SAAT tidak memiliki jawaban, minimal pemimpin harus mau untuk mendengarkan. Karena, mendengarkan adalah bentuk terendah dari melayani. Maka, jika ia tidak mau lagi melayani, yang ada bukanlah pemimpin, melainkan sekadar penguasa.
Gelagat itulah yang justru semakin terlihat dari gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam persoalan melonjaknya harga bahan pokok. Dekat sebulan dikejar pertanyaan soal harga yang terus melambung, Jokowi kini bahkan sudah emoh menjawab.
Dua hari lalu di Halim Perdanakusuma, Jakarta, kepada para wartawan yang bertanya, Presiden menjawab untuk tidak lagi menanyakan soal harga pangan kepada dirinya. Ia menyuruh para awak media untuk mengecek ke pasar.
Presiden tentu bukan orang yang naif. Begitu pula kita sebagai rakyat. Pertanyaan soal harga pangan sejatinya bukan sekadar tentang angka rupiah, melainkan bentuk protes, mengapa negara seolah tak mampu berbuat apa-apa ketika rakyatnya dihantam sangat keras oleh naiknya harga pangan?
Tetapi, Presiden dengan sadar memilih mengerdilkan pertanyaan itu, dan secara tidak langsung mengerdilkan dirinya sendiri. Ia menempatkan diri seperti pedagang yang lingkup pengetahuannya hanya harga secara angka. Presiden tutup kuping akan pesan ‘protes rakyat’ yang dibawa para wartawan.
Ketidakcuhan Presiden sesungguhnya hanya membuat situasi kekacauan harga makin miris. Sikap Presiden itu sekaligus menyiratkan tidak ada solusi yang ia miliki. Ketiadaan solusi tersebut terpampang melalui berbagai fakta yang kerap dijabarkan para pengamat dan media, bahwa lonjakan harga ialah buah dari kegagalan mitigasi pangan.
Pada persoalan beras, misalnya, cadangan beras yang sudah minim sejak 5 Desember 2022 membuat pemerintah memutuskan melakukan impor. Akan tetapi, jorjoran impor yang dilakukan tahun lalu, total 2,53 juta ton sampai November, malah tidak dikelola dengan cermat. Malah ditengarai cadangan itu dipakai untuk keperluan bansos yang lebih berbau politis ketimbang sesuai kebutuhan.
Hasilnya kini, wajar jika kita limbung menghadapi El Nino yang berkepanjangan. Panen raya terus mundur hingga diperkirakan, paling cepat, akhir Maret. Realisasi sisa impor pun seret karena negara-negara lumbung beras juga memilih menutup keran demi mengamankan stok mereka masing-masing.
Dalam situasi itu, harga beras yang melambung menjadi keniscayaan. Kenaikan harga akan terus terjadi selama stok tidak benar-benar aman. Kalaupun seperti klaim pemerintah bahwa harga beras mulai turun dalam beberapa hari terakhir, itu hanya bisa terjadi situasional dan cuma di beberapa tempat tertentu, seperti pasar induk beras. Sementara itu, di rak-rak toko ritel atau di pedagang eceran beras, harga tetap awet tinggi.
Kini, semestinya pemerintah memfokuskan pada upaya diplomasi untuk pelonggaran atau penghapusan restriksi impor dari negara-negara sumber beras. Pemerintah harus menyadari, jika memasuki bulan Ramadan harga beras belum juga melandai, akan membawa dampak yang berat, baik pada efek domino harga pangan lainnya maupun efek psikologis masyarakat.
Permasalahan yang berlarut akan membuat masalah kian pelik jika dibiarkan hingga menjelang Idul Fitri. Secara tradisi, Ramadan dan Idul Fitri sudah membuat efek kenaikan harga pangan tersendiri. Lantas bagaimana kalau harga awal sebelum dua perayaan besar itu saja sudah tinggi?
Jawaban akan masalah-masalah itulah yang seharusnya dapat diberikan dan disampaikan Presiden Jokowi. Bukan malah ngeles dan cenderung berlindung di balik alasan kondisi alam yang buruk. Ketidakacuhan Presiden bukan saja meminggirkan nestapa rakyat, tapi juga menunjukkan kegamangannya dalam menghadapi petaka harga yang mengancam di pertengahan bulan depan.