Menimbang UU Antiteror Baru, Payung Hukum yang Terlalu Kecil

Menimbang UU Antiteror Baru, Payung Hukum yang Terlalu Kecil
()

DPR ‘terpaksa’ menyelesaikan revisi UU Antiteror No 15/2003 pada Jumat, 25 Mei 2018 yang lalu dengan sejumlah persoalan menggelantung di belakangnya. Setelah didesak oleh Presiden Joko Widodo, draf rancangan naskah revisi itu mengalami perubahan beberapa kali. Kemahiran legal drafting DPR diuji secara teoritik di dalam proses legislasi yang sudah memakan waktu dua tahun.

Urgensi revisi UU ini terasa sudah ada semenjak pascabom Bali 2002, 15 tahun yang lalu yang kini perkembangan dunia ‘persilatan’ teror semakin kompleks dan penuh dengan misteri. Kompleksitas dan misteri ini sebagian besar sudah diselesaikan oleh polisi dan kaum akademisi. Tetapi, tentu saja perkembangan ideologis terorisme tetap menjadi misteri. Hanya Tuhan yang tahu karena para ilmuwan belum menemukan jawaban atas tindakan-tindakan brutal dan sadis yang tidak berperikemanusiaan, bisa mereka lakukan terhadap lawan-lawan politik, dan juga terhadap anak-anak kandung mereka sendiri yang masih balita. Asrar ideologis ini tidak mungkin terjawab tanpa suara dari korban pelaku teror.

Di luar misteri itu, ada beberapa hal yang tangible (kasatmata) dari terorisme. Pandai diatasi, diatur, dan dikelola sedemikian rupa yang tak membutuhkan bantuan dukun untuk menerawanginya. Hal-hal itu ialah masalah krusial yang dibutuhkan oleh aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, advokat, peneliti, pegiat deradikalisasi, dll sebagai payung hukum, yang diharapkan akan mampu melindungi mereka dari hujan badai kritik para aktivis HAM yang sangat menakutkan: melebihi ketakutan mereka kepada teroris.

DPR akhirnya mengetuk palu hasil revisi Undang-Undang (RUU) No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Tetapi, saya mencatat ada beberapa persoalan yang belum jelas, salah kaprah, dan theoretically misconceptualized. Itu menggelayuti banyak tafsir yang bias dan bisa mengarah kepada legal abuse (penyalahgunaan hukum atau kriminalisasi) yang menjadi efek berbahaya dari produk hukum ini.

Krusialnya perlindungan aparat

Dunia kebijakan publik sering kali tidak sensitif dengan ancaman terorisme yang dikiranya sangat artifisial dan eksageratif. Ancaman teroris yang menyasar ke aparat sipil negara dan juga kepolisian ialah ancaman riel. Polisi ialah target nomor satu yang disebut thoghut (setan). UU revisi ini sudah sangat berhasil memproteksi aparat penyidik, jaksa penuntut umum atau penuntut khusus, hakim, sipir, advokat, pelapor, ahli, dan saksi beserta keluarganya.

Ini merupakan terobosan luar biasa dari produk hukum yang state centered ini. Pengakuan dan pemberian kewenangan dan tugas kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sudah sangat luar biasa. Dibutuhkan kreativitas dari lembaga itu untuk senantiasa aktif dan proaktif di setiap kejadian teror yang muncul di setiap pelosok negeri ini.

Tetapi, UU ini belum mampu melindungi ‘korban pelaku’ dari aksi terorisme. Istilah ‘korban pelaku’ mungkin merupakan istilah baru yang muncul dari kasus ini. Eksis juga kemajuan tentang korban yang dijerumuskan oleh aktor intelektual, seperti anak-anak minor yang tidak bisa disebut sebagai pelaku. Karena ia berada di bawah pengaruh tekanan pihak mayor (orangtua) yang tidak mampu ditolaknya.

Dunia tersentak oleh fenomena aneh yang tak terjelaskan oleh teori mana pun tentang sikap radikal yang diambil oleh sebuah keluarga. Berbarengan-sama melakukan bunuh diri di tempat yang dipersepsikan sebagai tempat kafir. Seluruh serangan teroris biasanya tak melibatkan anak-anak balita sebagai prajurit pelaku perang sektarian terorisme.

