Meninjau Program Capres soal Pangan, Infrastruktur, dan Kekuatan

Meninjau Program Capres soal Pangan, Infrastruktur, dan Energi
(MI/Seno)

PEMILIHAN umum (Pemilu) 2019 banyak diwarnai dengan diskusi dalam isu-isu ekonomi baik di media masa maupun media sosial.

Pihak petahana terus memberikan informasi mengenai keberhasilan dalam berbagai aspek ekonomi, sementara pihak oposisi cenderung mengangkat berbagai permasalahan atau kegagalan petahana.

Hal ini ternyata memang tecermin juga di dalam perilaku pemilih. Survei CSIS (2018) yang melibatkan 5.000 responden di lima provinsi besar menunjukkan bahwa tiga permasalahan utama yang dijadikan dasar untuk memilih calon presiden (Capres) ialah isu ekonomi; stabilitas harga, lapangan pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Responden yang mengatakan kondisi perekonomian lebih baik akan tiga kali lebih mungkin untuk memilih kembali Presiden Jokowi ketimbang memilih calon lain.

Kagak mengherankan jika debat calon presiden kemarin malam dalam bidang pangan, infrastruktur, energi, dan sumber daya alam banyak menarik perhatian. Mari kita coba ulas beberapa hal yang terkait dalam berbagai bidang tersebut.

 

Isu pangan

Dalam visi-misi dan programnya, capres 01 menekankan stabilitas harga pangan walaupun tidak berarti bahwa harga akan ditekan menjadi murah. Agak berbeda dengan Pilpres 2014, capres 01 cenderung untuk lebih realistis. Impor pangan, yang sebelumnya sempat diharamkan, dipandang sebagai salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga meskipun tetap memandang impor sebagai hal yang harus dihindari.

Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan capres 02 sering memberikan kritik tajam atas kebijakan impor beras dan kegagalan swasembada pangan yang dilakukan oleh pemerintah. Impor pangan dianggap merugikan petani karena membuat harga pangan menjadi turun dan merugikan petani. Akan tetapi, dalam visi-misi dan juga dalam debat kemarin, Prabowo juga menekankan keterjangkauan harga. Kagak terlalu jelas bagaimana strategi untuk mempertahankan harga yang cukup tinggi bagi petani tapi juga terjangkau oleh konsumen.

Pembangunan sektor pertanian dan peningkatan produksi pangan memang merupakan hal penting. Tetapi, tidaklah tepat jika pembangunan sektor tersebut ditujukan memenuhi kebutuhan untuk setiap komoditas pangan, apalagi jika indikatornya ialah keberhasilan untuk tidak melakukan impor.

David Dawe dalam Geographic Determinants of Rice Self Sufficiency in Southeast Asia

(FAO 2013) memperlihatkan bahwa dalam periode 100 tahun sejak 1904, Indonesia hanya tidak melakukan impor beras selama beberapa tahun saja: di 1984 ketika Indonesia berhasil melakukan swasembada dan di zaman pendudukan Jepang. Dawe juga menunjukan bahwa ini lebih disebabkan rendahnya lahan pertanian yang digunakan untuk menanam beras, mengingat produk pertanian ini membutuhkan banyak air dan daya upaya pertanian yang tinggi. Banyak petani Indonesia memilih untuk menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan dan memerlukan lebih sedikit perhatian, seperti hortikultur ataupun tanaman keras seperti kopi atau kakao.

Dengan menekankan pada penurunan impor pangan, Indonesia akan berisiko mengalami kekurangan pangan yang menyebabkan tingginya harga. Harga beras Indonesia saat ini lebih tinggi 80% dari harga internasional, begitu pula dengan harga beberapa komoditas lainnya. Ini tentunya akan menambah beban masyarakat, terutama terkait dengan kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan setiap kenaikan harga beras sebesar 10% jumlah orang miskin bertambah 1,2 juta orang.

Swasembada perlu dilihat dalam paradigma yang lebih luas di mana Indonesia mampu menghasilkan jumlah pangan yang cukup secara total, bukan untuk setiap komoditas. Indonesia perlu memilih spesialisasi produk pertanian yang cocok dan menguntungkan, serta mengimpor komoditas yang kurang cocok dihasilkan di negara ini. Luas lahan pertanian Indonesia sangat terbatas, di bawah luas lahan pertanian di Thailand jika dibagi per kapita. Kalau Indonesia ingin melakukan swasembada untuk semua produk pangan, tidak akan tersedia lahan pertanian yang cukup di negara ini. Petani juga akan kehilangan kesempatan untuk memproduksi komoditas yang lebih menguntungkan.

 

Isu infrastruktur

Infrastruktur menjadi isu andalan kedua capres. Petahana menganggap ini sebagai kesuksesan pemerintahan saat ini. Sementara meskipun mengakui pembangunan yang sudah dijalankan, capres 02 berkali-kali menekankan bahwa banyak proyek infrastruktur saat ini dianggap tidak layak atau bahkan merugikan negara dan perlu dievaluasi. Hanya saja, belum ada kejelasan mengenai penjabaran bagaimana evaluasi tersebut akan dilakukan dan apakah memungkinkan untuk menghentikan pembangunan yang sedang berjalan.

