Turun Kelas akibat Pajak Naik

PAJAK pertambahan nilai (PPN) yang saat ini sebesar 11% bakal naik jadi 12% mulai 1 Januari tahun depan. Penaikan itu merupakan amanat UU No 7/2021 tentang Serasisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pasal 7 beleid tersebut menetapkan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dari sebelumnya 10%. Kemudian, naik lagi 1% menjadi 12% mulai 2025.

UU yang dibuat di masa pandemi covid-19 itu menutup episode PPN 10% yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya, tepatnya sejak UU No 8/1983 mulai berlaku. Dalam UU itu, besaran tarif PPN ditetapkan maksimal 10%.

Dengan demikian, pemerintahan Joko Widodo ialah rezim pertama yang berani menaikkan PPN sejak era Orde Baru. Tarif baru itu pula yang akan dijalankan pemerintahan yang baru nanti.

Kalau ekonomi dalam situasi normal, sah-sah saja tentunya pemerintah ingin menambah pendapatan negara dengan menaikkan tarif pajak. Tetapi, akan terjadi sebaliknya jika ekonomi tengah tertekan seperti saat ini, kebijakan itu justru akan mencekik leher masyarakat.

Cek Artikel:  Jangan Loloskan Calon Titipan

Leher masyarakat kian tercekik karena daya beli sejatinya belum sepenuhnya pulih setelah dihantam pagebluk covid-19. Ditambah lagi dengan harga bahan pangan yang saat ini masih sulit dikendalikan karena inflasi terus merangkak naik sejak awal tahun.

Karena itu, rencana pemerintah menaikkan tarif pajak menjadi 12% pada 2025 menjadi momok baru bagi masyarakat.

Memang penerapan aturan itu masih lama, masih delapan bulan lagi. Tetapi, jika melihat situasi ekonomi tahun ini yang semoga tak banyak berubah ketimbang pada 2023 akibat perlambatan global, tarif baru itu jelas memberatkan. Pasalnya, dalam beberapa bulan ke depan dapat dipastikan tak ada penambahan aktivitas ekonomi yang bakal mendongkrak pendapatan masyarakat.

Secara nominal, penaikannya memang kecil, hanya naik 1%. Tetapi, jangan lupa, penaikan itu dilakukan di tengah pendapatan masyarakat yang cenderung tetap. Bahkan, jika ditambah dengan besaran inflasi, pendapatan masyarakat makin berkurang kemampuan daya beli mereka.

Cek Artikel:  Mengembalikan Daya Melawan Korupsi

Ambil contoh gampangnya. Demi ini, dengan uang Rp1 juta dan PPN 11%, seseorang dapat membeli sembilan barang seharga Rp100 ribu, dengan total PPN Rp99 ribu. Tetapi, dengan PPN baru 12% pada tahun depan, uang Rp1 juta hanya dapat dibelanjakan untuk delapan barang agar uangnya cukup. Kalau tetap ingin sembilan barang, ya, siap-siap saja tombok.

Penaikan tarif PPN menjadi 12% dapat didukung jika hasilnya untuk belanja sosial yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi ketimpangan. Kalau daya beli masyarakat naik, akan mendorong dunia usaha meningkatkan kapasitas produksi mereka.

Tetapi, jika penaikan PPN bertujuan membiayai kebijakan yang tidak terkait dengan peningkatan daya beli dan kesejahteraan rakyat, kondisi ekonomi dipastikan akan semakin sulit. Daya beli masyarakat menengah-atas yang selama ini jadi penopang perekonomian bisa turun. Mereka akan memilih menahan belanja untuk mengantisipasi dampak kebijakan PPN itu dan akhirnya dunia usaha juga yang akan tertekan.

Cek Artikel:  Demokrasi Anak Presiden

Golongan yang paling berat merasakan dampak penaikan tarif PPN itu ialah menengah-bawah. Berpenghasilan Rp4 juta-Rp5 juta per bulan, kelompok itu akan mengalami pelemahan daya beli.

Berbeda dengan kelompok bawah atau masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan bantuan sosial (bansos) pemerintah, kelompok menengah-bawah tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk mengakomodasi kenaikan inflasi. Kalau kelompok itu tidak mendapatkan perhatian, ada kemungkinan kelompok itu banyak yang bakal turun kelas ke kelompok miskin.

Ketimbang mengeluarkan kebijakan yang bisa memiskinkan rakyat, pemerintah lebih baik mencari cara lain untuk bisa meningkatkan penerimaan negara. Bisa dengan memacu kepatuhan pembayaran PPN yang saat ini hanya sekitar 65%.

Memajukan pajak mestinya jadi solusi akhir ketika pemerintah sudah tak mampu lagi mencari dari sumber lain. Itu sekaligus menunjukkan pemerintah memang tak punya ide kreatif mencari pendapatan negara, selain dengan mengikatkan tali ke leher rakyat mereka.

Mungkin Anda Menyukai