Indonesia Kekurangan Dokter Fakta atau Mitos

Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
(MI/Seno)

MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sangat gandrung menarasikan bahwa negeri ini kekurangan dokter. Bahkan, ia sempat menyebut bahwa Indonesia berada dalam status ‘darurat dokter’. Indonesia, katanya, butuh tambahan sebanyak 160-170 ribu dokter. Jumlah itu sangat besar. Akibat pandangan tersebut, Kementerian Kesehatan pun sibuk menggagas program yang ujung-ujungnya Mau menggenjot jumlah dokter dan dokter spesialis.

Pendirian dan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran diperbanyak. Demi ini telah terdapat 130 fakultas kedokteran. Muncul pula konsep hospital base residency. Artinya, rumah sakit dapat mendidik dan memproduksi dokter spesialis. Padahal, sebelumnya, hanya universitas yang dapat mendidik dokter spesialis. Muncul pula gagasan mendatangkan dokter asing, termasuk gagasan naturalisasi dokter asing.

Menkes menggunakan tiga Dalih ketika mengatakan Indonesia kekurangan dokter. Pertama, menurutnya, WHO menetapkan standar bahwa setiap negara mesti Mempunyai minimal 1 dokter Demi 1.000 penduduk (rasio 1:1000). Demi ini, jumlah penduduk Indonesia ialah 280 juta. Dengan rasio itu, mestinya terdapat 280 ribu dokter. Tetapi, Demi ini hanya Eksis 140 ribu dokter. Artinya, negeri ini kekurangan 140 ribu dokter.

Kedua, di tingkat ASEAN, rasio dokter di Indonesia termasuk terendah. Beberapa bulan Lewat, mantan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa rasio dokter ialah 0,4 per 1.000 penduduk. Padahal, di Malaysia, Brunei, dan Singapura, rasionya sudah di atas 1 per 1.000 penduduk. Ketiga, banyak pasien yang harus menunggu Lamban Demi mendapat penanganan penyakit mereka. Akhirnya, banyak di antara mereka yang meninggal Demi menunggu tindakan. Menurut Menkes, waktu tunggu panjang itu terjadi akibat jumlah dokter yang kurang.

 

Rasio 1:1.000 dan data Enggak adekuat

Menkes selalu bernarasi bahwa WHO menetapkan standar bahwa satu dokter harus tersedia Demi 1.000 penduduk (rasio 1:1.000) dan 0,28 dokter spesialis tersedia per 1.000 penduduk. Padahal, sejatinya WHO sama sekali Enggak pernah mengeluarkan standar demikian. Rasio-rasio itu memang sering disebut pada sejumlah Surat keterangan, tetapi fungsinya hanya sebagai metrik Komparasi, bukan standar. WHO paham bahwa setiap negara punya kondisi dan keterbatasan berbeda. Karenanya, Enggak elok menggunakan prinsip ‘one size fits all’.

Selain itu, penggunaan rasio dokter juga bukan metrik Cocok Demi perencanaan tenaga kesehatan. Rasio dibangun berdasarkan Dugaan bahwa Seluruh penduduk Mempunyai kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, kebutuhan kesehatan setiap penduduk berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter Standar, sebagian Kembali membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tak Dapat dipukul rata. Karenanya, penggunaan parameter rasio tersebut berpotensi menimbulkan bias dan kesalahan Perkiraan.

Parameter alternatif yang lebih Seksama ialah beban kerja dokter (doctor’s workload). Parameter itu mempertimbangkan beban kerja riil dokter. Misalnya, berapa jumlah pasien yang ditangani setiap hari, rata-rata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan darurat yang diterima dan durasi tindakan medis seperti operasi atau rehabilitasi. Entah mengapa parameter beban kerja dokter itu Enggak dipakai di Indonesia dan Bahkan Menkes menggunakan paramater rasio terhadap jumlah penduduk.

