Kampus Pilu

SUASANA duka menyelimuti sebuah kampus ternama di kawasan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Sabtu (5/10). Seorang mahasiswi ditemukan tewas di pelataran Gedung M Kampus 1. Korban berinisial E, 18, itu diduga tewas setelah melompat dari Dasar 6 gedung kampus tersebut.

Tak hanya sivitas akademika kampus itu yang berduka. Kita pun berduka sekaligus miris dan bertanya-tanya, kenapa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa terjadi bertubi-tubi dalam tiga tahun terakhir.

Kiranya patut kita merenung, apa yang terjadi pada mahasiswa kita, generasi yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Benarkah mereka yang merupakan bagian dari Zoomers (8-23), generasi yang lahir di era internet yang pesat, disebut pula strawberry generation, dilanda kesehatan mental yang Kagak baik?

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Lezat?

Secara Lumrah tingkat bunuh diri di Tanah Air sangat mencemaskan.

Sejak Januari hingga 19 Agustus 2024, berdasarkan data Polri, kasus bunuh diri terbanyak keempat, yakni mencapai 849 kejadian.

Kasus gangguan ketertiban dalam masyarakat terbanyak ialah penemuan mayat dengan 3.184 kasus. Selanjutnya kebakaran, yakni 1.781 kasus, orang hilang dengan 1.019 kasus, dan kasus bunuh diri.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Setahun sebelumnya data Polri terkait dengan bunuh diri Membikin kita tertegun. Pada periode 1 Januari-15 Desember 2023, Bilangan bunuh diri di Indonesia mencapai 1.226 jiwa. Data tersebut melampaui kasus bunuh diri yang tercatat selama 2022, yakni 826 kasus.

Cek Artikel:  Cermin Retak Guru Besar

Sejauh ini belum diketahui Niscaya penyebab sejumlah mahasiswa mengakhiri nyawa mereka dengan sia-sia. Tetapi, apa pun penyebabnya, Bisa ekonomi, sosial, perundungan, asmara, atau stres karena banyak tugas kuliah, mahasiswa membutuhkan penguatan mental.

Walakin, soal itu Kagak Bisa ujug-ujug. Proses itu harus dilakukan sejak Awal dalam keluarga dan sekolah. Mental anak harus dididik kuat, Kagak cengeng, tahan banting, alias Kagak manja.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Mereka harus menghargai proses, Kagak memburu hal-hal yang bersifat hasil (result oriented) sehingga mengambil jurus instan.

Nasi belum menjadi bubur. Semasa mahasiswa, pihak kampus Tetap Mempunyai waktu Kepada menempa mental dan mengubah Metode berpikir (mindset) mahasiswa. Mereka bukan Kembali remaja yang Tetap perlu pengawasan dan bimbingan, melainkan individu yang perlu didorong agar Berdikari Kepada berpikir kritis, bersikap dewasa, dan bertindak secara bijak.

Penguatan mental dan mindset Bisa dimulai sejak orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) tingkat kampus, fakultas, hingga jurusan. Hal itu Bisa dilakukan dengan pola ceramah, Obrolan, permainan, team work, dan olah kreativitas lainnya. Ospek ialah ajang kegiatan yang menggembirakan, bukan atraksi para senior tanpa isi yang memuakkan, menjengkelkan, dan menakutkan.

Cek Artikel:  Senyum Tom Lembong

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Menurut Pasal 5 ayat (a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi bertujuan berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi Insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, Berdikari, terampil, kompeten, dan berbudaya Kepada kepentingan bangsa.

Pendidikan di bangku kuliah harus menghargai proses, penalaran, komunikasi, problem solving, dan penguatan kerja sama tim. Meskipun mahasiswa emoh menjadi aktivis kampus, hal itu tak lantas Membikin mereka menjadi ‘kupu-kupu’ alias ‘ kuliah pulang, kuliah pulang’.

Proses belajar-mengajar di ruang kelas yang mengacu kepada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, Bisa membangkitkan kecerdasan emosi, sosial, dan intelektualitas mereka.

Tetapi, semuanya bermuara pada kemampuan dosen dalam mengorkestrasi pembelajaran yang menyenangkan. Dosen Kagak boleh Kembali mengajar asal-asalan, asal menggugurkan kewajiban, tanpa Bisa mengelaborasi materi yang disampaikannya.

Dosen ala kadarnya, ala kadar secara keilmuan dan tanggung jawab, sering kali Membikin mahasiswa menjadi korban. Mahasiswa Kagak Paham Arti sesungguhnya dari tugas yang diberikan dosen. Akhirnya, mahasiswa mengambil jurus instan dengan meminta Sokongan kecerdasan buatan (Chat-GPT).

Cek Artikel:  Minum Air Seni dan Telanjang

Kehangatan di ruang kelas yang dibangun dosen berangkat dari komunikasi yang efektif dan menyenangkan. Bila setiap dosen Bisa menghangatkan suasana dalam kelas yang menyenangkan dan mencerahkan, itu akan memengaruhi atmosfer kampus setempat, bahkan Kekuatan positifnya Bisa terbawa ke rumah dan lingkungan pergaulan.

Alhasil, mahasiswa akan merasa nyaman belajar dan bersosialisasi di kampus tersebut. Ia bukan mahluk asing atau merasa sendirian, kesepian, di tengah hiruk pikuk canda tawa rekan-rekan mereka di kampus. Mereka Kagak melulu bergumul dengan gawai Kepada menepis FOMO alias fear of missing out.

Dengan komunikasi yang Berkualitas, dosen akan Bisa mendeteksi secara Awal permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Caranya, dosen mengatasi hambatan komunikasi interpersonal. Eksis empat hambatan komunikasi menurut De Vito (2009), yakni hambatan fisik, fisiologis, psikologis, dan semantik.

Membangun kampus biru, penuh Asmara, ilmu, dan daya kritis jauh berfaedah ketimbang kampus pilu yang menjual kemewahan, tetapi menepikan tridaya, yakni daya cipta, rasa, dan karsa. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai