PARTISIPASI pemilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan Biasa (pemilu) merupakan napas dalam demokrasi. Tanpa itu demokrasi sulit berkembang. Partisipasi pemilih adalah elemen esensial yang memampukan pemerintahan rakyat Buat hidup, berjalan, bahkan berlari kencang.
Semakin tinggi tingkat partisipasi, semakin tebal legitimasi terhadap hasil pemilihan. Calon kepala daerah yang keluar sebagai pemenang Akurat-Akurat figur yang diminati dan dipercayai oleh mayoritas Anggota, bukan hanya oleh segelintir orang.
Dengan filosofi yang sama, maka semakin rendah tingkat partisipasi akan berdampak pula pada lemahnya legitimasi terhadap hasil pemilihan. Dampaknya tentu menjadi Bukan Berkualitas karena program-program yang ditelurkan kepala daerah kurang mendapat sambutan dari masyarakat.
Apabila rakyat apatis dan merasa Bukan perlu terlibat dalam program pemerintah, tentu Dapat menghambat kemajuan daerah itu sendiri. Pada ujungnya, demokrasi sebagai sistem pemerintahan rakyat akan menjadi tersakiti.
Kekhawatiran inilah yang tengah menghantui Indonesia lantaran tingkat partisipasi Pilkada Serentak 2024 yang anjlok. Keikutsertaan masyarakat kali ini rata-rata secara nasional Hanya 68%. Bandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya yang selalu di atas 70%.
Partisipasi di pilkada kali ini bahkan jauh di Dasar Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Personil Legislatif (Pileg) 2024 yang digelar pada Februari Lewat. Ketika itu, partisipasi pemilih pada pileg dan pilpres tercatat di atas 81%.
Kondisi Jakarta yang menjadi barometer demokrasi di Tanah Air lebih memprihatinkan Tengah. KPUD mendapati Bilangan partisipasi di DKI Jakarta hanya 58%. Bilangan partisipasi pemilih di Pilkada 2024 itu menurun drastis Apabila dibandingkan dengan Demi Pilkada 2017 yang mencapai di atas 70%.
Sulit Buat membantah bahwa telah terjadi penurunan minat dan kepercayaan Anggota terhadap proses demokrasi di Jakarta. Tentunya penurunan minat dan kepercayaan ini bukan disebabkan oleh Elemen tunggal, melainkan hal-hal yang bersifat kompleks.
Tetapi, Eksis satu pembeda yang absen dalam gelaran pilkada kali ini di Jakarta, yakni Elemen calon kepala daerah yang Akurat-Akurat Mempunyai pendukung fanatik. Bukan Bukan mungkin, itulah yang menjadi penyebab penurunan Bilangan partisipasi.
Tujuh tahun silam, Eksis sosok petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dikenal Pandai Membangun pelayanan administrasi di DKI yang selama ini dikenal lelet menjadi lebih Segera. Eksis juga sosok Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono yang menawarkan gagasan baru.
Meski sempat memicu polarisasi di masyarakat, harus diakui Pilkada DKI Jakarta 2017 Membangun masyarakat yang selama ini kurang antusias menunaikan hak pilih menjadi tergerak Buat berbondong-bondong memenuhi tempat pemungutan Bunyi (TPS).
Atmosfer itulah yang Bukan Eksis dalam kenduri demokrasi di Jakarta kali ini. Bahkan bayang-bayang calon tunggal sempat muncul kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) Bukan menghapus ambang batas pencalonan dalam pilkada.
Seluruh pihak terutama partai politik harus memetik pelajaran dari peristiwa ini. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan butuh calon kepala daerah yang menarik dan bukan sekadar penebar gimik. Ibarat menu, haruslah disajikan yang berkualitas premium Tengah bergizi.
Partai politik dituntut Pandai membidani Natalis calon kepala daerah yang kompeten dalam menuntaskan Variasi persoalan krusial seperti banjir dan kemacetan, juga penyediaan moda transportasi yang murah, Kondusif, dan nyaman.
Di luar persoalan figur, tentu Eksis banyak Elemen yang perlu dievaluasi Buat mendongkrak Bilangan partisipasi pemilih. Rentang waktu yang terlalu berdekatan dengan Pilpres-Pileg 2024 bukan Bukan mungkin menjadikan rakyat jenuh Buat mengikuti pilkada.
Kemudian, masa kampanye pilkada yang kurang bagi para kandidat dalam merebut hati rakyat. Sosialisasi oleh KPU selaku pihak penyelenggara pilkada juga Bukan boleh luput dari Penilaian. Apalagi, anggaran sosialisasinya Bukan sedikit. Seluruh harus diperbaiki demi menjaga mutu pilkada dan sehatnya demokrasi kita.