KAUM elite menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk membentuk dunia politik yang tujuan akhirnya ialah menambah kekuatan ekonomi mereka.
Joseph Stiglitz
Terang, apa yang dimaksud profesor ekonomi New Keynesian, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001 itu, ialah kesejajaran bahkan saling keterkaitan (langsung) antara ketimpangan ekonomi dan ketimpangan politik.
Keduanya saling mensyaratkan. Keduanya saling memberi keuntungan kepada pihak lainnya. Keduanya persekutuan atau konspirasi atau bisa pula pasangan sejati yang saling mengisi secara ideal. Lebih dari sekadar kembar dampit dari rahim ‘bapak kebebasan’ dan ‘ibu revolusi industri’.
Apa yang dikatakan tokoh pengkritik keras globalisasi, asas laissez-faire dalam kapitalisme hingga lembaga-lembaga mondial seperti World Bank dan IMF itu, dalam ilmu ekonomi modern dianggap sebagai sebuah teori, yang tak terbantahkan. Definisinya, ketimpangan politik selalu akan terjadi selama ketimpangan ekonomi tercipta (sebagai keniscayaan kapitalisme, tambahan penulis) yang secara siklis ketimpangan politik itu kemudian akan memperdalam jurang ekonomi yang ada dalam masyarakat.
Maka dari itu, sudah menjadi kegaliban dalam dunia dan praksis politik masa kini, situasi yang menggiriskan di atas terjadi, di mana pun praktik demokrasi dijalani. Bahkan, sehebat atau secerdas apa pun seorang politikus yang bermain dalam dunia dan praksis itu.
Terlebih, bila kita sepakat dengan apa yang dikatakan Niccolo Machiavelli, politik itu tidak ada hubungannya dengan moral, moralitas–soal kebaikan dan kebenaran, soal etika–yang semestinya menjadi obat bagi ketimpangan dan keserakahan di atas tidak lagi dapat kita temukan, bahkan kita harapkan dalam kehidupan politik.
Bukan kebenaran sesungguhnya yang dicari para pekerja politik, kaum politikus, tetapi semata suara di pemilu dan akhirnya kekuasaan. Karenanya, cukup arif Charles de Gaulle, jenderal, dan pemimpin besar yang menggagalkan upaya Jerman sang Uebermensch di masa Perang Dunia Kedua menaklukkan Prancis, saat mengatakan, “Politik ialah satu urusan yang terlampau serius untuk diberikan hanya kepada kaum politikus.”
Memang, pada dasarnya politik dengan wajah dan isi yang begitu buruk dan bodoh itu sesungguhnya ialah kelindan budaya dan tradisi kebebasan yang telah melepas tali kekang syahwat dan libido manusia pada kenikmatan (kekayaan, kekuasaan, badan) sehingga kedegilan pun merajalela.
Sebagaimana kegiatan hidup manusia lainnya, politik ada, muncul, dan tergunakan pada mulanya untuk menciptakan keselarasan atau harmoni hidup (order). Tatanan masyarakat itu bisa menjamin kelayakan hingga kenyamanan hidup manusia, memperoleh kebahagiaan (pursuit of happiness).
Bila bukan kebahagiaan yang didapat dari romantika politik, dalam kerja seluruh lembaga yang ada dalam kehidupannya, tapi justru kemiskinan dan kebodohan sebagaimana tecermin dalam indeks Gini atau ketimpangan ekonomi–yang kian hari kian tajam di seluruh dunia–sesungguhnya politik itu sudah mati. Hanya kita tidak hendak menguburkannya, justru membalsam menegakkannya di mausoleum untuk membayangkan ia masih hidup, ia masih ada agar para politikus tetap dapat hidup dan menari di dalamnya.
Memelintir akal sehat
Apa yang terjadi dalam realitas kontemporer politik di atas ialah produksi ilusi habis-habisan untuk dibenamkan, didiseminasi, dan diinternalisasi khalayak luas. Dengan khotbah utama, ‘politik itu penting, bahkan paling penting karena dengannya kita akan maju, kita ke masa depan, ke kejayaan, dan menciptakan kemakmuran/kesejahteraan’. Bukankah demikian jargon semua praktik demokrasi? Jangan kita menipu diri dengan coba menyangkalnya.
