pahlawan lautan seperti di Spanyol (nama seperti Amerigo Vespucci atau Hernando de Soto), Portugis (Ferdinand Magellan, Infant Henrique), Italia (Christoper Columbus, Giovanni Caboto, orang Eropa pertama yang menginjak tanah Amerika Utara).

Lampau di Inggris (ada James Cook, William Dampier yang jauh sebelum Raffles mengunjungi Jawa hingga Honduras dan Jamaika), Prancis (Jacques Cartier, Samuel de Champlain), bahkan bangsa Arab punya Ahman bin Najib yang begitu populer sebagai pelaut atau navigator ulung, atau Tiongkok yang punya Xu Fu penakluk Jepang abad ke-9 hingga Cheng Ho di abad ke-14. Sementara Indonesia sendiri membuat klaim, akademik bahkan, bangsa di kepulauan ini memiliki kejayaan historis di lautan sejak ratusan bahkan ribuan tahun SM.

Dalam hal lain, semua bangsa di atas itu pun juga menyumbang banyak tokoh mitologis hingga tokoh fiksi dari dunia samudra yang mengglobal hingga hari ini. Mulai dari Oceanus atau Odysseus karya fiksi Homerus, Thor atau Viking dari bangsa-bangsa Skandinavia, hingga Neptunus di kalangan bangsa Roma atau Sinbad dari rangkaian akhir kisah 1.001 malam dari masa Kerajaan Baghdad.

Indonesia? Mungkin kita punya Ratu Kidul di Laut Selatan, dan beberapa penamaan lainnya di banyak daerah. Tapi apa dunia tahu?

Pertanyaan yang tampak tak setimbang tapi sesungguhnya paralel ialah mengapa di negeri bahari tidak pernah (bahkan mungkin tak akan pernah) melahirkan ilmuwan-ilmuwan sejati yang mengabdikasikan setengah bahkan hampir seluruh hidupnya pada riset atau penelitian? Riset atau penelitian yang dilakukan jauh dari domisili orisinalnya. Riset atau penelitian yang memiliki risiko tidak kecil, ketika ia harus dilakukan di tengah hutan, di pedalaman suku terasing, di padang gurun, komunitas kanibal atau bahkan di sebuah laboratorium dengan fasilitas minim bahkan untuk sekadar penyejuk udara.

Risiko dari ilmuwan seperti itu bukan saja kehilangan hubungan (bahkan) keluarga (-nya sendiri), juga kehilangan dunia persahabatan, akademik, karier, hingga risiko kehilangan keselamatan bahkan jiwanya. Seperti yang terjadi pada seorang etnografer Jerman, Theodor Koch-Grunberg, yang 40 tahun meneliti suku kanibal di Amazon, Brasil, lalu hilang tiada bekas setelah itu, para ilmuwan tersebut bahkan memiliki risiko paling getir: tidak mampu mengabarkan atau menyebarluaskan hasil temuan/penelitian yang justru menjadi tujuan utama dari hidup (penuh risikonya) itu. Tragedi keilmuan dan kemanusiaan A Russel Wallace, penemu sejati teori evolusi, yang mati karena malaria di tengah kerja risetnya di Sulawesi, mungkin bisa menjadi ilustrasi.

Cek Artikel:  Kepastian Periodisasi Kekuasaan

Mengapa bangsa ini tidak melahirkan manusia-manusia di kualitas itu, di bidang apa pun? Karena itu, tampaknya wajar bila dalam angket yang dilakukan PBB (UNESCO antara lain), negeri ini berada di peringkat terbawah untuk segala bentuk literasi, juga untuk kontribusi akademiknya (no 163 dari 164 negara) pada dunia.

Tampaknya sangat mungkin kita tidak akan pernah mencatatkan nama dalam daftar panjang peraih Hadiah Nobel. Atau katakanlah perintis sebuah teori yang ditulis sejajar dengan ilmuwan-ilmuwan lainnya. Indonesia yang memiliki tak kurang dari 4.500 universitas, dua kali lipat lebih banyak daripada Tiongkok sementara penduduk kita tidak lebih dari 20%-nya, sangat jauh jika dibandingkan dalam soal kontribusi di atas.

Apabila semua–anggaplah praasumsi–itu benar dan terbukti, kecuali tentu satu dua kasus, mengapa semua itu ada dan terjadi? Apa yang ada/salah dalam diri bangsa, diri manusia Indonesia ini?

Hyper-ego

Tentu saja ini sudah menjadi semacam diktum dalam sejarah peradaban manusia: pergolakan dan perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa dunia tidaklah pernah dilakukan segerombolan besar manusia (massa), tapi sesungguhnya oleh sekelompok kecil orang saja (elite). Tanpa elite, jangan harap terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan manusia. Revolusi Prancis tidak akan terjadi tanpa gagasan dan inisiatif gerakan segelintir intelektual ‘cafe’ di Paris seperti Montesquieu, Voltaire, Robespierre, bahkan Danton yang tragis itu.

