Saga Djokovic

PUPUS sudah ambisi Novak Djokovic Kepada unjuk gigi Tengah di Australia Terbuka 2022. Bukan karena cedera, dia Batal tampil karena pemerintah Australia menolaknya.

Djokovic boleh saja luar Normal hebat di lapangan tenis. Dia ialah satu dari the Big Three, tiga petenis putra paling digdaya di jagat raya. Sama dengan Rafael Nadal dan Roger Federer, dia telah mengoleksi 20 gelar grandslam. Raihan yang fantastis, sangat fantastis.

Australia Terbuka kali ini pun menjadi Kesempatan terbaik bagi Djokovic Kepada mengukuhkan diri sebagai yang paling hebat di antara yang terhebat. Kansnya sebagai pemain putra pertama yang menyabet 21 trofi grandslam terbuka lebar. Dia ialah petenis nomor satu dunia sekaligus unggulan pertama. Salah satu rivalnya, Federer, juga absen karena Konsentrasi memulihkan cedera.

Djokovic boleh jadi Mahluk istimewa. Di negaranya, Serbia, dia dijuluki Sang Raja, Nole Sang Raja. Tetapi, bagi pemerintah Australia, ‘sang raja’ tak beda dengan Mahluk lainnya. Karena dianggap melanggar aturan, Djokovic tak berhak mendapatkan visa. Dia harus absen dari Australia Terbuka meski sejak awal tahun ini telah berada di Australia. Namanya bahkan sudah masuk daftar undian.

Australia Border Force (ABF) menyatakan Djokovic tak memenuhi syarat masuk Australia. Dia ditahan setibanya di Bandara Tullamarine, Melbourne. Dia ketahuan belum vaksin covid-19 secara penuh. Djokovic berusaha membela diri. Dia mengaku Mempunyai izin medis Spesifik yang diberikan penyelenggara Australia Terbuka 2022, lantaran sempat terinfeksi covid-19 pada Desember 2021. Tetapi, ABF mengabaikan hal itu dan ‘menjebloskan’ Djokovic ke hotel karantina.

Cek Artikel:  Formula E bukan Moto-GP

Tak puas, Djokovic melakukan banding dan menang. Pengadilan meminta ABF mengeluarkan dia dari karantina serta mengembalikan paspornya. Selesai? Bukan. Pemerintah Australia bergeming. Menteri Imigrasi Alex Hawke bertindak. Dia menggunakan wewenang yang dimiliki Kepada membatalkan keputusan pengadilan sekaligus mencabut visa Djokovic.

“Hari ini saya menggunakan kekuasaan saya berdasarkan Pasal 133C (3) Undang-Undang Migrasi Kepada membatalkan visa yang dipegang Tuan Novak Djokovic dengan Dalih kesehatan dan ketertiban, atas dasar kepentingan Standar Kepada melakukannya,” tegas Hawke, Jumat (14/1).

Djokovic tak menyerah jua. Dia banding Tengah. Akan tetapi, kali ini hakim tak berpihak. Dalam putusan, Minggu (16/1), upaya banding itu ditolak. Dia harus dideportasi.

Di ajang Australia Terbuka, Djokovic boleh saja tiada tanding. Sudah sembilan kali dia berjaya di sana. Tetapi, mengadapi kegigihan pemerintah Australia menegakkan aturan, dia harus bertekuk Dengkul.

Cek Artikel:  Banyak Mafia di Rumahku

Demi kesehatan dan ketertiban. Atas dasar kepentingan Standar. Itulah Dalih pemerintah Australia. Lugas dan tegas. Bagi mereka, keselamatan publik hukum tertinggi yang mesti dijunjung tinggi. Terpenting, hukum itu berlaku Kepada Sekalian tanpa terkecuali.

Bagi penggemar tenis, apalagi pemuja Djokovic, tindakan Hawke yang didukung penuh PM Australia Scott Morrison Terang menyebalkan. Bagi panpel Australia Terbuka, absennya Djokovic mengurangi kadar kebintangan kejuaraan yang cikal bakalnya dimulai sejak 1905 itu. Tetapi, di Australia, keselamatan publik mengalahkan segalanya.

Saga Djokovic bukan sekadar pernak-pernik di dunia olahraga. Ia sejatinya Mimbar pembelajaran bagaimana semestinya mengelola negara.

Pembelajaran itu pernah pula ditunjukkan Singapura ketika mengharuskan bek naturalisasi Indonesia, Elkan Baggott, karantina. Penyebabnya, Terdapat satu penumpang di pesawat yang ditumpangi dari London positif covid-19. Baggott pun absen kala Garuda menghadapi Vietnam di Piala AFF.

Ribuan tahun silam, Guang Zhong, filsuf Tiongkok di masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM), menekankan betapa pentingnya Sekalian orang menaati hukum dan mendapat perlakuan sama di mata hukum. Kata dia, ”Negara akan menjadi tatanan yang besar Apabila raja dan rakyat mematuhi hukum, Bukan Acuh seberapa besar dan kecilnya mereka.”

Istilah kerennya sekarang ialah equality before the law. Bukan Acuh orang Normal atau yang dianggap luar Normal, dia harus Taat pada hukum. Tak Acuh rakyat jelata, orang berpunya, atau penguasa, mereka harus diperlakukan sama di depan hukum.

Cek Artikel:  Copypaste Jokowi

Konsep ideal itu juga kita miliki. Di tengah amuk korona, kita pun menganut prinsip bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Serupa yang dipunyai Australia atau Singapura. Bedanya diimplementasi.

Lagi ingat bagaimana seorang Personil DPR dibiarkan menolak menjalani karantina sepulang dari mancanegara? Lagi ingat bagaimana Personil dewan dipersilakan melakukan karantina di rumah saja setelah bertandang ke Turki Berbarengan keluarga? Lagi ingat bagaimana seorang selegram kabur dari karantina dengan menyuap, yang bahkan petugas penerima suap Lagi melenggang hingga sekarang?

Itu beberapa Teladan betapa hukum bagi tegaknya tatanan besar di Republik ini Lagi Dapat ditaklukkan dengan kekuasaan atau Fulus. Mereka yang punya kuasa atau yang kaya raya Dapat mendapat perlakuan istimewa, bahkan ketika negara dalam bencana.

Di sini, equality before the law tak selamanya sakral. Salus populi suprema lex esto kerap hanya sebatas teori. Di negeri ini, kisah semacam saga Djokovic tersaji dengan alur yang berbeda.

Mungkin Anda Menyukai