Yang paling sahih menyangkal ialah tokoh-tokoh dunia yang telah merenungkan, menjalani, dan memahami kerak terdalam dari hidup dan praksis politik itu. Sangkalan itu, tentu saja bukan pujian atau persetujuan, juga bukan sekadar kritik yang menikam ulu hati politik–terutama demokrasi–itu. Tetapi, kesangsian akan masih dibutuhkannya praksis ketelanjuran yang hampir tak tersembuhkan itu.
Kesia-siaan berpolitik, dalam arti demokratis misalnya, dilancarkan pemimpin komunis Uni Soviet, Joseph Stalin, yang mengatakan, “Mereka yang memiliki suara tidak menentukan apa-apa, tapi mereka yang menghitung suara menentukan segalanya.”
Tanpa harus sinis pada ideologi sang pengkritik, kita mestinya mafhum dengan jujur, kebenaran yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Bahkan seorang pemimpin muda, dari Prancis, Emmanuel Macron hampir seperti putus asa menilai situasi perpolitikan masa kini di Eropa, “Ketika (para politikus) melihat politik bukan lagi sebagai sebuah misi, melainkan sebagai profesi, para politikus (itu) akan jauh lebih mementingkan diri sendiri ketimbang melayani rakyat mereka.”
Gambaran kenyataan politik yang berkembang hingga masa belakangan di atas tidak terlalu sulit untuk mencari padanan atau representasinya dalam kehidupan politik lokal di negeri ini. Terutama dalam periode menjelang pemilihan (legislatif dan eksekutif) dengan kontestasi di antara para calon menciptakan ingar-bingar, yang bukan hanya memenuhi ruang-ruang publik di pelbagai jenis media, melainkan juga ruang-ruang pikiran, perasaan, hingga batin masyarakat. Berkualitas yang senang maupun emoh sama sekali untuk terlibat.
Tak perlu banyak mengulang contoh yang bahkan anak sekolah dasar pun tahu serta maklum. Berbagai bentuk lisan, tulisan, meme, video, hingga simbol-simbol visual, audio, dan literal diproduksi besar-besaran oleh semua pihak yang berkontestasi. Lebih untuk menjatuhkan lawan sebagai strategi menciptakan keunggulan diri, bukan justru sebaliknya memperlihatkan keunggulan diri untuk menekan posisi yang dianggap unggul oleh lawan.
Dengan cara berpolitik atau berkontestasi semacam itu, wajarlah jika kemudian bermunculan beraneka ‘peluru’ untuk membombardir posisi lawan agar sang lawan sibuk mempertahankan diri. Sibuk berkelit sehingga lupa menyusun kekuatan untuk menyerang. Peluru itu pun sesungguhnya banyak yang kosong. Bahkan bisa dikatakan tidak cocok dengan selongsong senapan politik.
Tapi siapa peduli, apa pun yang bisa digunakan dijadikan peluru: tomat, singkong, orang cacat, sampah di jalan raya, hutan terbakar, hingga angin semilir. Lempar semua seperti peluru biar lawan merasa tidak habis-habisnya diserbu. Masyarakat pun sibuk komentar, tak peduli serangan atau serbuan itu mematikan atau sekadar lucu-lucuan. Tak peduli apakah peluru itu tepat sasaran atau tidak punya sasaran. Bahkan mungkin berbalik sasaran ke arah penembaknya sendiri. Yang penting kisruh, ricuh, kacau; kalau bisa, chaos.
Karena dengan ciptaan-keadaan semacam itu, publik akan mengalami disorientasi, mencuatkan kegelisahan juga kecemasan pada hal-hal yang negatif dan destruktif. Inilah yang diarah karena publik yang terkondisikan demikian pasti akan mudah dikondisikan: untuk dialihkan orientasi hingga dialihkan pilihan-pilihannya. Kepada dipelintir akal sehatnya ke arah cara berpikir yang sesuai dengan sang aktor (pembuat kondisi), yang justru menamakan dirinya: ‘akal sehat’.
Negarawan yang tiada
Inilah mungkin tragik dari situasi politik kita, di Indonesia, hari ini. Dalam masa perdebatan, khususnya di antara pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden yang ada saat ini. Perdebatan yang umumnya dianggap para ahli tidak memberikan ‘hal baru’, dalam arti gagasan yang orisinal, segar dan up to date untuk mengatasi pelbagai problematik kebangsaan dan kenegaraan yang kian kompleks.
