Kondisi bumi yang memanas dan upaya serius semua negara dalam menekan kenaikan suhu bumi agar tidak melonjak sampai 2 derajat ternyata tidak mendapatkan sorotan media yang memadai. Bahkan, agresifnya forum antarnegara menggerakkan kolaborasi global dalam payung Paris Agreement, ditambah komitmen dan keseriusan setiap negara dalam mengeksekusi Nationally Determined Contribution (NDC) tidak cukup menjadi magnet bagi media global untuk memberitakannya.
Bukan sampai 1% berita tentang perubahan iklim dimuat di media global, demikian disampaikan CEO & President of the Pulitzer Center on Crisis Reporting Jon Sawyer dalam keynote speech di forum “Climate and Labor Dialogue: Bridging Ideas, Crafting Collaborations” yang diselenggarakan Pulitzer Center di Bangkok, 22-23 Februari 2024.
Memperbincangkan masalah global sekrusial climate change dengan eksposur media yang sangat minim merupakan tantangan besar. Eksistensi Pulitzer Center menjadi strategis dan esensial sebagai non-profit NGO berkelas dunia yang secara konsisten mengusung misi memperjuangkan kekuatan reportase jurnalisme agar isu-isu kompleks berskala global menjadi relevan dan menginspirasi hingga mampu menggerakkan sampai ke wujud tindakan nyata.
Baca juga : Pandemi, Sains, dan KTT Iklim
Kepada mengimplementasikan misinya, Pulitzer Center menyelenggarakan beberapa skema program, di antaranya Impact Seed Funding (ISF). ISF merupakan program hibah skala mikro yang diperuntukkan bagi para peneliti dan akademisi di perguruan tinggi. Program ini dirancang guna memperkaya perspektif para civitas academica atas isu-isu global penting terkait hutan hujan, perubahan iklim, dan hak-hak buruh.
Dalam pengerjaan proyek ISF, penerima hibah (grantee) harus memanfaatkan karya-karya jurnalisme inspiratif yang dihasilkan dengan dukungan Pulitzer Center. Pada 2023, proposal saya bertajuk “Increasing Awareness of the Impact of climate change on Workers’ Health Through Problem-Based Learning (PBL) Teaching Methods” terpilih didanai oleh Pulitzer Center untuk lingkup kawasan Asia Tenggara.
Literasi Rendah
Meski berada dalam jajaran 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, namun pemahaman orang Indonesia tentang climate change sangat rendah. Tercatat 76% masyarakat Indonesia yang disurvei oleh Yale Program on Climate Change Communication (YPCCC) pada tahun 2022 mengatakan mereka mengetahui ‘sedikit’ tentang pemanasan global (55%) sementara 20% mengaku ‘belum pernah mendengarnya’.
Baca juga : Dunia yang tidak Berkualitas-Berkualitas Saja
Banyak orang memahami climate change sekadar sebagai suhu bumi yang menghangat, sebuah fenomena yang sering disebut global warming. Tetapi kenaikan temperatur ini baru awal dari sebuah cerita panjang yang pelik. Bumi bekerja sebagai sebuah sistem, di mana segala sesuatunya terhubung, perubahan di satu area dapat mempengaruhi perubahan di area lainnya.
Masyarakat bersinggungan dan merasakan climate change dalam beragam bentuk. Masyarakat pedesaan dan kaum urban, mereka yang tinggal di daerah pegunungan dan pesisir, tentu menanggung beban dampak climate change yang tidak sama. Nyaris dipastikan, climate change berpengaruh pada semua lini kehidupan manusia, dalam skala dan bentuk yang heterogen.
Satu hal yang mungkin sama adalah jika pengetahuan dan pemahaman tentang climate change masih demikian terbatas, maka masyarakat awam akan salah dalam memahami fenomena, keliru memberikan tanggapan dan penyikapan, pun potensial gagal melakukan upaya preventif, apalagi kuratif dan korektif.
