PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak 2018 di 171 daerah akan berlangsung pada 27 Juni mendatang. Hasil survei dan beragam analisis telah cukup banyak diberikan. Percakapan umumnya berpusat pada perhatian jangka pendek tentang siapa yang memenangi pertarungan politik melalui kampanye melelahkan selama beberapa bulan terakhir di daerah-daerah tersebut.
Konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 turut memanaskan situasi politik, terutama di level akar rumput; ditambah pengalaman Pemilihan Gubernur Jakarta 2017 yang menajamkan politik identitas, mungkin yang terburuk setelah pengalaman konflik politik berbasis ideologi yang tajam sebelum dan sesudah Pemilu 1955.
Selain konteks kontestasi Pemilihan Presiden 2019 yang akan datang, pilkada serentak 2018 ini juga bertepatan dengan masa 20 tahun berlangsungnya demokratisasi kita yang dimulai sejak 1998. Dengan demikian, di dalamnya ada konteks prospektif, yaitu pilpres yang akan datang dan juga ada konteks retrospektif, yaitu 20 tahun berjalannya reformasi kita, yang berjalan agak lamban penuh tantangan sekaligus di sisi lain juga banyak pencapaian.
Di antara banyak pencapaian itu ada berjalannya program desentralisasi/otonomi daerah, berlakunya sistem multipartai, dan pilkada dan pilpres langsung yang merupakan antitesis dari sistem otoritarian yang berlangsung sebelum 1998. Tulisan ini bermaksud mendiskusikan Pilkada 2018 yang akan segera berlangsung dalam dua konteks prospektif dan retrospektif itu, melalui penggambaran helicopter view dengan menggambarkan dua tesis besar mengenai hubungan antara politik nasional dan pemilu di tingkat lokal.
Tesis dan survei
Beberapa tesis tentang pemilihan nasional dan subnasional (pilkada), yaitu tesis pertama ialah mengenai economic voting. Pengalaman di negara-negara demokrasi yang mapan demokrasi dan ekonominya memperlihatkan bahwa pemilih sedikit banyak mempertimbangkan kinerja ekonomi kandidat dan juga petahana. Bila situasi ekonomi dinilai baik, petahana lebih banyak dipilih kembali. Sebaliknya bila ekonomi dinilai buruk, kandidat penantang lebih banyak dipilih untuk menggantikan petahana. Dalam konteks negara berkembang dan negara berkembang yang sedang menjalani demokrasi/demokrasi baru, situasi itu tidaklah seterang benderang seperti pengalaman negara maju yang demokratis.
Variasi hasil survei di Indonesia setahun belakangan memperlihatkan, termasuk survei nasional yang dilakukan CSIS, bahwa apabila persentase masyarakat yang menyatakan ekonomi Indonesia tiga tahun terakhir di masa pemerintahan Jokowi/JK biasa-biasa saja perkembangannya dijumlahkan dengan persentase yang menyatakan bahwa ekonomi Indonesia memburuk, jumlahnya melebihi persentase mereka yang menyatakan ekonomi Indonesia berkembang sangat baik dalam tiga tahun terakhir. Pada saat yang sama, survei-survei itu menunjukkan elektabilitas Jokowi dan tingkat kepercayaan masyarakat tetap yang paling tinggi.
Terdapat berbagai kemungkinan jawaban mengenai situasi anomali di atas. Satu di antaranya, paling tidak seperti temuan survei nasional CSIS tersebut, masyarakat menilai sangat positif pembangunan yang sedang dijalankan, terutama infrastruktur, yang sebetulnya hasilnya baru akan dirasakan bertahun-tahun kemudian dan mungkin tidak akan langsung mereka rasakan.
Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, paling tidak ketika survei-survei ini dilakukan, ada kecenderungan bahwa economic voting tidak terjadi dalam konteks retrospective voting ketika pemilih menilai incumbent berdasarkan situasi ekonomi hari ini, tetapi melihat kemungkinan capaian ekonomi yang akan datang (prospective voting).
Tesis kedua ialah keterkaitan antara politik nasional dan politik lokal. Di negara-maju yang ekonominya mapan dan demokrasi telah matang, orientasi pemilih lebih bisa diprediksi. Misal di Amerika Perkumpulan, ekonomi yang baik di sebuah negara bagian lebih bisa dijadikan prediktor dari kemungkinan terpilihnya seorang calon presiden dalam sebuah pemilihan presiden. Sebaliknya, di negara berkembang dan demokrasi baru, situasi menjadi lebih rumit.
Penilaian prospektif
Di Indonesia, bagaimana pemilih mengaitkan situasi politik nasional dengan politik di daerahnya? Dalam konteks Pilkada 2018 dan program otonomi daerah, bagaimana situasinya? Dalam hal pembangunan nasional yang tentunya berlangsung di daerah-daerah ini, bagaimana kepala daerah memanfaatkan penilaian positif terhadap penilaian prospektif ini? Apakah mungkin petahana di daerah yang bersangkutan ikut ‘mengklaim’ kontribusinya dalam proses pembangunan di daerahnya itu?
