Paus Fransiskus dan para Kritikus

SUATU hari, pada awal September 2019, tepat lima tahun lalu, Paus Fransiskus mengatakan kepada seorang wartawan bahwa merupakan suatu kehormatan baginya ketika orang Amerika Perkumpulan melontarkan kritik terhadapnya. Sejak tahun kelima kenaikannya sebagai pemimpin Takhta Bersih Katolik di Roma (Paus Fransiskus resmi jadi pemimpin Katolik dunia sejak 2013), kritik mulai berdatangan, khususnya dari sekelompok kecil umat Katolik AS. Paus dianggap ‘terlalu human’ dan ‘kurang konservatif’.

Dengan sejumlah kritik itu, Paus justru merasa dihornati. Ia tidak marah. Paus menyampaikan komentar demikian kepada Nicolas Seneze, seorang reporter dari La Croix, surat kabar harian Katolik Prancis. Paus menyampaikan itu saat penerbangan pada 4 September dari Roma ke Maputo, Mozambik.

Seneze, sang jurnalis itu, ialah penulis buku Comment l’Amerique Veut Changer de Pape, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Bagaimana Amerika Ingin Mengubah Paus. Seneze memberi Paus Fransiskus satu eksemplar buku itu saat penerbangan.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Lezat?

Paus Fransiskus berkata bahwa ia telah mendengar perihal buku itu, tetapi belum dapat menemukan buku tulisan Seneze tersebut. Apalagi, ketika itu, buku tersebut hanya tersedia dalam bahasa Prancis dan baru mulai dijual pada hari penerbangan Paus Fransiskus ke Mozambik itu.

Kitab itu menyajikan daftar panjang tuduhan terhadap Paus Fransiskus yang dibuat pada Agustus 2018 oleh Uskup Mulia Carlo Maria Vigano, mantan Duta Besar Vatikan untuk AS, sebagai salah satu bagian dari upaya bersama, terutama dipimpin umat Katolik di AS, untuk meragukan legitimasi pelayanan Paus Fransiskus. Sebuah tudingan yang amat keras, kritik yang amat tajam. Di banyak tempat, kritik semacam itu bisa berujung penjara.

Cek Artikel:  Untung Terdapat Mudik

Tesis Seneze ialah umat Katolik ‘yang kaku’, terutama yang kaya, menentang penekanan Paus Fransiskus pada belas kasihan atas aturan yang jelas. Pengajarannya terkait dengan masalah etika ihwal bagaimana cara ekonomi dunia bekerja, serta sambutan hangat dan tawarannya ke Kuba dan Tiongkok, dinilai para pengkritik bisa membahayakan Katolik.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Tetapi, Paus Fransiskus tidak tersinggung, apalagi marah. Setelah memberi tahu Seneze bahwa dia belum membaca buku itu, Paus mengatakan kepadanya, “Suatu kehormatan ketika orang Amerika menyerang saya.” Ketika menyerahkan buku itu kepada seorang ajudan, Paus berkomentar, “Itu sebuah bom.”

Tak lama setelah Paus Fransiskus kembali ke bagian depan pesawat setelah menyapa setiap pekerja media, Matteo Bruni, juru bicaranya, menemui para wartawan dan menyampaikan sebuah pernyataan. “Dalam konteks informal, Paus ingin mengatakan bahwa dia selalu menganggap kritik sebagai suatu kehormatan, terutama ketika hal itu datang dari para pemikir otoritatif, dalam hal ini dari negara yang penting,” kata Bruni.

Bagi Paus, gereja ialah rumah terbuka bagi siapa pun. Di gereja, bersemi kasih sayang sesama manusia. Itulah kenapa, ia dikritik bersikap terlalu liberal ketika menyeru kepada para uskup di belahan dunia mana pun yang mendukung undang-undang anti-LGBTQ untuk tetap membuka gereja bagi kaum itu. Paus menyeru agar tidak ada umat Katolik yang mengkriminalisasi kaum itu. Paus dikritik keras atas seruannya itu, tapi ia sama sekali bergeming dengan sikapnya tanpa harus memusuhi, apalagi menangkapi para pengkritik.

Cek Artikel:  Kisah Orang Hilang

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Penghormatan Paus atas para pengkritiknya itu mengingatkan saya pada sosok Nelson Mandela. Keduanya bersikap serupa meski berkubang dalam sejarah berbeda. Wajar bila banyak orang merasa kesulitan menemukan sosok-sosok pemimpin politik sekelas Paus Fransiskus dan Nelson Mandela. Kendati sepertiga hidup negarawan asal Afrika Selatan itu dijalaninya dari balik jeruji, kendati ia dipenjara karena sikapnya yang melawan ketidakadilan atas dominasi kaum kulit putih di negaranya, ia tak beringsut untuk selalu menebarkan rasa kasih.

Ketika angin perubahan datang dan membawanya ke pucuk kekuasaan, Mandela tidak menjadi gelap mata untuk membalaskan dendam atau mengkriminalisasi kelompok yang berseteru dengannya. Sejarah pun mencatat, rekonsiliasi konflik yang digagas Mandela telah membawa Afrika Selatan mengalami perubahan menjadi lebih baik.

Dua-duanya, Paus dan Mandela, juga sosok yang jauh dari gempita kemegahan dan kemewahan. Kendati semua kesempatan itu ada dan amat bisa, keduanya memilih untuk bersahaja. Nelson Mandela, misalnya, tanpa sengaja, tertangkap oleh kamera memakai kaus kaki yang sudah bolong saat sepatunya terlepas seusai menendang bola. Baju ‘dinasnya’ termasuk baju batik Indonesia yang ia cintai, hanya itu-itu saja.

Cek Artikel:  Bukan Tambahan Penderitaan Rakyat

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Paus Fransiskus setali tiga uang. Selain memilih pesawat komersial dan tidak menggunakan privat jet yang harga sewanya miliaran rupiah dalam perjalanan ke luar negeri, Paus dijemput dengan mobil kelas menengah saja saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Paus juga menolak menginap di hotel mewah. Ia memilih menginap di wisma Kedubes Vatikan di Jakarta.

Segalanya dilakukan dan disikapi biasa saja. Segala itu kelaziman dan kehidupan sehari-hari Sri Paus, alias bukan pencitraan. Padahal, Paus menggenggam dua kuasa sekaligus: kuasa sebagai pemimpin negara dan kuasa sebagai pemimpin agama. Dua kuasa yang, bila ia mau, bisa menggerakkan agar memperoleh perlakuan istimewa.

Begitulah Paus Fransiskus. Kesederhanaan dan sikap legawa terhadap kritik ia letakkan di ‘kotak’ yang sama. Paus paham sepenuhnya bahwa kritik ialah salah satu nyawa kehidupan, napas penting bagi keseimbangan. Tanpa kritik, kekuasaan akan melaju secara suka-suka, bahkan menindas sesamanya. Paus Fransiskus memahami itu semua.

Mungkin Anda Menyukai