Tak terpikirkan bagaimana pada awalnya seorang ibu dengan menggandeng dua orang anak usia balita untuk meledakkan bom di gereja di Surabaya. UU ini harusnya siap dengan semua perkembangan aneh di dunia teror yang sering mengundang curiga dan tanda-tanya.

Cek Artikel:  Bukan baik Kepala Daerah Bayangi Pilkada

Aktor intelektual

Dalam pasal 14, UU ini menyasar ‘aktor intelektual’ dari kasus terorisme. Tetapi, UU ini belum mampu menyasarnya secara tepat tanpa ada ayat-ayat atau pasal-pasal tentang aktor intelektual. Teroris, dalam konsepsi Bruce Hoffman (2004), ialah violent intellectual yang biasanya tak bersedia melakukan bunuh diri.

Konsep Laffan (2003) tentang spirit bela negara dalam komunitas Islam ini begitu membahana dan setidaknya menjadi ketertarikan politik bagi gerakan-gerakan radikal, seperti MIT, JAD, JAT dll yang berafiliasi dengan IS. Ideologi Islamic nationhood ini memengaruhi banyak gerakan radikal dan teroris di berbagai belahan dunia.

UU ini belum juga mampu memanfaatkan aktor intelektual yang sangat berpengaruh dalam struktur organisasi teroris yang sangat hierarkis ataupun yang lone wolf. Eksisnya kesediaan aktor intelektual yang sudah berpihak ke pemerintah (mujahidin hanif), seperti Ali Imron, Sofyan Tsauri, Haris Amir Falah, Ali Fauzi, Yudi Zulfahri, dan para mujahidin hanif lainnya tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk keberhasilan program antiteror.

UU ini terlalu statecraft-biased dan melupakan social capital dari jejaring mantan teroris yang sudah bersedia membantu negeri ini melawan terorisme. Negara bahkan selama ini hadir secara salah dengan memaksa para mujahidin hanif yang sudah sadar ini untuk menerima Pancasila, nasionalisme dan aksesoris legal formal lainnya yang tidak perlu.

Ideologi terorisme

UU yang baru ini tidak mampu menargetkan ideologi organik terorisme. Apabila dulu ideologi kaum teroris ialah Wahabi Jihadi, kini beralih ke Wahabi Takfiri. Antonio Gramsci (1971: 55) melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat atau kaum mustad’afin untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan cita-cita kaumnya untuk terbebas dari belenggu imperialisme, kolonialisme, kapitalisme, sekularisme, (neo)liberalisme dan demokrasi. Intelektual organik yang konsisten akan dijadikan referen yang otoritatif dalam gerakan sosial radikal revolusioner.

Aktivitas radikal ini rupanya tercium tak hanya oleh kelompok radikal Indonesia, bahkan ia pun dilirik oleh kelompok militan dari luar negeri. Taatp gerakan sosial selalu membutuhkan ideologi organik (Gramsci, 1971). Gramsci beranggapan bahwa ideologi harus menjadi sebuah kesadaran kolektif. Pun ideologi yang baik ialah ketika mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok-kelompok lain, serta bisa untuk menarik kelompok lain ke dalam kelompok inti yang menggerakkan revolusi.

Grup teroris yang berada di bawah kepemimpinan Kondusif Abdurrahman ini berhaluan ideologi Wahabi yang sangat tekstual, literal, dan cenderung sangat skriptural. Wahabi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, Wahabi Shururi, kedua Wahabi Jihadi, dan ketiga Wahabi Takfiri. Grup Takfiri ini menganut sistem pembedaan dengan cara mengafirkan sesama muslim, bahkan yang sesama Wahabi pun saling mengafirkan. Ideologi Wahabi Takfiri inilah yang menjadi ideologi organik gerakan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang dipimpin oleh Kondusif Abdurrahman (Al Chaidar, 2015).

Ideologi organik yang dianut dan dijadikan basis pergerakan JAD ini ialah ideologi Takfiri yang sangat eksklusif dan cenderung menafikan dukungan sesama muslim. Takfiri ialah sebutan bagi seorang muslim yang menuduh muslim lainnya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad. Ideologi ini sangat tidak mendukung gerakan revolusioner karena menolak partisipasi dari dan akomodasi bagi kelompok-kelompok lain.

