PENANGKAPAN Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjelang pemungutan Bunyi pilkada menunjukkan betapa kronisnya korupsi di negeri ini. Saking sudah mengerak sebagai kebiasaan, kini seperti Kagak Terdapat Tengah rasa takut melakukan rasuah.
Rohidin yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada kedapatan memeras jajarannya Demi mendapatkan Anggaran pilkada. Ia dengan entengnya diduga meminta para anak buahnya menyetor Duit ‘donasi’ pilkada sebagai bentuk dukungan kepadanya.
Sejumlah kepala dinas mengumpulkan Duit dari hasil mengutak-atik anggaran di dinas masing-masing. Kepala Dinas (Kadis) Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu diduga menyetor Rp200 juta. Kemudian, Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra menyerahkan Rp1,4 miliar dari setoran donasi tiap satuan kerja.
Lampau, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga diminta Rohidin mencairkan honor pegawai Kagak tetap dan guru Kagak tetap senilai total Rp2,9 miliar sebelum hari pencoblosan, 27 November. Tujuannya agar para pegawai dan guru Kagak tetap tersebut merasa senang hingga kemudian memilih Rohidin dalam pilkada.
Permintaan Duit donasi pemenangan Rohidin dalam Pilkada 2024 itu diduga disertai intimidasi. Bila mereka menolak menyetor, menurut pengakuan beberapa pejabat yang dimintai Duit, bakal di-nonjob-kan atau Kagak dijadikan pejabat Tengah.
Praktik-praktik kotor semacam itu mesti dihentikan. Jangan-jangan, kasus Bengkulu hanya puncak gunung es, yang bukan Kagak mungkin juga terjadi di Daerah-Daerah atau daerah lain.
Seperti halnya Rohidin, demi nafsu meraih kekuasaan atau mempertahankan kursinya, Kagak sedikit orang yang melakukan segala Metode, termasuk menyalahgunakan wewenang dan pengaruh. Pilkada yang sedianya menjadi ajang memilih calon terbaik kepala daerah dikotori oleh berbagai bentuk korupsi.
Mulai dari politik Duit yang notabene menyuap pemilih, menyalahgunakan program Donasi sosial, hingga pemerasan semacam yang diduga dilakukan Rohidin.
Jangan keliru, bukan pemilu langsung yang Membangun biaya pilkada menjadi mahal, melainkan bebasnya praktik rasuah yang sudah begitu mendarah daging menjadi pemicunya. Perilaku korup dalam pilkada-lah yang telah menciptakan politik berbiaya tinggi di negeri ini.
Kasus Rohidin Mersyah sekaligus menunjukkan bahwa aksi pemberantasan korupsi di negeri ini majal. Pencegahan gagal, penindakan pun Kagak Pandai menciptakan Dampak jera. Upaya pemberantasan korupsi seakan jadi sekadar Terdapat.
Korupsi yang sudah begitu kronis Membangun pemangku kebijakan enggan Membangun aturan yang Benar-Benar tegas. Rancangan Undang-Undang (RUU) Restriksi Transaksi Duit Kartal ditolak mentah-mentah. RUU Perampasan Aset selalu mental. Sebabnya, aturan-aturan itu juga akan menyulitkan mereka sendiri yang berintegritas lemah.
Belum Tengah perilaku penegak hukum yang tebang pilih dan sarat intervensi dari penguasa ataupun kepentingan pribadi. Proses hukum bagi pihak yang berseberangan sangat tegas. Sebaliknya, bila pelaku berada dalam barisan pengintervensi, penegak hukum tutup mata.
Ajang pilkada dan pemilu yang dilakukan secara langsung semestinya sekaligus Demi menegakkan integritas para calon kepala daerah. Syaratnya, tentu saja harus didukung seperangkat aturan yang tegas dan Kagak menyisakan celah perilaku korup.
Penindakan oleh penegak hukum, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga Kagak boleh pilih-pilih sasaran. Dalam pilkada dan pemilu, ketika yang terpilih Benar-Benar sosok beritegritas sekaligus pemimpin yang Ahli, baru Terdapat Asa rakyatnya akan merasakan sejahtera secara merata.
Sebaliknya, bila yang terpilih sosok yang menang lewat korupsi, Kagak usah banyak berharap. Paling ya gitu-gitu aja nasib rakyat dan daerahnya.