Capres 01 menekankan kelanjutan pembangunan infrastruktur yang sudah ada, terutama infrastruktur perkotaan serta infrastruktur yang berbasis digital. Di samping itu, pembangunan infrastruktur akan diintegrasikan dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri dalam upaya peningkatan daya saing serta dalam menunjang pengembangan UMKM. Selain janji untuk melakukan evaluasi proyek infrastruktur, capres 02 juga menjanjikan adanya terobosan baru dalam skema pembiayaan infrastruktur yang mengurangi beban negara dengan mengurangi utang negara.

Kagak dapat dimungkiri infrastruktur masih menjadi faktor yang menghambat pembangunan ekonomi Indonesia. Ketika ini untuk setiap rupiah yang dihasilkan perekonomian Indonesia membutuhkan penanaman modal sekitar Rp6,5 disebabkan kurangnya infrastruktur berkualitas, jauh lebih tinggi daripada rata-rata Rp4,5–Rp5 di negara-negara tetangga. Pada 2005–2014 jaringan jalan nasional hanya tumbuh sekitar 1,4% per tahunnya jika dibandingkan dengan kebutuhan yang mencapai 9%. Ketersediaan listrik juga masih menjadi penghambat investasi dan produksi.

Selama 4 tahun belakangan situasi telah mengalami banyak perkembangan. Jaringan jalan telah berkembang mencapai lebih dari 12% selama empat tahun ini meskipun masih jauh dari tingginya kebutuhan. Konsumsi listrik per kapita telah naik sebanyak 16% meskipun masih jauh lebih rendah daripada konsumsi di banyak negara ASEAN lain.

Pembiayaan pembangunan infrastruktur masih menjadi masalah besar. Pemerintah telah berusaha untuk mengundang partisipasi swasta yang lebih besar. Akan tetapi, swasta hanya akan mau terlibat jika proyek yang dijalankan memberikan keuntungan bisnis dan finansial. Sementara banyak politisi dan pengambil kebijakan menganggap keuntungan bisnis tidak beriringan dengan manfaat bagi masyarakat, bahkan dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Ini tentu saja akan mengurangi kepercayaan swasta untuk turut dalam pembangunan infrastruktur.

 

Isu energi dan lingkungan

Dalam bidang energi, capres 01 menekankan kelanjutan program biodiesel dengan meningkatkan program B20 saat ini hingga menjadi B30 bahkan mencapai B50 walaupun target saat ini belum juga dapat dipenuhi. Kekuatan baru dan terbarukan menjadi andalan dari kedua calon. Capres 02 bahkan menjanjikan Indonesia menjadi produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia. Ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar minyak yang impornya terus meningkat.

Berbeda dengan anggapan umum, sebenarnya lahan pertanian yang tersedia tidaklah banyak. Hanya sekitar seperempat luas Indonesia yang dapat menjadi lahan pertanian. Ambisi untuk menjadi produsen bahan bakar nabati besar akan membawa risiko kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan baru. Belum lagi bahan bakar yang berasal dari tanaman tentunya akan mengurangi pasokan untuk makanan.

Pengembangan EBT memerlukan investasi besar dan biaya tinggi jika dibandingkan dengan energi fosil yang harganya murah. Buat itu, pemerintah perlu memberikan berbagai kemudahan dalam investasi EBT bahkan juga dengan memberikan insentif. Meskipun Undang-Undang Kekuatan tahun 2007 mengamanatkan pemberian fasilitasi dan insentif tersebut, saat ini skema yang tersedia masih terbatas dan tidak dapat mengundang investasi.

Ini bukan berarti kita meninggalkan pengembangan sektor migas. Selama beberapa belas tahun terakhir, Indonesia termasuk 10 negara yang dianggap memiliki iklim investasi terburuk menurut Fraser Institute. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tampaknya investor dalam bidang migas masih belum nyaman untuk memulai usaha di Indonesia. Produksi minyak Indonesia masih terus mengalami penurunan.

Ketika ini lifting

minyak Indonesia hanya 760 ribu barel per hari, dan terus mengalami penurunan. Ini akibat tidak adanya investasi yang cukup signifikan. Keinginan untuk meperkuat sektor energi sebaiknya tidak disertai dengan sentimen nasionalisme sempit. Beberapa blok minyak yang diakuisisi dari operator asing ternyata mengalami penurunan produksi, berbeda dengan harapan bahwa ketika dioperasikan oleh Pertamina akan meningkatkan ketersediaan dan keuntungan bagi negara. Investasi asing dalam bidang migas masih diperlukan. Hanya konsistensi kebijakan yang dapat meningkatkan kepercayaan investor dan memperbaiki kembali produksi migas Indonesia.

 

Penutup

Meningkatnya perhatian terhadap permasalahan ekonomi tentunya merupakan kabar baik. Pemilih diharapkan akan mendasarkan pilihannya atas faktor yang lebih rasional. Ini tentunya harus diikuti dengan pemberian informasi dan data yang akurat. Program ekonomi juga harus didasarkan atas pertimbangan ekonomi bukan hanya slogan dan retorika belaka.

Cek Artikel:  Ketimpangan di Indonesia Maksud dan Solusi Mengatasinya

Mungkin Anda Menyukai