Kalaupun Menkes ngotot Mau menggunakan rasio, narasi kekurangan 160-170 ribu dokter sangat berlebihan. Data Konsil Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa jumlah dokter Indonesia lebih dari 221 ribu. Artinya, bila Mau menggunakan rasio 1:1.000, Indonesia sebenarnya hanya kekurangan 60 ribu dokter. Jumlah dokter yang diproduksi oleh fakultas kedokteran berkisar 11-13 ribu per tahun. Artinya, dalam 4-5 tahun, kebutuhan itu dapat terpenuhi Biar tanpa program percepatan penambahan dokter.

 

Rasio rendah ASEAN

Mantan Presiden Jokowi pada Mei 2024 menyebutkan bahwa rasio dokter terhadap populasi Indonesia ialah 0,47 per 1.000 penduduk. Data itu diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Perhitungan tersebut didasarkan pada data bahwa dengan penduduk 280 juta, Indonesia hanya Mempunyai 150 ribu dokter. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 147 dunia dan peringkat 9 pada tingkat ASEAN.

Rasio yang disebutkan mantan Presiden Jokowi sebenarnya Enggak Cocok. Dengan jumlah dokter 221 ribu sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia, rasionya ialah 0,79 per 1.000 penduduk. Nilai itu Nyaris dua kali lipat Apabila dibandingkan dengan rasio yang disebutkan Jokowi. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 6 di ASEAN dan bukan peringkat 9. Dengan rasio 0,79 per 1.000 penduduk itu, Demi mencapai rasio 1:1.000, hanya diperlukan tambahan 58.800 dokter dan bukan 160 ribu.

Cek Artikel:  Hasil karya Politik Pencapresan Awal dan Isu di Sekelilingnya

Pada level ASEAN, hanya Eksis tiga negara yang Mempunyai rasio dokter di atas 1 per 1.000 penduduk, Merukapan Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Membandingkan rasio dokter Indonesia dengan rasio pada ketiga negara tersebut tentu Enggak relevan. Alasannya, Indonesia ialah negara dengan populasi besar, sementara Singapura hanya Mempunyai populasi 5,9 juta, Malaysia 33 juta, dan Brunei 0,4 juta.

Dengan populasi besar, isu ketersediaan dokter menjadi lebih kompleks. Indonesia juga ialah negara kepulauan dengan lebih 17 ribu pulau; tentu beda dengan Singapura, Malaysia, dan Brunei yang negaranya berbentuk daratan dengan Kawasan geografis relatif kecil. Negara-negara tersebut juga tergolong negara menengah dan maju serta mengalokasikan anggaran besar Demi sektor kesehatan. Dengan segala iklim kondusif tersebut, wajar rasio dokternya bagus. Kurang relevan Apabila menjadikan rasio negara-negara tersebut sebagai acuan.

 

Dalih Enggak Cocok

Menkes mengatakan waktu tunggu panjang timbul akibat kekurangan dokter. Hal itu Enggak sepenuhnya Cocok. Waktu tunggu panjang disebabkan oleh Berbagai Ragam Elemen. Dokter yang kurang memang merupakan salah satu penyebab. Tetapi, banyak penyebab lain mendasarinya, di antaranya ialah keterbatasan-keterbatasan ruang operasi, alat medis, dan kapasitas rumah sakit.

Operasi jantung, misalnya, umumnya dilakukan di rumah sakit tersier yang Mempunyai fasilitas lengkap. Apabila rumah sakit yang tersedia sudah penuh, pasien harus menunggu, terlepas dari jumlah dokter yang tersedia. Waktu tunggu panjang juga dipengaruhi alokasi anggaran kesehatan. Apabila pendanaan terbatas, rumah sakit Enggak Dapat meningkatkan kapasitas mereka meski jumlah dokter memadai.

Pada beberapa spesialis tertentu, seperti spesialis bedah jantung, bedah saraf, dan bedah anak, negeri ini memang mengalami kekurangan absolut. Sementara itu, sejumlah spesialis lain, yang terjadi ialah kekurangan relatif. Artinya, pada level nasional jumlah dokter spesialisnya mencukupi, tetapi dokter ini Enggak tersebar merata.

Pada Provinsi Jakarta, Yogyakarta, Bali dan Gorontalo, beberapa jenis spesialis telah melewati Sasaran rasio dokter spesialis. Sementara itu, di Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, dokter spesialis tersebut sangat kurang.