Baca juga : Raheem Sterling, Chelsea, dan Piala Metodebao
Akibat Multidimensi
Demi ini, dampak climate change mencakup kelangkaan air bahkan kekeringan, kebakaran hebat, naiknya permukaan air laut, banjir, mencairnya es di kutub, bencana badai, dan menurunnya keanekaragaman hayati. Bukan hanya itu, climate change dapat memengaruhi kesehatan manusia. Hawa panas menyebabkan dehidrasi, heat stroke, ISPA, gagal ginjal, kerusakan hati, hingga terganggunya kesehatan mental.
Climate change juga berdampak pada sektor ekonomi. Dengan terjadinya kelangkaan air, bahkan kekeringan, ini jelas menjadi ancaman berat bagi sektor pertanian dan perkebunan yang pada gilirannya berpengaruh pada aspek kecukupan ketersediaan bahan makan dan potensial memicu munculnya isu ketahanan pangan. Di daerah perkotaan, di area kantong-kantong industri, pekerja di sektor formal, baik yang harus bekerja di ruang terbuka atau tertutup, menghadapi risiko kesehatan yang sama. Belum lagi jika berbicara tentang nasib para pekerja sektor informal, bisa dipastikan posisi mereka semakin lemah dan rentan jika dihadapkan dengan isu climate change.
Kaum nelayan juga menghadapi situasi berat karena climate change mengubah suhu laut, mengubah distribusi dan migrasi ikan. Ini jelas berdampak pada pola penangkapan ikan dan memaksa nelayan mengejar ikan sampai jauh ke tengah laut. Bukan hanya itu, climate change juga memaksa nelayan menyesuaikan waktu dan musim dalam menangkap ikan. Belum lagi peningkatan suhu laut dapat menurunkan stok ikan, sehingga semakin mempersulit nelayan mendapatkan tangkapan ikan yang memadai. Ini jelas berdampak pada keberlanjutan sumber daya laut.
Baca juga : Mengenalkan Kebudayaan Islam dari Nusantara ke Publik Eropa
Aspek pemukiman juga rawan terdampak climate change. Masyarakat yang tinggal di pulau kecil atau daerah pesisir menghadapi risiko hilangnya tempat tinggal akibat naiknya permukaan laut yang menyebabkan sebagian daratan terendam air, bahkan tenggelam. Lihat apa yang terjadi di Maladewa, negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari atol rendah. Pada 2019, Kiribati dan Tuvalu telah kehilangan sebagian wilayah daratnya sebab elevasi tanah mereka rendah sehingga kenaikan permukaan laut dapat menyebabkan intrusi air laut ke sumber air tawar sehingga merusak ekosistem. Vanuatu, Fiji, dan Palau pun mengalami nasib serupa. Di masa depan, jumlah “pengungsi iklim” diperkirakan akan meningkat.
Edukasi Masyarakat
Mempertimbangkan kompleks dan masifnya dampak climate change, perlu dirancang secara terstruktur dan sistematis cara mendidik masyarakat agar tahu, paham, dan sadar bahwa saat ini mereka hidup di bumi yang sedang mengalami climate change dan global warming. Bukan bisa lagi masyarakat dibiarkan abai dan beranggapan bahwa isu ini tidak relevan, hanya karena mereka tidak tidak tahu dan tidak menyadarinya.
Demi masyarakat mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai climate change, mereka dengan sendirinya dan secara sadar melakukan perubahan cara hidup dan beradaptasi. Masyarakat dapat menjadi task-force utama dalam mencegah terjadinya perparahan kerusakan akibat dampak climate change. Masyarakat juga dapat mendorong dan menuntut para pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah yang lebih ambisius, tidak cukup sekadar menjalankan langkah-langkah business as usual guna mengatasi dampak climate change dan dapat meminta pertanggungjawaban jika gagal melakukan mitigasi.
Salah satu cara mengupayakan peningkatan pemahaman awam akan problem climate change yang terjadi secara universal ini adalah melalui corong pendidikan. Para dosen memiliki peluang untuk membuka diskursus dengan sesama kolega, terlebih dengan para mahasiswa di kelas-kelasnya. Pun, para dosen mempunyai peluang membahas isu ini dengan memberikan kerangka berpikir sesuai dengan bidang kepakarannya, sehingga nantinya diharapkan akan bermunculan berbagai perspektif pendekatan penyelesaian yang lintas ilmu, lintas sektoral, multi dimensi, dan komprehensif.