Pertanyaannya menjadi lebih rumit ketika petahana, misalnya, berasal dari partai yang bukan bagian dari koalisi partai yang mendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Di banyak daerah yang akan menyelenggarakan pilkada pada 27 Juni nanti, banyak pasangan calon penantang justru berasal dari PDIP atau partai lain pendukung pemerintahan Jokowi hari ini dan sebaliknya petahana berasal dari partai/koalisi partai yang berada di pihak oposisi.
Situasi menjadi jauh lebih rumit karena pola koalisi pencalonan di daerah-daerah dalam Pilkada 2018 ini, dan juga dalam pilkada-pilkada sebelumnya, tidak vertikal mengikuti pola koalisi partai di tingkat nasional. Pengaruh terbesar dari situasi itu akan dirasakan pemilih yang kemudian kesulitan untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab (assignment of responsibility), misalnya, atas situasi ekonomi yang dirasakan dirinya dan atau keluarganya.
Bila seorang pemilih merasakan situasi ekonomi di daerahnya semakin memberatkan, misalnya pada satu ketika harga bahan pokok tinggi, biaya transportasi umum naik, siapa yang akan ia tunjuk sebagai orang yang paling bertanggung jawab dan kemudian menjadi alasannya untuk menentukan pilihan? Apakah petahana gubernur/wali kota/bupati yang boleh jadi berasal dari partai oposisi, tetapi pada saat yang sama juga didukung beberapa partai pendukung Jokowi yang dipilihnya dalam Pemilu 2014 yang lalu? Atau penantang yang boleh ia dukung, tetapi juga didukung partai oposisi yang kebetulan tidak disukainya?
Sebagai akibatnya, sistem berpartai terlalu banyak, sistem pemilihan umum yang masih rumit yang kita adopsi hari ini dan diimbuhi otonomi daerah yang telah berjalan, agak sulit mengharapkan pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang umum terlihat di negara-negara demokrasi maju yang ekonominya mapan dengan sistem pemilihan yang simpel, yaitu berdasarkan pertimbangan ‘rasional’, yaitu punishment dan reward terhadap kinerja ekonomi dan pelayanan publik.
Bila kinerja dan pelayanan publik petahana dinilai baik, pemilih memberi reward dengan memilihnya kembali. Bila kinerja ekonomi dan pelayanan publik buruk, pemilih memberi punishment dengan tidak memilih kembali seorang petahana dan memilih penantangnya untuk menjadi pemimpin yang baru.
Unsur lain
Karena kerumitan sistem yang menyulitkan pemilih untuk memberi penilaian ini, tidak mengherankan dan tidak mengejutkan apabila pemilih-pemilih di Indonesia dalam nyaris setiap pemilihan lebih banyak dipengaruhi faktor lain, di antaranya faktor agama dan etnik.
Biarpun secara politik dua faktor itu ialah faktor inheren dalam politik, mobilisasi elektoral berbasis keduanya di tengah masyarakat yang majemuk seperti Jakarta, dan juga Indonesia secara keseluruhan, ia menajamkan friksi masyarakat dan membuka peluang konflik berkepanjangan.
Pilkada Jakarta 2017 menyediakan pelajaran penting. Telaah pendapat yang dilakukan menjelang pilkada itu berlangsung memperlihatkan tingkat kepuasan pemilih Jakarta yang relatif tinggi untuk kinerja Ahok sebagai petahana. Tetapi, pemilih menyatakan ‘no, thanks’ untuk memilihnya kembali setelah proses pilkada yang menajamkan identitas agama dan etnik.
Tulisan ini toh tidak bermaksud menyatakan pemilih harus ‘rasional’ dalam arti memaksimalkan keuntungan ekonomi dirinya saat menentukan pilihan (rational, utility-maximizing voters). Studi yang dilakukan Riker (1995) dan juga Riker bersama Ordershook (1968) menemukan bahwa pemilih, bahkan di negara maju, tidak selalu mengharapkan keuntungan baik dalam konteks ekonomi atau politik. Pemilih juga mungkin sekali mencari keuntungan psikologis (psychological benefit). Di antaranya bahwa mereka akan merasa dirinya ialah warga negara yang baik atau juga dari rasa puas telah menujukan pemihakan.
Momen reformasi
Yang hendak dikatakan ialah dalam konteks sebagai negara berkembang dan demokrasi baru, mendorong terbentuknya masyarakat pemilih yang mengedepankan kinerja ekonomi dan public service delivery, baik dalam pilkada dan pemilu nasional, sebaiknya menjadi orientasi utama dalam desain sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu kita. Oleh karena itu, reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu harus terus dipikirkan dan dilakukan.
Akan tetapi, reformasi itu harus dilandaskan pada keperluan untuk melakukan rekayasa elektoral (electoral engineering) demi menghasilkan masyarakat pemilih yang memusatkan perhatiannya pada kinerja para politisi pemegang jabatan publik. Bukan pada agamanya, bukan pada etniknya. Karena konstitusi kita menjamin bahwa semua warga negara berhak memilih dan dipilih.
Oleh karena itu, momen 20 tahun reformasi ialah waktu yang tepat untuk menarik pelajaran mendalam dari serangkaian pemilihan legislatif sejak 1999, pemilihan presiden langsung sejak 2004, dan juga ratusan pilkada langsung yang telah kita lakukan sejak 2005.