 

Pengaruh jangka panjang

Nyaris Seluruh negara mengalami kekurangan dokter. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Tetapi, magnitudo kekurangan di negeri ini terlalu dilebih-lebihkan. Padahal Enggak dilandasi oleh dasar ilmiah. Enggak Eksis darurat dokter di Indonesia.

Pemerintah perlu bijak memikirkan isu penambahan dokter. Pengaruh sampingnya akan sangat serius bagi profesi dokter dan masyarakat. Bila jumlah dokter Indonesia membeludak, apakah pemerintah siap menyerap mereka? Demi ini jumlah dokter sebanyak 221 ribu. Fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahun memproduksi tambahan 10-14 ribu dokter.

Bila pemerintah Mau menambah Kembali 160 ribu dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini? Tanpa penyerapan adekuat, akan timbul fenomena oversupply yang ujung-ujungnya berimbas negatif pada kualitas layanan, dan kesejahteraan dokter. Dokter dapat menjadi pengangguran intelektual.

Penambahan jumlah dokter secara masif tanpa perencanaan matang berisiko menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Alih-alih memperbaiki layanan kesehatan, langkah itu Bahkan dapat memicu stagnasi atau bahkan penurunan kualitas pelayanan medis. Jangan Tamat niat meningkatkan jumlah dokter Bahkan berujung pada bumerang sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh pihak.

Pemerintah perlu Pusat perhatian pada upaya distribusi tenaga medis yang lebih merata. Di antaranya dengan memberikan Bonus yang memadai bagi dokter yang bersedia bertugas di daerah terpencil, meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah, serta memberi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi mereka. Dengan demikian, masalah akses dan kualitas layanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus menambah jumlah dokter secara signifikan.

Isu kekurangan dokter di Indonesia memang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif. Sebelum mengambil keputusan kontroversial, seperti menambah jumlah dokter secara masif atau mengubah sistem pendidikan spesialis, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam berbasis data dan fakta. Kebijakan yang tergesa-gesa dan tanpa dasar adekuat Bahkan menimbulkan masalah baru pada kemudian hari.

Cek Artikel:  Profesor Minim Karya Ilmiah

MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sangat gandrung menarasikan bahwa negeri ini kekurangan dokter. Bahkan, ia sempat menyebut bahwa Indonesia berada dalam status ‘darurat dokter’. Indonesia, katanya, butuh tambahan sebanyak 160-170 ribu dokter. Jumlah itu sangat besar. Akibat pandangan tersebut, Kementerian Kesehatan pun sibuk menggagas program yang ujung-ujungnya Mau menggenjot jumlah dokter dan dokter spesialis.

Pendirian dan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran diperbanyak. Demi ini telah terdapat 130 fakultas kedokteran. Muncul pula konsep hospital base residency. Artinya, rumah sakit dapat mendidik dan memproduksi dokter spesialis. Padahal, sebelumnya, hanya universitas yang dapat mendidik dokter spesialis. Muncul pula gagasan mendatangkan dokter asing, termasuk gagasan naturalisasi dokter asing.

Menkes menggunakan tiga Dalih ketika mengatakan Indonesia kekurangan dokter. Pertama, menurutnya, WHO menetapkan standar bahwa setiap negara mesti Mempunyai minimal 1 dokter Demi 1.000 penduduk (rasio 1:1000). Demi ini, jumlah penduduk Indonesia ialah 280 juta. Dengan rasio itu, mestinya terdapat 280 ribu dokter. Tetapi, Demi ini hanya Eksis 140 ribu dokter. Artinya, negeri ini kekurangan 140 ribu dokter.

Kedua, di tingkat ASEAN, rasio dokter di Indonesia termasuk terendah. Beberapa bulan Lewat, mantan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa rasio dokter ialah 0,4 per 1.000 penduduk. Padahal, di Malaysia, Brunei, dan Singapura, rasionya sudah di atas 1 per 1.000 penduduk. Ketiga, banyak pasien yang harus menunggu Lamban Demi mendapat penanganan penyakit mereka. Akhirnya, banyak di antara mereka yang meninggal Demi menunggu tindakan. Menurut Menkes, waktu tunggu panjang itu terjadi akibat jumlah dokter yang kurang.

