TAHUN 2018 sejak jauh-jauh hari sudah diantisipasi dan dikarakterisasikan sebagai tahun politik. Karena selain akan terjadi pilkada serentak, tahun itu juga menjadi tahun penentuan bagi para calon presiden dan wakil presiden, yang nominasinya sudah harus dilakukan pada Agustus 2018 ini.
Karena itu, timbullah opini bahwa tahun politik 2018 akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian. Karena kebetulan momentumnya persis 20 tahun sesudah terjadinya krisis ekonomi 1998, serta 10 tahun sesudah krisis finansial global 2008, sebagian orang pun percaya terhadap adanya ‘siklus krisis ekonomi 10 tahunan’.
Hipotesis seperti itu menjadi seolah-olah ‘klop’ tatkala dalam empat pekan terakhir rupiah mengalami volatilitas–dengan kecenderungan melemah–dari 12.700-an per US$ menjadi 13.500-an per US$, bahkan sesekali juga menembus 13.800 per US$.
Padahal, sesungguhnya, hampir semua indikator ekonomi makro kita sedang berada pada kondisi normal, bahkan terus membaik, seperti inflasi, suku bunga, neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, cadangan devisa. Lewat, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah pelemahan rupiah juga tercampur oleh faktor politik? Bagaimana kita mesti melawannya? Amunisi apa yang masih kita punyai?
Perang tarif menyeret resesi?
Melemahnya rupiah sejak akhir Februari dan awal Maret 2018, jelas disebabkan faktor eksternal, terutama dinamika besar yang terjadi di Amerika Perkumpulan (AS). Setelah dalam pidato pertamanya, Ketua The Fed yang baru Jerome Powell mengindikasikan akan adanya kenaikan suku bunga 3-4 kali tahun ini, akhirnya rencana tersebut benar-benar mulai dieksekusi. Pada 22 Maret 2018, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuannya dengan 25 basis poin, menjadi 1,50-1,75%.
Hal itu terutama ditopang kinerja perekonomian AS yang memang sedang baik. Pada Februari 2018, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (US nonfarm payrolls) mencatat angka 313.000 orang. Itu merupakan angka yang sangat tinggi, bahkan melebihi prestasi pada era Presiden Barack Obama. Nomor penyerapan tenaga kerja juga sangat impresif selama empat bulan sebelumnya: 271.000 orang (Oktober 2017), 216.000 (November), 175.000 (Desember), dan 239.000 (Januari 2018).
Segala angka impresif tersebut menyebabkan tingkat pengangguran AS kini sudah hampir 4%, yang merupakan level terbaik sejak 2000.
Bermodalkan kinerja inilah, Jerome Powell sebagai ketua bank sentral AS yang baru merasa sangat percaya diri untuk meneruskan kebijakan ‘normalisasi suku bunga AS’ menuju ke level yang lebih tepat. Kebijakan suku bunga rendah (easy money policy) yang dilakukan kedua pendahulunya (Ben S Bernanke dan Janet Yellen) merupakan terapi yang harus ditempuh The Fed untuk mengurai krisis finansial yang meledak pada 2008-2009.
Ketika perekonomian AS mulai pulih sejak Mei 2013, berangsur-angsur suku bunga perlu kembali dinaikkan. Jerome Powell pun tampaknya merasa saat inilah momentum yang tepat untuk mengembalikan suku bunga AS ke level normal. Sejauh ini belum ada pernyataannya tentang berapakah level suku bunga AS bisa dianggap normal, tapi perkiraan saya di atas 2%. Nomor ini saya sinkronkan dengan level inflasi di AS yang dianggap normal pada 2%. Jadi, jika inflasi 2%, suku bunga normal ialah sedikit di atas itu, katakanlah 2,5%. Jadi, jika sekarang suku bunga The Fed pada kisaran 1,50-1,75%, masih tersisa ruang untuk menaikkan suku bunga acuan AS hingga 3-4 kali lagi.
Kini pertanyaannya, apakah Jerome Powell perlu melakukannya sekaligus tahun ini? Menurut saya, tidak perlu. Powell bisa mengaturnya sedemikian rupa, disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, bisa saja tahun ini FFR dinaikkan hanya dua kali lalu selebihnya bisa dilakukan pada 2019. Kalau semua kenaikannya dibebankan hanya pada tahun ini, hal itu bisa menimbulkan apresiasi dolar AS yang berlebihan (overshoot). Kurs dolar AS bisa menjadi terlalu kuat (overvaluaed) yang akan berdampak negatif pada neraca perdagangannya, terutama terhadap rival utamanya, Tiongkok (defisit US$375 miliar setahun).
Kenaikan suku bunga AS ini serta-merta direspons kenaikan kurs dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk Indonesia. Itulah sebabnya rupiah cenderung melemah sehingga Bank Indonesia (BI) harus berjibaku melawannya dengan melakukan intervensi ke pasar uang dengan melepas sebagian cadangan devisanya. Cadangan devisa yang sebelumnya mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, hampir US$132 miliar, terpaksa terkoreksi menjadi US$128 miliar, atau bahkan kurang.
Tetapi, dinamika belum berhenti. Selagi kita masih tertegun oleh dinamika sektor finansial ini, tiba-tiba Presiden Donald Trump melaksanakan rencana kebijakannya yang kontroversial: mengenakan pajak terhadap barang-barang impor. Rencana tersebut kini bukan lagi menjadi wacana, melainkan benar-benar menjadi realitas. Seperti sudah terbayangkan sebelumnya, lawan dagang terbesar AS, yakni Tiongkok, tidak tinggal diam. Mereka pun melawannya dengan menaikkan tarif maka perang tarif (trade war) pun tak terelakkan lagi.
Bagaimana dampaknya? Perang tarif atau proteksionisme merupakan kemunduran besar dalam khazanah perekonomian dunia yang sudah masuk ke era liberalisasi, sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 2015. Masyarakat akan membayar lebih mahal barang-barang impor yang mereka konsumsi sehari-hari. Perekonomian menjadi bergerak ke arah biaya tinggi (high cost economy) yang berujung pada inefisiensi. Era itulah yang diprediksikan ekonom pemenang Hadiah Nobel, Paul Krugman (2017), sebagai ‘Trump akan menyeret perekonomian dunia ke arah resesi’.
Dengan logika tersebut, sekonyong-konyong terdapat dua reaksi. Pertama, apresiasi dolar AS yang sebelumnya kencang menjadi tertahan. Kurs dolar AS sedikit terkoreksi. Kedua, pasar melihat prospek perekonomian ke depan menjadi lesu. Karena itu, para investor global pun melepaskan saham-sahamnya di bursa global, terutama di New York Stock Exchange. Dow Jones index pun rontok hingga penutupan akhir pekan lalu hanya 23.533. Padahal, rekor tertinggi pernah mencapai 26.616, yang terjadi pada 26 Januari 2018.
Akhir era suku bunga rendah
‘Peluru’ intervensi sudah diluncurkan BI untuk meredam volatilitas rupiah. Kalau ukurannya ialah rupiah tidak sampai menembus batas psikologis 14.000 per US$, boleh dibilang jerih payah BI sudah berhasil. Tetapi, jika ukurannya ialah sudah cukup banyak cadangan devisa yang dikeluarkan untuk operasi moneter, sesungguhnya BI perlu mengalihkan beban intervensi tersebut ke instrumen lain, yakni suku bunga.
BI memang berhasil menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,25%. Ini luar biasa dan patut diapresiasi. Meski ada kelemahannya: sejauh ini rezim suku bunga rendah masih sebatas tertransmisikan ke suku bunga simpanan yang rendah, itu belum secara efektif tertransmisikan ke suku bunga kredit yang rendah.
Tetapi, apa pun alasannya, membiasakan masyarakat untuk menabung dengan suku bunga rendah menjadi hal yang kini lazim.
