Saatnya Bela Independensi Kehakiman


 

INDEPENDENSI hakim memang sejatinya berpijak pada integritas dari diri sendiri. Meski begitu, independensi juga butuh dukungan institusi dan politik. Tanpa itu, independensi akan surut dan pada akhirnya, negeri ini hanya Mempunyai hakim-hakim boneka.

Ancaman itulah yang Terdapat dengan pemberhentian Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh DPR RI. Pemberhentian itu dilakukan 29 September Lewat di rapat Paripurna DPR RI atas hasil rapat Komisi III.

Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, menyatakan pencopotan itu karena kinerja Aswanto dianggap mengecewakan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu dinilai kerap menganulir undang-undang produk DPR RI di MK. Salah satunya ialah ketika Aswanto Serempak empat hakim MK menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Cipatker) inkonstitusional bersyarat.

Cek Artikel:  Memastikan Tiket Hak Angket

Begitu bernafsunya DPR RI menyingkirkan Aswanto. Mereka juga langsung mengesahkan Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai hakim MK. Fit and proper test bagi Guntur nyatanya telah dilakukan Komisi III, sebelumnya, secara kilat.

Langkah DPR ini sebenarnya bukan hanya penghinaan terhadap Aswanto seorang. DPR juga memberi sinyal Jelek pada hakim-hakim dan pejabat negara lainnya dengan mekanisme pemilihan melalui lembaga itu.

DPR menempatkan diri ibarat rentenir yang menganggap pejabat negara yang mereka pilih berhutang besar. Maka selama menjabat, kepakaran dan inpendensi para hakim hanya boleh dipakai bagi pihak lain. Sementara Ketika menghadapi DPR, hanya kepatuhan yang diharapkan.

Padahal, jaminan eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman juga sudah dicantumkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945. Sekalian lembaga negara semestinya dapat memaknai kemerdekaan dengan terbebas dari kepentingan politik.

Cek Artikel:  Polri Presisi di Tahun Politik

Maka kesewenang-wenangan DPR Terang harus dilawan. Pembiaran hal ini dapat semakin memberi angin pada DPR Buat melakukan intervensi dan menyalahi aturan dalam mekanisme pemilihan pejabat negara. Minggu Lewat pun DPR telah dikritik tajam karena mengintervensi pemilihan Ketua Komnas HAM.

Bukan saja bentuk penghinaan terhadap independensi hakim MK, pencopotan Aswanto juga Terang-Terang menyalahi aturan. Berdasarkan Pasal 23 ayat 4 No 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, pemberhentian hakim hanya Bisa dilakukan dengan keputusan presiden atas permintaan dari Ketua MK. Lembaga yang mengusulkan, Yakni DPR, presiden, dan Mahkamah Akbar Tak berhak mengusulkan pemberhentian hakim konstitusi.

DPR juga telah keliru menafsirkan surat dari Ketua MK. Surat itu bersubstansi pada konfirmasi pemberitahuan periodisasi jabatan hakim MK yang Tak Tengah merujuk pada siklus lima tahunan, tapi merujuk pada Restriksi usia pensiun hakim konstitusi (70 tahun).

Cek Artikel:  Putusan Lonjong Jabatan KPK

Tetapi, DPR Malah berakrobat memanfaatkan surat itu sebagai dasar memberhentikan Aswanto. DPR menilai Apabila Tak diberhentikan maka Aswanto akan mendapat keistimewaan terselubung menjadi hakim MK dengan durasi terlama, yakni Tamat tahun 2029.

Dengan seluruh Dalih itu, Presiden Jokowi harus tegas menolak hasil rapat paripurna DPR. Dalam kondisi ini, aturan bahwa Presiden Tak Bisa menolak pencopotan hakim MK, Tak berlaku Asal Mula pencopotan Aswanto yang Terang-Terang menyalahi UU.

Presiden akan ikut mendegradasi independensi hakim dan MK Apabila meluluskan hasil paripurna DPR. Presiden Malah harus mengirimkan surat kepada DPR Buat kembali mengangkat Aswanto. (*)

Mungkin Anda Menyukai