 

Rasio 1:1.000 dan data Enggak adekuat

Menkes selalu bernarasi bahwa WHO menetapkan standar bahwa satu dokter harus tersedia Demi 1.000 penduduk (rasio 1:1.000) dan 0,28 dokter spesialis tersedia per 1.000 penduduk. Padahal, sejatinya WHO sama sekali Enggak pernah mengeluarkan standar demikian. Rasio-rasio itu memang sering disebut pada sejumlah Surat keterangan, tetapi fungsinya hanya sebagai metrik Komparasi, bukan standar. WHO paham bahwa setiap negara punya kondisi dan keterbatasan berbeda. Karenanya, Enggak elok menggunakan prinsip ‘one size fits all’.

Selain itu, penggunaan rasio dokter juga bukan metrik Cocok Demi perencanaan tenaga kesehatan. Rasio dibangun berdasarkan Dugaan bahwa Seluruh penduduk Mempunyai kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, kebutuhan kesehatan setiap penduduk berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter Standar, sebagian Kembali membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tak Dapat dipukul rata. Karenanya, penggunaan parameter rasio tersebut berpotensi menimbulkan bias dan kesalahan Perkiraan.

Parameter alternatif yang lebih Seksama ialah beban kerja dokter (doctor’s workload). Parameter itu mempertimbangkan beban kerja riil dokter. Misalnya, berapa jumlah pasien yang ditangani setiap hari, rata-rata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan darurat yang diterima dan durasi tindakan medis seperti operasi atau rehabilitasi. Entah mengapa parameter beban kerja dokter itu Enggak dipakai di Indonesia dan Bahkan Menkes menggunakan paramater rasio terhadap jumlah penduduk.

Kalaupun Menkes ngotot Mau menggunakan rasio, narasi kekurangan 160-170 ribu dokter sangat berlebihan. Data Konsil Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa jumlah dokter Indonesia lebih dari 221 ribu. Artinya, bila Mau menggunakan rasio 1:1.000, Indonesia sebenarnya hanya kekurangan 60 ribu dokter. Jumlah dokter yang diproduksi oleh fakultas kedokteran berkisar 11-13 ribu per tahun. Artinya, dalam 4-5 tahun, kebutuhan itu dapat terpenuhi Biar tanpa program percepatan penambahan dokter.

 

Rasio rendah ASEAN

Mantan Presiden Jokowi pada Mei 2024 menyebutkan bahwa rasio dokter terhadap populasi Indonesia ialah 0,47 per 1.000 penduduk. Data itu diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Perhitungan tersebut didasarkan pada data bahwa dengan penduduk 280 juta, Indonesia hanya Mempunyai 150 ribu dokter. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 147 dunia dan peringkat 9 pada tingkat ASEAN.

Rasio yang disebutkan mantan Presiden Jokowi sebenarnya Enggak Cocok. Dengan jumlah dokter 221 ribu sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia, rasionya ialah 0,79 per 1.000 penduduk. Nilai itu Nyaris dua kali lipat Apabila dibandingkan dengan rasio yang disebutkan Jokowi. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 6 di ASEAN dan bukan peringkat 9. Dengan rasio 0,79 per 1.000 penduduk itu, Demi mencapai rasio 1:1.000, hanya diperlukan tambahan 58.800 dokter dan bukan 160 ribu.

Cek Artikel:  Eskalasi Harga Pangan Tengah Pahamn

Pada level ASEAN, hanya Eksis tiga negara yang Mempunyai rasio dokter di atas 1 per 1.000 penduduk, Merukapan Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Membandingkan rasio dokter Indonesia dengan rasio pada ketiga negara tersebut tentu Enggak relevan. Alasannya, Indonesia ialah negara dengan populasi besar, sementara Singapura hanya Mempunyai populasi 5,9 juta, Malaysia 33 juta, dan Brunei 0,4 juta.

