Asa Menjadi yang Satu

Juara hanya satu, bukan dua, apalagi tiga. Sayangnya, kesebelasan nasional kita, Indonesia, selalu gagal menjadi yang ‘satu’ itu. Di Piala AFF, ajang kejuaraan sepak bola negara-negara Asia Tenggara, skuat Garuda selalu mentok di podium kedua.

Posisi dua Tengah-Tengah harus diterima Timnas Indonesia. Pada edisi ke-13 tahun ini, Indonesia Tengah-Tengah gagal Juara. Datang dengan status tak diunggulkan, Indonesia sebenarnya tampil menjanjikan di babak penyisihan hingga semifi nal. Tetapi, di fi nal, di partai pamungkas, mereka tak berdaya di kaki Thailand.

Di leg pertama, gawang Nadeo Argawinata empat kali kebobolan. Indonesia kalah telak 0-4. Inilah kekalahan paling besar sepanjang ambil bagian di Piala AFF sejak 1996. Remuk.

Tetapi, publik Lagi berharap Asnawi Mangkualam Bahar dan Rekan-Rekan dapat membalikkan keadaan di leg kedua. Bola itu bundar. Siapa Paham Indonesia Pandai seperti Barcelona, yang kalah 0-4 di laga pertama Lewat menang 6-1 di duel kedua babak 16 besar Perserikatan Champions 2017.

Tetapi, Indonesia Terang bukan Barcelona. Bedanya jauh, terlalu jauh. Sejauh jarak antara Jakarta dan Kota Barcelona yang 11.679 km. Meski tampil lebih apik, mereka hanya Pandai imbang 2-2.

Usai sudah perjuangan anak-anak Shin Tae-yong. Pupus sudah mimpi publik Tanah Air Buat mencicipi nikmatnya trofi Piala AFF. Lengkap sudah julukan Indonesia sebagai spesialis runner-up. Ya, enam kali melaju ke final enam kali, mereka hanya nyaris Juara.

Cek Artikel:  Nikmatnya Jadi Mantan Presiden

Mengecewakan? Tentu saja. Menyakitkan? Sudah Niscaya. Sepak bola memang Sadis dan Indonesia berulang kali menjadi korban kekejaman itu.

Kekejaman sepak bola pun tak pandang bulu. Tak Sekadar Indonesia, banyak tim lain yang senasib sepenanggungan.

Siapa yang tak Paham Belanda. Mereka salah satu raksasa sepak bola Eropa, bahkan dunia. Gudangnya pemain-pemain berkelas. Akan tetapi, Belanda belum pernah menjadi Juara Piala Dunia. Dari tiga kali lolos ke fi nal, semuanya berakhir dengan Dekat Juara. Pada 1974, mereka dikalahkan Jerman Barat, Lewat ditundukkan Argentina pada 1978, dan pada 2010 dibekuk Spanyol.

Eksis pula Yordania. Dari tiga kali bertarung di fi nal Piala WAFF (Federasi Sepak Bola Asia Barat), tiga kali pula Yordania gagal Juara.

Di level klub, Atletico Madrid menjadi Teladan. Klub Spanyol itu tiga kali menapaki partai final Perserikatan Champions pada 1974, 2014, dan 2016, tapi semuanya berujung kegagalan. Semuanya Sekadar Dekat Juara.

Anda pernah dengar SV Robinhood? Klub ini memang Bukan familier. Ia ialah raksasa Perserikatan Suriname yang Eksis sejak 1945 dengan capaian 24 gelar lokal. Tetapi, di Perserikatan Champions CONCACAF selalu sial. Lima kali berlaga di partai pamungkas, lima kali pula mereka gigit jari.

Cek Artikel:  Takhta Pak Kades

Juara hanya satu, bukan dua, apalagi tiga. Di Piala AFF, Indonesia memang selalu gagal menjadi yang ‘satu’ itu. Akan tetapi, harus diakui timnas kali ini menjanjikan Asa di kemudian hari.

Skuat Garuda memang sudah kerap gagal. Bedanya, seingat saya, baru kali ini kepadanya minim nyinyiran dan cercaan. Belum Eksis pula syak wasangka bahwa kekalahan di fi nal pekan Lewat karena ‘Eksis apa-apanya’.

Kata publik, kekalahan dari Thailand sudah sewajarnya. Kata netizen +62, kita memang tak mungkin mengalahkan ‘Gajah Perang’ Thailand. Dalilnya, yang Pandai membunuh Laskar gajah ialah burung ababil, bukan garuda seperti yang dikisahkan di kitab Kudus. Ah, netizen kita memang paling Pandai. Tentu mereka hanya bercanda.

Banyak pula yang bilang, Indonesia Lagi terpenjara kutukan runner-up. Saya Bukan sepakat dengan anggapan itu. Seperti ketidaksepakatan legenda Juventus Alessandro Del Piero bahwa Eksis kutukan dalam sepak bola, setelah ‘Si Nyonya Sepuh’ berulang kali rontok di final Perserikatan Champions semenjak terakhir kali Juara pada 1996. “Kutukan tak Eksis Buat para pemain, atau siapa pun yang bermain di lapangan,’’ katanya.

Emangnya salah apa Indonesia hingga harus dikutuk? Tengah pula penyihir mana yang kurang kerjaan Lewat menyemburkan mantra jahatnya ke Timnas Indonesia?

Cek Artikel:  Tri Hita Karana

Yang Niscaya, materi timnas Lagi muda dengan rata-rata usia 23,8 tahun. Bandingkan dengan umur Thailand yang rata-rata 27,1 tahun. Konon, usia emas pesepak bola ialah 27-30 tahun. Artinya, Lagi terbentang jalan bagi mereka Buat berkembang dan Lanjut berkembang.

Tentu itu pertanda Berkualitas. Pertanda bahwa publik percaya anak-anak besutan Shin Tae-yong sudah tampil semaksimal yang mereka Pandai. Percaya bahwa mereka akan semakin digdaya. Akan tetapi, Ampun, bukan percaya bahwa pengurus PSSI sudah bagus dalam mengurus sepak bola.

Petuah profesor Arsene Wenger kiranya pas Buat materi muda kita. Kata dia, “Kemenangan di usia muda bukan hal yang paling Krusial, yang Krusial ialah mengembangkan pemain kreatif dan terampil dengan kepercayaan diri yang Berkualitas.”

Itulah yang akan dan harus dilakukan Shin Tae-yong. Dia senang Menonton para pemain mudanya begitu bersemangat menjalani turnamen Piala AFF. Dia percaya, dengan kerja lebih keras, mereka dapat berkembang lebih Berkualitas di turnamen-turnamen berikutnya.

Itu pula yang Membikin saya, juga jutaan rakyat Indonesia, kembali berani mengapungkan asa. Asa bahwa gak Guna Pelan timnas Pandai menjadi yang ‘satu’, bukan yang dua, apalagi tiga.

Mungkin Anda Menyukai