Kemenangan Pramono-Rano Diyakini Berdampak pada Keseimbangan Politik Jakarta

Kemenangan Pramono-Rano Diyakini Berdampak pada Keseimbangan Politik Jakarta
Calon Gubernur Jakarta, Pramono Anung dan calon Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno(MI/Usman Iskandar)

AKTIVIS dan Pendiri Platform Jaga Pemilu, Ririn Sefsani, mengatakan hasil hitung Segera Pilkada Jakarta yang memenangkan Kekasih nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno, akan membawa angin segar bagi iklim perpolitikan dan pemerintahan ke depan.  

“Jakarta sebagai sentral kekuasaan Dapat menjadi laboratorium politik yang sangat menarik, pemenang gubernurnya adalah partai yang berlawanan dengan kekuatan di DPRD, jadi akan Terdapat keseimbangan di level eksekutif dan legislatif,” katanya dalam Obrolan ‘Jaga Demokrasi di Jakarta’ yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu diJakarta pada Sabtu (8/12). 

Sejalan dengan hal tersebut, Analis Politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan Apabila Kekasih Pramono-Rano menang pada Pilkada 2024, ia optimis kondisi politik dan pemerintahan di Jakarta akan terasa lebih berdinamika dalam pembuatan kebijakan. 

Cek Artikel:  KPU Riau Ajak Spesies Sakai Sukseskan Pilkada Serentak 2024

“Politik Jakarta ke depan akan menarik karena kursi DPRD dikuasai oleh PKS, partai yang berbeda dengan partai pengusung pemenang Pilkada Yakni PDIP. Tentu ini mestinya menjadi sebuah Asa Krusial, karena selama ini saya berpikir bahwa politik Indonesia sudah selesai,” ujarnya. 

Menurut Arif, dinamika Pilkada Jakarta juga menunjukkan suatu kekuatan politik Krusial yang Enggak mudah Kepada diprediksi. Ia juga menjadikan Jakarta sebagai barometer politik yang Enggak mudah Kepada diintervensi kekuasaan. 

“Fenomena Pilkada Jakarta menunjukkan bahwa upaya kekuatan tertentu Kepada menjadikan tatanan Indonesia menjadi monolitik itu telah gagal. Dan mudah-mudahan ini akan Membangun politik Indonesia menjadi lebih Berbagai Ragam nantinya,” jelasnya. 

Kendati Pilkada Jakarta berjalan Terjamin dan Fasih tanpa polarisasi di akar rumput, Tetapi Bahkan polarisasi tersebut kini berpindah ke kalangan para elite dengan adanya politik cawe-cawe.

Cek Artikel:  Penjelasan Lengkap Poltracking Hengkang dari Persepi

“Perpolitikan Jakarta memang Enggak memperlihatkan adanya polarisasi masyarakat yang terlalu tajam dan Membangun perpecahan, tapi sayangnya polarisasi itu Bahkan diperlihatkan lewat cawe-cawe dua Presiden ditambah dengan ketidak netralan Aparatur Negara,” ungkap Arif. 

Arif menilai, kuatnya Kendali intervensi kekuasaan dari aktor-aktor negara tersebut telah menurunkan kualitas Pilkada. Hal ini kata Arif, juga bertentangan dengan tujuan diciptakannya otonomi daerah dan Pilkada yang diperkenalkan pada 2004. 

“Padahal ide besar dan tujuan dari adanya otonomi daerah dan Pilkada langsung adalah Kepada membangun demokrasi dari Rendah, tapi Bahkan Prabowo dan Jokowi yang memberi endorse itu berlawanan dengan ide pilkada langsung, cawe-cawe itu Membangun daerah-daerah terkurung dalam politik top-down, mempengaruhi konsentrasi politik nasional agar diseragamkan,” katanya. 

Cek Artikel:  Pramono-Rano Menang, Pengamat Unsur Anies dan Blunder Suswono

Atas dasar itu, Arif menilai bahwa Presiden Jokowi telah mengkerdilkan dirinya sendiri. Menurutnya, Kombinasi tangan yang berlebihan dari Jokowi pada Pilkada juga telah menurunkan level politiknya. 

“Apabila kita Menyaksikan presiden setelah selesai masa jabatannya, berharap mantan presiden itu akan naik level menjadi negarawan, tetapi Bahkan Presiden Jokowi itu menurunkan levelnya Enggak lebih daripada jasa titip atau endorser,” kata Arif. 

Arif mengatakan bahwa dalam konteks politik, seorang presiden yang sudah berkuasa selama 10 tahun Lampau menempatkan dirinya menjadi endorser, hal itu adalah hal memalukan yang berarti telah mengkerdilkan diri sendiri sebagai mantan presiden. 

“Ditambah Kembali sikap politik yang ditunjukkan oleh para calon, alih-alih menunjukkan sebuah independensi tapi mereka Bahkan menyatakan dirinya di Rendah Kendali kekerdilan tadi,” pungkasnya. (P-5)

Mungkin Anda Menyukai