Cek Artikel:  Keyakinan, Kesalehan Ritual, dan Korupsi

Bahkan kelompok lain, dalam pandangan Takfiri, dianggap sebagai tertuduh yang bidah, kafir, zalim, fasik, dan bahkan murtad. Tuduhan itu disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum tidak beriman), dan disebutkan oleh Gilles Keppel (2002: 31) sebagai takfir ditujukan kepada ‘orang yang mengaku seorang muslim, tetapi dinyatakan tidak murni Islamnya dan diragukan keimanannya’.

Tindakan menuduh muslim lain sebagai ‘kafir’ telah menjadi suatu bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang muslim menuduh muslim sekte atau aliran lainnya sebagai kafir. Tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan mengafirkan muslim lain kian marak dengan merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah, khususnya setelah pecahnya perang saudara di Irak dan Suriah pada 2011.

Organisasi teroris

UU antiteror yang baru ini belum mampu menjadi semacam ratifikasi atas konvensi PBB tentang list of designated terrorist organizations. Ini menunjukkan pemerintah tak akan bisa bekerja maksimal atas berubah-ubahnya nama-nama organisasi teroris. UU ini juga terlalu dipengaruhi spirit komersial neoliberal yang menyebut organisasi sebagai korporasi.

JI memang bisa kita sebut sebagai korporasi jihad. Tetapi, JAD tetaplah sebagai organisasi gemeinschaft biasa. JAD ialah organisasi gerakan radikal organik Indonesia. Taatp gerakan sosial selalu membutuhkan intelektual organik (Gramsci, 1971).

Kondusif Abdurrahman ialah intelektual organik kalangan muslim radikal yang pernah menjadi mahasiswa atau santri di Pondok Darussalam LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, yang merupakan cabang Universitas Muhammmad Ibnu Su’ud di Riyadh, Arab Saudi selama 7 tahun. Organisasi organik tak terpisahkan dari intelektual organik dan ideologi organik yang belum bisa diakomodasikan dalam UU antiteror revisi ini.

Saya yakin pemerintah pasti akan beralasan untuk merevisi lagi UU ini karena tidak optimalnya sistem pembuatan daftar organisasi teroris yang harusnya dibuat oleh Mahkamah Akbar atau Kejaksaan Akbar, bukan oleh lembaga eksekutif.

Program deradikalisasi

Baru kali ini ada UU yang memasukkan program yang sudah berkali-kali gagal mengatasi persoalan (terorisme) dalam legislasi nasional. Pasal 43D dalam UU ini mamasukkan program deradikalisasi. Program deradikalisasi sudah terbukti gagal total karena disusun tidak menurut asas-asas pembentukan teori yang benar.

Program ini ialah bukti oversimplifikasi yang telah menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dan anggaran yang sia-sia. Sebagai ganti program deradikalisasi, perlu dilakukan program kontra wacana. Program kontra wacana (counter-discourse) merupakan program yang berusaha menciptakan a way of thinking that opposes an institutionalized discourse. Selama ini wacana kaum fundamentalis, kaum radikal, hingga kelompok-kelompok teroris sudah terlembaga sedemikian rupa di Indonesia melalui proses yang panjang dalam sejarah sosial politik negeri ini.

Seseorang yang kembali melakukan aksi terorisme setelah ia keluar dari penjara dinilai sebagai kegagalan program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Program deradikalisasi yang hingga sekarang ini masih dijalankan tidak memiliki konsep yang jelas. Ketika ini Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Religi, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelijen Negara (BIN) masih menggunakan konsep deradikalisasi sebagai program rehabilitasi nonklinis bagi pelaku-pelaku terorisme di Indonesia. Tetapi, program itu tidak terpadu satu sama lain dan tidak berasal dari theory making process yang akademik sehingga gagal diterapkan di lapangan.

Dalam Pasal 43C, UU ini memuat Program Kontra Radikalisasi yang terdiri atas pertama kontra narasi, kedua kontra propaganda, dan ketiga kontra ideologi. Program Kontra Narasi adalah program yang tidak perlu karena tidak cocok dengan kelompok sasaran dari program ini. Kaum teroris, yang tidak hanya sekadar radikal, sangat anti dengan narasi Pancasila, nasionalisme, dan terlalu memaksakan narasi ini untuk diterima oleh para napi terorisme.

