Terdapat postulat yang diyakini hingga kini bahwa hakim ialah wakil Tuhan di muka bumi. Sebagai wakil Tuhan, hakim menjadi kaki tangan Tuhan dalam mengadili, memutuskan, dan menentukan Betul atau salah perbuatan Orang.
Dalam tatanan bernegara, kekuasaan hakim Kepada mengadili dan memutuskan suatu perkara dijamin melalui undang-undang. Di negeri ini, kekuasaan hakim tersebut dijamin dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut UU tersebut, hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang Kepada mengadili dan memutus perkara.
Hakim juga merupakan profesi yang mulia (officum nobile). Itu disebabkan Kepada menjadi hakim, dibutuhkan persyaratan yang ketat dari sisi intelektualitas dan pendidikan. Dengan persyaratan ketat tersebut, diharapkan hakim dapat menjalankan tugas mereka Kepada menelaah suatu perkara dan selanjutnya memberikan putusan yang adil Asal Mula putusan yang dijatuhkan hakim Dapat berdampak sepanjang hayat.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Karena kedudukannya sebagai wakil Tuhan dan tugasnya yang terhormat itulah, di banyak negara hakim Mempunyai Predikat yang mulia. Keputusan yang dibuat oleh hakim akan menentukan muruah atau wibawa suatu peradilan.
Dengan sederet Predikat harum yang disandang tersebut, hakim juga Mempunyai kewajiban Kepada menjaga gelar, muruah, dan wibawa yang dimiliki. Itu Krusial Kepada menjaga wibawa keputusan yang dibuat.
Selain keputusan, upaya menjaga gelar, muruah, dan wibawa hakim ditentukan oleh perilaku, tindak tanduk, dan akhlak seorang hakim. Bukan sebaliknya, berperilaku merendahkan muruah yang mereka Pakaian.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Salah satu perilaku hakim yang dinilai merusak dan merendahkan muruah kedudukan hakim ialah aksi mogok yang dilakukan hakim Pengadilan Negeri Makassar. Mereka mogok kerja atau cuti massal menuntut ketidakadilan dan kesejahteraan terhadap hakim. Mogok massal itu dilakukan dengan tujuan menekan pemerintah agar memperhatikan kesejahteraan hakim yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012.
Aksi mogok massal hakim PN Makassar juga didukung oleh Pengadilan Negeri (PN) Bener Meriah, Aceh, yang menunda seluruh sidang yang sedang berlangsung hingga 11 Oktober mendatang. Langkah serupa juga dilakukan hakim-hakim di PN Makassar.
Harus kita akui, kesejahteraan hakim di Republik ini Tetap rendah. Pemerintah sebenarnya telah mengatur masalah keuangan dan tunjangan hakim melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Dasar Mahkamah Mulia. Dalam aturan tersebut, ditegaskan bahwa hakim Mempunyai hak keuangan dan fasilitas. Tetapi, nominal yang diatur dalam PP itu dinilai belum ideal dan sebanding ketimbang beratnya tugas seorang hakim.
Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik
Kendati demikian, aksi mogok massal para hakim itu Terang bukan langkah Betul mendapatkan solusi. Langkah mogok para hakim dengan dibalut istilah cuti itu amat benderang berimplikasi pada masyarakat yang sedang beperkara. Meski aksi mogok Sekadar lima hari, nyatanya berimplikasi pada 100 perkara yang harus ditunda prosesnya. Prinsip bahwa rakyat mesti memperoleh keadilan secara murah dan Segera pun dikorbankan demi mengejar tambahan pendapatan.
Sebagai sosok yang mulia, para hakim mestinya Mempunyai Metode yang lebih elok Kepada menyuarakan peningkatan kesejahteraan bagi mereka. Mereka Dapat membahasnya secara internal. Jangan Tiba aksi mogok menuntut kesejahteraan malah merugikan masyarakat yang membutuhkan kejelasan keadilan yang Segera.
Bukankah para hakim itu Dapat merundingkan masalah itu dengan Mahkamah Mulia atau lembaga yang menaungi mereka? Bukankah prinsip bermusyawarah bagi para hakim akan lebih elegan ketimbang mogok layaknya pekerja?
Sebagai wakil Tuhan dengan panggilan ‘yang mulia’, tak elok rasanya para hakim mogok menjalankan tugas. Apabila diteruskan, langkah seperti itu sama saja meniti jalan merendahkan dan merobohkan muruah para hakim yang mulia.