Tentu pula kita mengenal baik nama-nama seperti Alexander the Great, Kublai Khan, Timur Lenk, Napoleon Bonaparte, George Washington, hingga Mao Zedong, Hitler, Lenin, atau Ibnu Saud pendiri kerajaan besar Saudi Arabia. Itulah figur-figur akbar yang dicatat dalam sejarah mampu melakukan perubahan besar bahkan menciptakan (identitas) bangsa baru. Figur-figur istimewa yang karena ego-personalnya yang begitu dahsyat (hyper-ego) dan melampaui ego-kolektif, berhasil–walau mungkin akhirnya gagal–mewujudkan idea, gagasan atau mimpi revolusionernya pada tingkat yang (sangat) masif. Sebuah bangsa ia ubah menurut apa yang ada dalam benak pribadinya.

Peradaban yang mengizinkan atau membuka ruang serta peluang untuk muncul dan tumbuh hebatnya ego semacam itu, dengan sekian argumentasi yang tidak bisa dijelaskan dalam kertas pendek ini, bernama kontinental (daratan). Sebuah peradaban dengan–apa yang kita sebut–kedaulatan manusia (individual, tepatnya) dijunjung tinggi, dalam bahasa now-nya katakanlah, hak asasi manusia.

Peradaban yang bukan hanya membolehkan bahkan mengimperasi individu-individu untuk berkompetisi, sehebat apa pun (bahkan juga dengan cara apa pun di banyak kasus), untuk menjadi pemenang. Karena the winner takes all. Karena 51 berhak atas 100, termasuk milik 49 yang dikalahkannya. Karena electoral vote lebih desisif ketimbang popular vote, pelintiran demokrasi Amerika Perkumpulan mengikuti logika di atas, yang kemudian menghasilkan presiden dengan jumlah pemilih 2,8 juta lebih sedikit daripada lawannya dan memiliki pool-rated terendah sepanjang sejarah.

Cek Artikel:  Hukum untuk Penguasa dan Pengusaha

Dalam peradaban seperti itulah ego-ego secara legal dan ‘beradab’ dipertarungkan. Dengan modus, mean, atau cara apa pun. Tinggal siapa yang pada akhirnya takes all, menjadi Shi Huangdi, Claudius Nero, Louis XIV, Benito Mussolini, Ayatullah Khomenei, atau George W Bush. Pahlawan dalam dunia seperti ini ialah mereka yang secara keras didorong hyper-ego untuk memanifestasikan slogan paling congkaknya, change the world. Termasuk di dalamnya, para ilmuwan, olahragawan, juga seniman.

Kita semua tahu, pelajaran yang selalu diberikan sejarah dalam kebisuan suaranya, semua perubahan itu menyimpan virus perusaknya sendiri, kekuatan destruktif yang tidak mampu dilawan, bahkan dideteksi sang tokoh atau pahlawan revolusinya sendiri. Maka kerap kali revolusi atau perubahan radikal itu hanya menjadi–jika tidak–keindahan semalam, ia menjelma jadi derita berkepanjangan.

Tapi, kata mereka, ‘sejarah harus dicatat’. Harus dituliskan, diinskripsikan, dimonumentalisir. Sekalian yang menjadi penanda utama dari peradaban kontinental, baik atau buruk perubahan itu, ia harus jadi monumen. Karena ia ‘monumental’ (perhatikan kata dasarnya, yang jadi umum dalam bahasa apa pun, termasuk bahasa atau bangsa yang tak mengenal ‘monumen’ dalam hidup kebudayaannya, seperti budaya bahari). Maka, bila kau ia ingin bermakna, kau ingin jadi sejarah bahkan abadi, jadikanlah dirimu monumen.

Dalam peradaban ini, siapa pun ingin menjadi monumen. Di bidang apa pun. Dengan cara apa pun. Dengan risiko sebesar apa pun. Sejauh, seasing, sesulit, sebahaya apa pun. Jangankan hutan purba Amazon, bahkan galaksi sejauh jutaan cahaya pun jika perlu kujelajahi. Tuhan? Kalau perlu kulangkahi. Begitu hebat, ego manusia. Sesungguhnya. Oo bukan…sepertinya.

Bukan-ego dalam bahari

Di titik inilah kita kini bisa melihat diri kita, bangsa kita, bangsa Indonesia, bangsa yang membangun, mengembangkan, dan dipelihara oleh budaya bahari (pada mulanya). Budaya yang melahirkan peradaban dengan ego-komunal atau ego-kolektif ternyata lebih desisif ketimbang ego-personal.

Jadi, (juga dengan argumentasi yang, maaf, tak mungkin terelaborasi di sini) tak ada ruang atau peluang bagi merajanya dunia personal yang egoistis dan selfish. Sekalian yang bersifat personal, individual juga dalam arti lain, tidak akan memiliki makna yang substantif jika ia tidak memiliki fungsi dan kontribusi bagi realitas sosial atau komunalnya.