Dua puluh tahun silam, menjelang krisis 1998, masyarakat terbiasa dengan suku bunga deposito di atas 20%. Pada saat krisis 1998, atas rekomendasi IMF, suku bunga deposito dinaikkan ke rekor tertinggi sepanjang masa: 60%-70%. Tujuannya jelas, agar masyarakat tidak tergoda untuk menukarkan rupiahnya menjadi dolar AS atau valuta asing (valas) lainnya.
Kini situasinya sangat berbeda. Masyarakat sudah terbiasa dengan suku bunga deposito rendah, misalnya 5%-6%. Tetapi, masalahnya, jika suku bunga tersebut diturunkan lebih lanjut, saya khawatir akan sensitif terhadap migrasi dana dari simpanan berdenominasi rupiah menuju ke denominasi valas. Keputusan BI untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan tetap pada 4,25%, menurut saya rawan terhadap migrasi dana dan berakibat depresiasi rupiah.
Di AS, rezim suku bunga rendah praktis sudah berakhir sejak pertengahan 2013. Tak ada alasan lagi bagi The Fed untuk melanjutkan kebijakan easy money. Setahap demi setahap, suku bunga akan dinormalkan kembali, misalnya hingga 2,50%. Implikasinya, jika pada periode quantitative easing (2009-2013) kurs dolar AS berada pada posisi lemah, dolar AS pun kini berada pada jalur menguat (apresiasi).
Sebaliknya bagi Indonesia, dulu kita menikmati rupiah yang kuat, yang mencapai puncaknya pada level 8.600 per US$ pada Juli-Agustus 2011. Situasi tersebut tidak mungkin terulang karena kondisinya sudah jauh berbeda. Rupiah tidak mungkin kembali ke level itu. Kini yang terjadi ialah rupiah berada pada jalur pelemahan. Upaya BI menghambatnya dengan melontarkan suplai devisa, meski cukup berhasil, perlu dibantu dengan amunisi lain.
Sudah saatnya kita mengevaluasi, apakah suku bunga acuan 4,25% masih sesuai dengan kebutuhan? Saya menduga sudah tidak cocok lagi. Meski juga harus dilakukan secara bertahan (gradualism), suku bunga perlu dinaikkan 25 basis poin. Di kalangan negara-negara emerging market, Malaysia sudah lebih dulu memeloporinya. Bahkan Tiongkok juga sudah mulai sedikit menaikkan suku bunga acuannya.
Buat diketahui, Malaysia memang merupakan negara yang paling parah menderita capital outflows setelah masuk periode taper tantrum (koreksi terhadap periode quantitative easing), yang 30% cadangan devisanya merosot. Tiongkok juga menderita kehilangan cadangan devisa US$1 triliun, dari posisi puncaknya US$4 triliun. Tetapi, sekarang cadangan devisa Tiongkok sudah meningkat lagi dengan US$200 miliar menjadi US$4,2 triliun.
Konsistenisasi rupiah melalui kombinasi intervensi pasar uang (melepas cadangan devisa) dan menaikkan suku bunga merupakan sebuah keniscayaan. Bahwa BI sudah berhasil menurunkan suku bunga hingga 4,25%, itu tidaklah berarti kinerja BI menjadi tercoreng karena mengoreksinya menjadi 4,50% sebab kinerja BI tidak hanya ditentukan keberhasilannya menurunkan suku bunga, tetapi juga bagaimana menjaga stabilitas ‘dua menara kembar’ (twin tower), yakni kurs rupiah dan inflasi. Bangsa bunga ialah instrumen utama BI untuk menuju ke sasaran utama tersebut, bukan tujuan akhir.
Meski kita tetap yakin bahwa tahun politik 2018-2019 bakal berlangsung aman–sama sekali bukan the year of living dangerously–tetap saja stabilitas rupiah ialah hal terpenting dan sangat fundamental dalam perekonomian Indonesia. Kita tidak mau rupiah mengalami deja vu, atau menjalani periode terkelam dalam sejarah, saat terpuruk pada level 15.000 per US$ pada 20 tahun silam. Situasi keduanya sangat berbeda, yang sekarang jauh lebih baik dan prospektif.