Riset Perubahan Iklim Turunkan Pendapatan Keluarga

Riset: Perubahan Iklim Turunkan Pendapatan Keluarga
Aktivis lingkungan dari berbagai aliansi menggelar aksi saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (5/5/2024).(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

GRIFFITH University Australia dan Universitas Diponegoro (UNDIP) melakukan riset dengan topik forced labour (kerja paksa) pada perempuan dan anak-anak akibat dampak dari perubahan iklim.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan anak. Selain itu guna memberikan rekomendasi kebijakan terutama kepada wanita dan anak-anak yang terdampak perubahan iklim, seperti migrasi dan banjir rob di pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan Demak.

Berdasarkan riset itu, diketahui lebih dari 80% perempuan yang ikut serta dalam survei risetnya melaporkan bahwa pendapatan rumah tangga mereka telah terdampak oleh perubahan iklim. 

Baca juga : Perempuan dan Anak Awallai Paling Terdampak dari Perubahan Iklim

“75% rumah keluarga perempuan saat ini rusak akibat bencana, sehingga menimbulkan peningkatan biaya perbaikan. Pusingkatan biaya ini mendorong keluarga semakin terjerumus ke dalam kemiskinan,” kata Profesor dari UNDIP Wiwandari Handayani, Jumat (6/9).

Selain itu, sebanyak 88% anak-anak telah melihat banjir di rumah mereka dan sebanyak 11,8% menyatakan banjir terjadi setiap hari. Anak-anak melaporkan sekolah dan jalan ditutup karena banjir, sehingga mengganggu pendidikan mereka.

Cek Artikel:  Kebakaran di RS Pusat Pertamina Nihil Korban Jiwa

Sementara itu, Profesor dari Griffith University Australia yang juga pemimpin dari program, Amy Young membeberkan tantangan kebijakan yang ada saat ini. Ia menuturkan, Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24/2007 merupakan undang-undang penting untuk menanggulangi bencana di Indonesia. Tetapi UU ini tidak mengkategorikan kenaikan muka air laut dan penurunan tanah sebagai bencana. 

Baca juga : Perempuan dan Anak Paling Beresiko terhadap Perubahan Iklim

“Bencana yang terjadi secara perlahan seperti kenaikan muka air laut belum menjadi prioritas pemerintah daerah. Sebagian besar respons berfokus pada infrastruktur keras dengan sedikit perhatian pada isu keadilan sosial dan solusi lain seperti solusi berbasis alam,” jelasnya.  

Ia juga menuturkan, saat ini tidak ada kebijakan yang tersedia untuk menampung orang-orang yang terpaksa direlokasi karena kenaikan permukaan air laut.

Cek Artikel:  Kemendikbud-Ristek akan Terbitkan Permendikbud Perluasan Pencegahan Bullying di PPDS

“Bukan ada skala prioritas untuk menanggapi daerah yang paling rentan dan rusak akibat kenaikan muka air laut di daerah pesisir. Terdapat kesenjangan dalam kebijakan yang berkaitan dengan jaminan sosial adaptif untuk mengakomodasi dampak perubahan iklim,” imbuhnya.

Baca juga : Tingkatkan Akses Sanitasi dan Higiene Berkelanjutan kepada Golongan Marginal

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PRH BRIN, Laely Nurhidayah merinci berbagai rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan. Di antaranya ia menganjurkan untuk merevisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana dengan memasukkan kenaikan muka air laut dan penurunan tanah sebagai kategori bencana dan memasukkannya dalam rencana kontinjensi. 

“Menyiapkan regulasi yang mengatur sistem penanganan migrasi paksa akibat perubahan iklim. Termasuk menyediakan lokasi tujuan migrasi yang disetujui oleh masyarakat terdampak tanpa mengganggu mata pencaharian yang telah dibangun,” rincinya.

Selain itu juga menyebutkan perlu dilakukan peningkatan efektivitas pemberdayaan ekonomi perempuan, termasuk pelatihan, pinjaman lunak, pemasaran dan penguatan kelompok pendukung perempuan di masyarakat di wilayah pesisir. 

Cek Artikel:  Gempa Bumi Magnitudo 5.5 Guncang Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, diikuti 18 Kali Gempa Susulan

Baca juga : Perempuan Turut Andil dalam Pengurangan Emisi

Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Pengelolaan Kemitraan Kelembagaan dan Publikasi, Kementerian Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat, Mochammad Reyhan Firlandy menjelaskan dalam menghadapi perubahan iklim dan isu gender, perlu dinilai dari sudut pandang masyarakat itu sendiri. 

“Anda tahu, terkadang kita memiliki perencanaan yang kita buat di daerah pusat atau pemerintah pusat, tetapi hal itu tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jadi saat ini Kementerian Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat juga melibatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka,” katanya.

Senada dengan hal tersebut, Analis Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Franta Evelin memberikan tanggapan bahwa proses penanggulangan bencana, penilaian, dan perencanaan harus memasukkan perspektif yang peka terhadap gender dan anak. 

“Dengan memahami kerentanan dan kebutuhan unik perempuan dan anak, kita dapat bekerja sama untuk menyusun strategi respons yang lebih efektif dan adil,” tanggapnya.

 

Mungkin Anda Menyukai