Dengan populasi besar, isu ketersediaan dokter menjadi lebih kompleks. Indonesia juga ialah negara kepulauan dengan lebih 17 ribu pulau; tentu beda dengan Singapura, Malaysia, dan Brunei yang negaranya berbentuk daratan dengan Kawasan geografis relatif kecil. Negara-negara tersebut juga tergolong negara menengah dan maju serta mengalokasikan anggaran besar Demi sektor kesehatan. Dengan segala iklim kondusif tersebut, wajar rasio dokternya bagus. Kurang relevan Apabila menjadikan rasio negara-negara tersebut sebagai acuan.

 

Dalih Enggak Cocok

Menkes mengatakan waktu tunggu panjang timbul akibat kekurangan dokter. Hal itu Enggak sepenuhnya Cocok. Waktu tunggu panjang disebabkan oleh Berbagai Ragam Elemen. Dokter yang kurang memang merupakan salah satu penyebab. Tetapi, banyak penyebab lain mendasarinya, di antaranya ialah keterbatasan-keterbatasan ruang operasi, alat medis, dan kapasitas rumah sakit.

Operasi jantung, misalnya, umumnya dilakukan di rumah sakit tersier yang Mempunyai fasilitas lengkap. Apabila rumah sakit yang tersedia sudah penuh, pasien harus menunggu, terlepas dari jumlah dokter yang tersedia. Waktu tunggu panjang juga dipengaruhi alokasi anggaran kesehatan. Apabila pendanaan terbatas, rumah sakit Enggak Dapat meningkatkan kapasitas mereka meski jumlah dokter memadai.

Pada beberapa spesialis tertentu, seperti spesialis bedah jantung, bedah saraf, dan bedah anak, negeri ini memang mengalami kekurangan absolut. Sementara itu, sejumlah spesialis lain, yang terjadi ialah kekurangan relatif. Artinya, pada level nasional jumlah dokter spesialisnya mencukupi, tetapi dokter ini Enggak tersebar merata.

Pada Provinsi Jakarta, Yogyakarta, Bali dan Gorontalo, beberapa jenis spesialis telah melewati Sasaran rasio dokter spesialis. Sementara itu, di Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, dokter spesialis tersebut sangat kurang.

 

Pengaruh jangka panjang

Nyaris Seluruh negara mengalami kekurangan dokter. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Tetapi, magnitudo kekurangan di negeri ini terlalu dilebih-lebihkan. Padahal Enggak dilandasi oleh dasar ilmiah. Enggak Eksis darurat dokter di Indonesia.

Pemerintah perlu bijak memikirkan isu penambahan dokter. Pengaruh sampingnya akan sangat serius bagi profesi dokter dan masyarakat. Bila jumlah dokter Indonesia membeludak, apakah pemerintah siap menyerap mereka? Demi ini jumlah dokter sebanyak 221 ribu. Fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahun memproduksi tambahan 10-14 ribu dokter.

Bila pemerintah Mau menambah Kembali 160 ribu dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini? Tanpa penyerapan adekuat, akan timbul fenomena oversupply yang ujung-ujungnya berimbas negatif pada kualitas layanan, dan kesejahteraan dokter. Dokter dapat menjadi pengangguran intelektual.

Penambahan jumlah dokter secara masif tanpa perencanaan matang berisiko menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Alih-alih memperbaiki layanan kesehatan, langkah itu Bahkan dapat memicu stagnasi atau bahkan penurunan kualitas pelayanan medis. Jangan Tamat niat meningkatkan jumlah dokter Bahkan berujung pada bumerang sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh pihak.

Pemerintah perlu Pusat perhatian pada upaya distribusi tenaga medis yang lebih merata. Di antaranya dengan memberikan Bonus yang memadai bagi dokter yang bersedia bertugas di daerah terpencil, meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah, serta memberi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi mereka. Dengan demikian, masalah akses dan kualitas layanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus menambah jumlah dokter secara signifikan.

Isu kekurangan dokter di Indonesia memang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif. Sebelum mengambil keputusan kontroversial, seperti menambah jumlah dokter secara masif atau mengubah sistem pendidikan spesialis, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam berbasis data dan fakta. Kebijakan yang tergesa-gesa dan tanpa dasar adekuat Bahkan menimbulkan masalah baru pada kemudian hari.

 

Mungkin Anda Menyukai