Eksis PPN 12 Persen, Penaikan UMP 2025 Sulit Dongkrak Daya Beli

Ada PPN 12 Persen, Penaikan UMP 2025 Sulit Dongkrak Daya Beli
WAKIL Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto.(Dok. Antara)

WAKIL Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpandangan meski Eksis penaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5% di 2025, akan sulit mendongkrak daya beli masyarakat. Ini karena adanya rencana penaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen yang Bisa menggerus konsumsi rumah tangga masyarakat.

Eko menuturkan imbas dari kenaikan PPN 1% itu Membikin harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok akan ikut terkerek. Hal tersebut akan menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke Dasar.

“Walaupun UMP 2025 naik, tetapi kalau PPN tetap naik ke 12%, dampaknya ke daya beli buruh Kagak optimal. Karena, Nyaris Segala produk kebutuhan sehari-hari akan naik,” ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis (5/12).

Dalam perhitungan Indef, penerapan PPN 12 persen diproyeksikan menurunkan konsumsi rumah tangga hingga 0,26%. Perkiraan ini Membikin ekonomi Indonesia akan anjlok dan berada di Dasar 5% di tahun depan. Eko menyebut adanya penaikan UMP Kagak akan berdampak signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

Cek Artikel:  Sektor Otomotif Tertekan, Pemerintah Siapkan Insentif

“Kalau bicara ke pertumbuhan ekonomi, saya rasa Kagak akan besar dampaknya dari penaikan UMP itu,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, ekonom dari Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menduga penaikan tarif PPN Kagak dimasukkan dalam Elemen konsiderasi penetapan UMP 2025 yang naik 6,5%. Semestinya, pemerintah mempertimbangkan

indikator secara menyeluruh.  

“Saya lihat kenaikan UMP Kagak Bisa mengkompensasi kenaikan harga yang Bisa muncul dari perubahan tarif PPN 12% yang akan berlaku di seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Ia menyebut penaikan UMP 6,5% Bisa dilengkapi dengan Sokongan yang akan diberikan oleh pemerintah kepada kelas menengah dan menengah ke Dasar. Stimulus ini akan menjadi Elemen pelengkap yang nantinya Bisa ikut membantu daya beli masyarakat secara Biasa.

Ekonom itu menilai tanpa diimbangi dengan kebijakan lain, seperti memberikan Sokongan sosial (bansos) atau mendorong pencipta lapangan kerja formal yang lebih luas, maka masalah daya beli masyarakat Lagi menjadi tantangan terberat pemerintah ke depannya.

Cek Artikel:  BI Buka Kesempatan Turunkan Tarif Biaya Layanan Transfer BI Fast

Senada, presiden Konfederasi Perkumpulan Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi berkeyakinan penaikan PPN akan menghambat laju daya beli, terutama pekerja Mempunyai Pendapatan atau upah yang rendah.

Akibat dari penaikan pajak itu pun dikhawatirkan berdampak pada kesenjangan sosial yang lebih dalam. Ini karena Eksis perbedaan penetapan UMP di daerah. Bahkan, Ristadi menyebut banyak buruh yang menerima upah Kagak layak.

 

“Jangan salah pekerja Indonesia Lagi banyak yang belum menerima upah sesuai standart upah minimum yang berlaku. Segmentasi ini akan mengalami penurunan daya beli dengan adanya PPN 12%,” ucapnya.

Ekonomi para buruh, ungkapnya, akan semakin terpukul dengan kenaikan harga seperti bahan pokok, sewa kos, biaya transportasi dan lainnya akibat PPN 12 persen di tahun depan. Menurutnya pemerintah perlu melakukan intervensi Kepada menjaga harga bahan pokok Konsisten agar Kagak mengalami inflasi yang tajam.

Cek Artikel:  Mengenal Leading dan Lagging Indicator Demi Trading Lebih Efektif

Dari sisi pelaku usaha, Ketua Perhimpunan Produsen Pedagang Pakaian Bayi Indonesia (P4BI) Roedy Irawan mengaku keberatan dengan penaikan UMP 6,5% karena menambah beban biaya tenaga kerja. Dus,  dengan rencana kenaikan PPN 12 persen akan memberatkan biaya operasional perusahaan.

“Dengan kenaikan UMP tentu kami akan kena dampaknya. Belum Tengah biaya-biaya lain yang dibebankan ke industri kecil dan menengah,” tuturnya.

Selama ini, ungkapnya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terseok-seok menghadapi gempuran produk impor, Bagus Absah maupun ilegal. Banyak pabrik TPT yang bangkrut dan merugi. Alhasil, terjadi pemutusan Interaksi kerja (PHK) secara besar-besaran.

“Jangan Tiba penaikan UMP dan PPN 12 persen menambah penderitaan kami. Sekarang banyak pabrik benang dan kain yang mengurangi karyawan dan bahkan tutup,” pungkasnya. (Z-9)

Mungkin Anda Menyukai