HARGA beras yang kian mencekik leher membuat orang kian kelimpungan. Apa yang dilakukan sejumlah warga Kota Depok, Jawa Barat, yang terpaksa mengubah pola dan kualitas hidup mereka, ialah bukti bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok itu sudah di luar nalar.
Mereka beralih dari mengonsumsi nasi ke singkong dan ubi rebus. Itu pun mereka makan tanpa kehadiran lauk-pauk karena harga bahan pangan lain kini juga turut mahal. Mereka terpaksa menyingkirkan angan-angan kenikmatan dari memakan nasi. Yang penting perut mereka terisi.
Sungguh ironis, apalagi mengingat mereka adalah warga negara yang hidup di kota yang berjarak hanya sekitar 30 kilometer dari Pasar Induk Cipinang di Jakarta. Mereka menjadi korban dari harga pangan pada umumnya, dan terkhusus beras, yang tinggi. Bahkan, bila mengacu pada data Badan Pusat Stagnantik (BPS), kenaikan harga beras pada Februari mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah Republik ini.
Tetapi, saat para pewarta menanyakan bagaimana menurunkan harga beras yang masih tinggi, Presiden Joko Widodo, pada Rabu (28/2), justru meminta mereka untuk tidak menginformasikan kenaikan harga beras. Jokowi meminta wartawan mengecek harga beras di Pasar Induk Cipinang dan Pasar Johar yang katanya sudah turun. Alasan, Kepala Negara mengeklaim setiap hari selalu mengecek kondisi harga beras.
Di hari itu, harga beras di Pasar Induk Cipinang memang menurun sekitar Rp1.000 per kilogram. Berkualitas untuk jenis beras premium maupun medium, harga sudah mulai turun. Selain itu, pedagang memastikan stok masih aman. Akan tetapi, Indonesia tidak sebatas Pasar Induk Cipinang dan Pasar Johar.
Bagi masyarakat yang hidup di daerah seperti Gresik, Jawa Timur, Klaten, Jawa Tengah, di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat, dan Batam, ternyata harga beras medium dan premium masih tidak semurah yang Presiden Jokowi kira. Penduduk di Kota Palu, Sulawesi Tengah, juga masih harus mengurangi porsi makan harian mereka karena harga beras semakin mahal di pasaran.
Penggelontoran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ternyata belum mampu menurunkan harga beras di tingkat konsumen.
Celakanya lagi, ketika masyarakat hendak mengecek harga beras secara daring, laman infopangan.jakarta.go.id sedang perawatan server, alias masyarakat tidak bisa mengeceknya lagi.
Publik tentu berharap pernyataan Presiden sebagai sebuah fakta, bukan ilusi. Apalagi, Jokowi dulunya dikenal sebagai pemimpin yang kerap blusukan untuk menengok kinerja anak buah maupun berkomunikasi langsung dengan rakyat. Dengan blusukan, ia tentu mempunyai informasi lapangan secara riil. Bukan sekadar mengandalkan informasi dari bawahan yang menganut prinsip asal bapak senang alias ABS.
Faktanya, apa yang disampaikan Presiden berbeda dengan data BPS yang justru mencatat harga beras pada Februari merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Sama seperti Presiden, BPS juga mempunyai catatan. Bedanya, catatan BPS adalah hasil survei yang mengacu pada harga produsen beras dari 932 perusahaan penggilingan di 33 provinsi. Bukan hanya dari dua pasar di Jakarta yang disebut Jokowi.
Enggak mungkin memaksa warga negara Indonesia yang tersebar di 38 provinsi untuk berbelanja beras di dua pasar itu. Masyarakat membutuhkan beras dengan harga terjangkau dan masuk akal serta dapat diakses secara langsung di daerah masing-masing.
Kini, masyarakat pun berharap pada kerja wakil rakyat di DPR untuk mengatasi persoalan makanan pokok ini, setidaknya menyuarakan jeritan warga. Apalagi, pemerintah sudah jorjoran mengimpor beras. Kepada 2023, pemerintahan Jokowi telah memecahkan rekor impor beras dalam lima tahun terakhir, yang mencapai 3,06 juta ton. Bilangan itu meningkat 613,61% jika dibandingkan dengan impor pada 2022.
Pada tahun ini, Indonesia akan kemasukan beras dari negeri asing sebanyak 4,1 juta ton. Bilangan itu terdiri atas penugasan sebelumnya ke Perum Bulog sebesar 2 juta ton yang ditambah 1,6 juta ton, serta realisasi 500 ribu ton yang merupakan bagian penugasan 2023.
Bagaimana menyambung nalar dan logika kesulitan memperoleh beras di kala pemerintah gila-gilaan mengimpor? Karena itu, sekali lagi, publik berharap DPR selaku wakil rakyat yang terhormat untuk tidak tinggal diam. Gunakanlah fungsi pengawasan dewan. Tunjukkanlah keberpihakan kepada rakyat. Apalagi, masa jabatan masih menghitung bulan, sedangkan perut rakyat mesti diisi setiap hari.