Cek Artikel:  Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur dan Praktik Korupsi

Narasi kaum teroris tentang daulah Islam, khilafah Islam, syariat Islam, imam mahdi, baiat, mubahalah dll tidak kompatibel bila disandingkan dengan narasi tentang cinta platonik nasionalisme. UU ini seharusnya mencantumkan program kontra wacana (counter discourse program) dan program humanisasi untuk menggantikan program deradikalisasi, kontra narasi, kontra ideologi, dan kontra propaganda.

Peran TNI

Pasal 43i dalam UU ini belum cukup akomodatif terhadap perkembangan teori tentang terorisme. Eksis dua jenis terorisme dilihat matra atau dimensi pergerakannya. Pertama, teroris Tanzim, merupakan teroris dinamik, tanpa basis wilayah dan tidak mengklaim suatu teritorial tertentu sebagai qoidah aminah-nya.

Kedua, teroris Tamkin, merupakan teroris berbasis teritorial dan tidak akan berpindah ke lain lokasi ketika mereka sudah bersumpah untuk berjuang membebaskan suatu wilayah awal yang sudah dijanjikan untuk dibebaskan. Teroris Tamkin ini memiliki kemampuan tempur yang lumayan, melebihi kemampuan polisi.

Teroris Tamkin hanya bisa dihadapi oleh militer. Peran militer yang sebelumnya ‘hanya sebagai tugas perbantuan’ kini menjadi lebih independen. Kemampuan TNI dalam mengatasi teroris MIT membuktikan kebenaran teori ini. Penggunaan istilah ‘operasi militer selain perang’harus diubah menjadi operasi militer perang (war on terrorism).

Eksis implikasi yuridis yang luput dilihat oleh para ahli hukum sekalipun dalam UU Antiteror yang baru ini. Setelah TNI berhasil mengatasi terorisme teritorial (Tamkin) dan menangkap beberapa pelakunya, tidak mungkin pelakunya diadili di pengadilan sipil. Aparat militer juga tidak bisa hadir di pengadilan sipil meskipun sebagai saksi.

Implikasi yuridis yang serius ialah dibutuhkan pengadilan humaniter atau pengadilan militer untuk mengadili para pelaku teroris tamkin (teritorial) ini. SM Kartosoewirjo dulu divonis hukuman mati atas pemberontakan Darul Islam tahun 1962 oleh Mahadper (Mahkamah Bilangantan Darat Pertama) yang merupakan mahkamah militer yang tidak lagi dikembangkan oleh kajian ilmu hukum mana pun di dunia ini. Pengadilan militer adalah pengadilan yang ditakuti oleh para aktivis HAM yang kontradiktif dengan spirit negara hukum yang diakui setiap orang.

Tim pengawas

Eksis secercah harapan di UU Antiteror revisi ini: adanya tim pengawas yang dibentuk oleh DPR. Seperti yang tertuang dalam Pasal 43J, yang berbunyi: pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme. Kedua, Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal ini sedikit memberi kelegaan bagi para aktivis untuk berperan aktif memantau pelaksanaan program pemberantasan terorisme secara tegas, manusiawi dan akomodatif.

Dengan adanya pengawas ataupun komisi independen misalnya, mereka akan berperan melakukan kontrol dan monitoring agar semua kegiatan dan program antiteror berjalan on the right track. Bukan on the left tract yang disalahgunakan untuk menghantam kelompok-kelompok kanan lainnya yang menjadi oposisi pemerintah.

Pasal 43J ini memberi peluang bagi munculnya kekuatan monitoring dan evaluasi program BNPT, BIN, Kepolisian RI, LPSK dan lembaga lainnya yang profesional, terukur, transparan, proporsional, sesuai kaidah hukum dan objektif serta akuntabel.

Semoga Tim Pengawas ini diisi oleh orang-orang yang berkompeten, kredibel, amanah dan melalui uji fit and proper test dalam sistem meritokrasi yang semakin cerdas dan akuntabel.

Mungkin Anda Menyukai