Kita akan menemukan dengan mudah contoh-contoh dari kenyataan kekerabatan semacam itu, bukan hanya dalam etnik yang besar, bahkan dalam subetnik atau kelompok kekerabatan yang lebih kecil, marga misalnya. Keterikatan seseorang pada kelompok atau komunitas besar tempat ia mendapat tautan primordial itu tak-terlepaskan, bahkan abadi. Ia menjadi semacam DNA (-primordial) yang membuat orang Bugis atau orang Gayo biar seumur hidup ia melanglang dunia, bahkan ke planet lain (kalau bisa), ia akan tetap dikubur dalam keadaan tidak berubah: orang Bugis, tetap orang Gayo.

Ikatan komunal inilah yang membuat seorang warga dari negeri ini, pasti akan kembali ke ranah asalnya, mudik. Seperti pelaut, sejauh apa pun jarak samudra ditempuh, setinggi apa pun gelombang terdaki, ke pelabuhan jua akhirnya ia bertaut. Maka, sekali lagi, kenyataan kodrati bangsa bahari yang homo socius, multikultural (multietnik), interkultural adabnya, gotong royong cara hidupnya, tolong-menolong wataknya (bukan filantropis), sudah menjadi fitrah, natural juga nurturalnya.

Cek Artikel:  Penyakit Menular Masalah Dunia, Masalah Kita

Dalam peradaban semacam inilah, tidak akan pernah tercatat pahlawan atau tokoh besar yang lebih mementingkan egonya, idea, apalagi ideologinya sendiri, apalagi memaksakan hal itu pada khalayak banyak. Perbuatan besar diukur hanya pada dampak positif atau maslahat besarnya bagi khalayak besar. Bukan pada inskripsi, catatan, atau teori yang dimonumenkan. Dalam dunia air, yang terus mengalir, tak mungkin ada monumen. Karena semua monumen akan habis dikikis tirisan air, oleh tetesan waktu yang melaju tiada tentu.

Maka pahlawan, orang besar, kiai, tokoh, pemimpin, apalah semua gelar itu, hanya diukur dari tapak atau rekam jejaknya (foot-print) dalam hidup masyarakat, dalam sejarah. Kemuliaan dan kehebatan manusia tak membutuhkan catatan kaki (footnote) yang mengabadikannya dalam simbol belaka, sebagaimana monumen. Karena itu, sesungguhnya, tidak pernah terjadi revolusi yang sesungguhnya revolusioner di negeri ini.

Karena itu juga, tidak pernah muncul seorang diktator yang sesungguhnya melulu mendiktasi atau mendikte publik sekujur hidupnya.

Demikian hipotesis di atas memiliki keberlakuannya. Dalam bentuk negatifnya ia pun menjadi diktum yang dapat dibuktikan. Diktator hanya dapat muncul dalam hidup sebuah bangsa yang budayanya memberi ruang dan kesempatan berkembangnya ego-personal lebih dari ego-kolektifnya. Hipotesis yang saya harap bisa menjadi semacam fatsoen ini mungkin bisa menjadi refleksi atau renungan bagi siapa pun yang masih memiliki ambisi hampa tentang ketokohan, kepahlawanan, apalagi kesuperheroan.

Kita dapat memeriksa bersama, banyak tokoh besar dalam sejarah bahkan ratusan pahlawan yang ditetapkan negara, apakah benar mereka yang tergolong berambegan besar mewujudkan ego-personal, ambisi atau ide megalomaniaknya pada khalayak yang besar? Mengapa kita tidak melahirkan ilmuwan penuh dedikasi, tidak perlu ke negeri asing, tapi di negeri sendiri, untuk menciptakan temuan, teori, atau sekadar menemukan harta terpendam (treasure), seperti Claude Levi-Strauss di kalangan Aborigin, Margareth Mead di Pasifik dan Bali, Clifford Geertz di Mojokuto, dan S Hourgronje di Aceh.

Itulah juga mengapa para pelaut hebat kita tidak lahir menjadi Vespucci, Baitutah, Ikhwarizmi, Marco Polo, atau I Ching. Karena mereka memosisikan laut tidaklah sebagai hal yang terlalu istimewa, tapi melulu sebagai bagian dari kesibukan harian yang pragmatis. Seperti orang berkebun, berladang, atau menjadi nelayan. Apa yang perlu mereka tulis dari hidup itu? Kepada apa mengabadikan diri, jika dalam budaya yang mengalir semua tidak abadi? Hidup hanyalah pendaratan setelah kita berlayar jauh, untuk ‘mampir minum’.

Karenanya, tak perlu lagi kita berharap ada Nobelis berasal dari negeri ini. Teori besar atau agama baru lahir di negara kita. Tak akan ada tokoh dalam sejarah bahari kita. Karena semua sama, sama tokoh dan sama bukan tokoh. Bahkan pemelihara pohon bakau pun bisa lebih tinggi maqam sosial hingga spiritualnya, ketimbang menteri atau anggota parlemen. Apa yang istimewa? Tak ada, kecuali pengabdian pada komunitas, dengan pribadi, aku atau nama tiada (perlu). Inilah budaya yang bukan by name tapi no name (NN). Budaya yang tak membutuhkan ego-individual, juga individualisme, tentu saja.

Mungkin Anda Menyukai