Solusi-solusi adekuat dan komprehensif yang membuat para pendengar, konstituen dan rakyat pada umumnya bisa merasa yakin bahwa bangsa ini bisa melangkah tegap menuju era kejayaannya. Meraih posisi ke-4 dunia dalam soal PDB (bukan kesejahteraan atau pemerataan), sebagaimana diramal dengan penuh nafsu (juga tipu) oleh Pricewater House, lembaga ternama dunia itu.
Memang seperti kata Napoleon Bonaparte, “Kebodohan bukanlah satu halangan (handicap) dalam dunia politik.” Sebagaimana terlihat dari banyak ungkapan, serangan-tangkisan, isu, hingga retorika yang dilepas tiap kubu paslon.
Apakah kemudian kita sudah tidak lagi memiliki kecerdasan, hingga apa yang dinyatakan para pemimpin besar dunia itu mendapatkan kenyataan sahihnya di negeri kita, negeri yang konon memiliki sejarah besar, kebudayaan dan peradaban besar?
Padahal, dengan realitas kontemporer seperti terkutip di awal tulisan ini, kecerdasan saja tidak cukup. Dibutuhkan kapasitas juga kapabilitas yang beyond untuk layak menjadi pemimpin. Apalagi presiden (yang merangkap kepala pemerintahan dan kepala negara) bagi negeri 267 juta jiwa ini.
Paslon yang tidak hanya mampu mengoperasikan ocehan sebatas kasus-kasus kecil dan murahan, yang bahkan publik pun sudah muak mendengarnya. Paslon yang tidak cuma bisa memproduksi ujaran-ujaran kasar, serangan-serangan personal yang memalukan. Atau program-program pragmatis bahkan oportunis hanya untuk mempertebal portofolio kinerjanya, ketimbang ketebalan folio dari keberdayaan rakyat dan bangsanya.
Seorang pemimpin–bagi negeri ini–harus berhenti menjadi politikus, yang cengeng, romantik bahkan melodramatik dan gagap menangkap hikmah atau substansi dari keruwetan masalah kontemporer lalu terjebak dalam retorika picisan. Retorika yang bukannya memberi bahasa yang indah dan penuh nuansa pada kebenaran, tetapi sekadar silat kata memelintir diksi dan istilah bahkan akal sehat untuk mengelabui atau memanipulasi daya pikir publik.
Pemimpin yang bukan sekadar politikus, yang lebih memikir masa depan bukan masa kini, yang dapat menangkap kebenaran dan kebaikan dari begitu banyak masalah, memberinya bahasa yang sederhana agar mudah dipahami. Lewat dari situ ditambahkannya kearifan (wisdom) dan bukan sentimen agar kebenaran-kebaikan itu bisa meruang-waktu mengambil tempat universalnya.
Tempat–dengan kecerdasan di atas rata-rata (yang memang wajib dimiliki)–ia akan menjadi solusi luar biasa bila ia diberi konteks dengan pada kenyataan geopolitik, geoekonomi, dsb. Di akhir level ketiga itulah, politikus mati, dan lahirlah negarawan.
Tetapi, memang, sudah sejak lama, sosok terakhir di atas, hilang dari muka bumi Indonesia. Bukan cuma langka, tapi astagfirullah ternyata memang tak ada. Bila banyak masyarakat apatis, tentu wajar terjadi. Tetapi, betapa pun Anda, masyarakat, tidak peduli politik, jangan beranggapan politik tidak tertarik pada Anda. Dengan berbagai cara Anda akan dirayunya, diseretnya, dibawa ke dalam pusarannya hingga tenggelam dan tak mampu keluar darinya.
Dalam situasi seperti itu, ingat kita pada John F Kennedy yang pernah berkata, “Jangan cari jawaban pada kandidat A atau jawaban dari kandidat B, tapi carilah jawaban yang benar.” Jawaban benar itu tidaklah rumit, apalagi tricky. Ia indah karena keluar dari pikiran jernih dan hati yang bersih, dari seorang negarawan. Tapi, siapa?