PUSAT Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menegaskan mengembalikan pilkada ke tangan DPRD semakin mengukuhkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Data dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2023, Indeks Demokrasi Indonesia sudah berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 dengan skor 6,71.
Pengukuran Indeks Demokrasi EIU meliputi lima dimensi, yakni proses pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat atau flawed democracy.
Hal itu disampaikan dua peneliti PSHK FH UII M. Addi Fauzani dan M. Erfa Redhani dalam rilis tertulisnya, Senin (16/12).
M Addi Fauzani mengemukakan Penyelenggaraan pilkada yang dilaksanakan oleh DPRD menafikan setidaknya dua mandat konstitusi yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 55/2019.
Putusan MK, lanjutnya, sebagai mandat konstitusi yang Tak Tengah membedakan rezim (asas dan Mekanisme) Penyelenggaraan pilkada dan pemilihan Lazim (pemilu).
Hal tersebut berarti asas pemilu yang dilaksanakan secara langsung, Lazim, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau Luberjurdil sebagaimana diatur di dalam pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, juga harus diterapkan di dalam asas dan Mekanisme Penyelenggaraan pilkada. Sementara mandat konstitusi Demi pembentuk undang-undang agar Tak dengan mudah mengubah model pemilu atau pilkada yang diselenggarakan secara langsung dan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaannya.
Sementara M Erfa Redhani menjelaskan wacana pilkada melalui DPRD yang didasarkan pada Argumen efisiensi Mekanisme maupun anggaran merupakan Argumen yang sangat lemah. Hal ini, katanya, pilkada secara langsung maupun lewat DPRD sama-sama rentan akan money politic.
Ia menambahkan narasi akan mahalnya pilkada langsung Bahkan terkesan menyalahkan rakyat. Padahal, jelasnya biaya mahal lahir karena politisi menggunakan Metode-Metode instan dengan Dana Demi mendulang Bunyi.
Erfa mengingatkan secara historis, usulan pilkada oleh DPRD telah berulang kali dicoba disahkan oleh elite tetapi buntu, terakhir dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Hal ini memperlihatkan bahwa upaya-upaya pembajakan demokrasi dan kedaulatan rakyat oleh elite akan selalu berakhir dengan kegagalan,” tegasnya.
Karena itu PSHK FH UII mendesak para pembentuk Undang-Undang yakni Presiden Prabowo dan Personil Dewan Perwakilan Rakyat Demi tetap Taat pada mandat konstitusional bahwa Pilkada dilakukan berdasar asas Luberjurdil dan Tak mengganggu kepastian serta kemapanan Mekanisme.
“Kami mengajak kepada seluruh elemen masyarakat, Demi mengawal dan memberikan pengawasan kepada pembentuk undang-undang agar tetap Kokoh pada komitmen kedaulatan rakyat,” tegasnya. (AU/J-3)