KASUS penembakan siswa SMKN 4 Semarang oleh Member polisi dari Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang Aipda Robig Zaenudin, Tetap menjadi sorotan. Begitu ini kasus penembakan siswa SMK di Semarang itu semakin ‘panas’ terutama karena diduga Terdapat intervensi kepolisian Serempak seorang wartawan yang mendatangi keluarga korban Gamma Rizkynata Oktafansy.
“Jadi yang datang sehari setelah pemakaman korban itu, Kepala Polrestabes Serempak seorang wartawan, istilahnya kita diminta supaya bikin tanda tangan pernyataan supaya Kagak tersebar atau berkembang ke mana-mana dan kita disuruh mengikhlaskan,” kata seorang kerabat keluarga korban.
Keluarga korban yang minta dirahasiakan namanya demi keselamatannya itu mengungkapkan permintaan Buat tanda tangan dan diambil pernyataan melalui video tersebut langsung ditolak. Bahkan keluarga juga sangat kecewa ketika polisi menyebut korban Member gangster, padahal menurut keluarga diketahui almarhum merupakan siswa berprestasi, Giat ibadah, dan sangat Berkualitas.
Publik juga menyoroti dan bertanya, siapa wartawan dalam pusaran kasus penembakan terhadap siswa SMKN 4 Semarang tersebut?
Ketika Member keluarga korban ditunjukkan foto-foto sejumlah wartawan, mereka menunjuk sebuah foto wartawan bertubuh gempal dan diketahui merupakan jurnalis dari media nasional, hingga terbukalah identitas wartawan yang dimaksud.
Keterlibatan wartawan mengintervensi keluarga korban ini, Membangun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam tindakan wartawan tersebut. Menurut Ketua AJI Semarang Aris Mulyawan perbuatan jurnalis atau wartawan yang berusaha menutupi peristiwa Mortalitas Gamma Rizkynata Oktafansy adalah tindakan serius yang mencederai profesi jurnalis.
“Tindakan tersebut juga jauh dari semangat elemen jurnalisme yakni jurnalis harus menyampaikan kebenaran pada sebuah pemberitaan tanpa adanya kepentingan tertentu,” kata Aris Mulyawan Selasa (3/12).
Kagak hanya itu, lanjut Aris Mulyawan, tindakan ikut Adonan jurnalis dalam kasus itu berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik yakni dalam Pasal 4 UU Pers Jernih disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi Sosok, sehingga Buat menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional Mempunyai hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Tetapi yang terjadi, ungkap Aris Mulyawan, wartawan itu Malah Terdapat upaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis Buat meliput kasus tersebut, dengan dalih Kepaka Polrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Di dalam Pasal 18 UU Pers, ujar Aris Mulyawan, sudah sangat Jernih tertulis setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling Pelan 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. “Mirisnya, potensi pelanggaran ini malah dilakukan oleh wartawan itu sendiri,” tambahnya.
Menurut Aris Mulyawan, yang dilakukan oknum wartawan itu Kagak sesuai dengan kode etik dalam meliput, yakni Kagak menyembunyikan informasi Krusial yang berkaitan dengan kepentingan publik dan memberikan tempat bagi pihak yang Kagak Mempunyai kemampuan dan kesempatan Buat menyuarakan pendapat mereka.
“Jurnalis Kagak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya Buat mencari keuntungan pribadi, sehingga sikap dari wartawan itu sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan,” tambahnya.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Persona jurnalisme di Semarang, sehingga ditekankan agar jurnalis Mempunyai prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan, karena tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta supaya menaati rambu-rambu tersebut.
“Wartawan bukan Humas Polri,” tegasnya. (Z-9)