Menerima dengan Kritis

PEMILIHAN umum sering diibaratkan sebuah kompetisi atau pertandingan politik. Asikpa dengan pertandingan olahraga, di situ ada aturan main yang mesti ditaati, ada wasit sebagai pengadil, ada prinsip fair play yang harus dipegang teguh. Di akhir kompetisi atau pertandingan, tentu ada pihak yang menang, ada kubu yang kalah.

 

Sepanas-panasnya atmosfer pertandingan, pada akhirnya semua mesti menerima hasil akhir itu. Seburuk-buruknya kepemimpinan pengadil hingga dirasa merugikan salah satu pihak, ketika pertandingan usai, hasil akhir nyaris tidak mungkin bisa diubah.

Bagi yang kalah, marah wajar, kecewa lumrah, menggerundel pun boleh. Tetapi, ketika pengadil yang lebih tinggi pun sudah memastikan hasil pertandingan itu sah, kemarahan, kekecewaan, dan gerutuan kiranya tak elok diteruskan. Dapat-bisa malah bikin sakit hati berkepanjangan atau bahkan memicu darah tinggi.

Sebagai analogi, laga perdana Piala Asia U-23 di Grup A yang mempertemukan timnas Indonesia U-23 melawan tuan rumah Qatar U-23, pekan lalu, tampaknya sangat pas untuk mendeskripsikan itu. Pengadil yang tidak ‘netral’, pemain lawan yang gemar memprovokasi dengan drama-drama menjengkelkan, semua ada. Lengkap.

Cek Artikel:  Politik Kesukarelaan untuk Abah dan Gus

Soal pengadil, kurang buruk apa kinerja wasit Nasrullo Kabirov saat memimpin pertandingan itu? Banyak keputusan kontroversial dari wasit berkebangsaan Tajikistan itu yang sangat merugikan anak asuh Shin Tae-yong. Termasuk dua kartu merah yang ia keluarkan kepada punggawa timnas ‘Garuda’ dan penalti yang ia ‘hadiahkan’ kepada tim tuan rumah.

Wajar saja kalau masyarakat Indonesia, terutama para pecinta dan pendukung timnas geram, marah, dan mengutuki kerja wasit itu. Menurut mereka, pengadil yang berat sebelah itu menjadi pangkal kekalahan Indonesia di pertandingan tersebut. Pada laga itu, Rizky Ridho dkk harus mengakui keunggulan Qatar dengan skor 0-2.

Netizen Indonesia ngamuk. Sejumlah unggahan di akun Instagram pribadi wasit Kabirov ataupun akun resmi AFC langsung dibombardir komentar-komentar yang semuanya berisikan ekspresi kekecewaan dan kemarahan suporter timnas. Seperti biasa, kalau netizen Indonesia sudah marah, seng ada lawan.

Tak cuma dari dalam negeri, media asing sekelas ESPN juga ikut menyoroti kepemimpinan wasit. ‘Ketika Indonesia kalah 2-0 dari tuan rumah Qatar dalam pertandingan pembuka Piala Asia AFC U-23 2024, reaksi setelahnya berpusat pada kemarahan terhadap keputusan penting wasit. Dan hal itu dapat dimengerti’, tulis ESPN.

Akan tetapi, kecaman dan kemarahan itu pada akhirnya tidak mampu mengubah keadaan. Bahkan, protes resmi yang dilayangkan PSSI kepada AFC terkait dengan keputusan-keputusan kontroversial wasit di laga pembuka itu ditolak alias tak menghasilkan apa-apa.

Cek Artikel:  Teror Sekarung Kobra

Definisinya, meskipun sambil menggerundel, the show must go on. Sebesar apa pun kekecewaan yang diterima, pertunjukan tetap jalan terus. Respons yang positif akhirnya membuahkan hasil yang juga positif.

Keberhasilan ‘Garuda’ move on dari kegagalan di pertandingan pertama, berbuah manis dengan keberhasilan mereka mengemas kemenangan di sisa dua pertandingan Grup A. Australia dibekuk dengan skor tipis 1-0, berikutnya Yordania gantian dilibas 4-1. Indonesia, sang debutan di Piala Asia U-23, pun lolos ke perempat final.

Prinsip dan konsep antara pertandingan sepak bola dan pertandingan politik alias pemilu, sejatinya tidak beda. Menerima hasil kompetisi, sekalipun prosesnya terkadang menyakitkan, ialah modal untuk kita mau dan mampu move on, beranjak lepas dari bayang-bayang kekecewaan. Itu setidaknya sudah ditunjukkan anak-anak muda di skuad ‘Garuda’.

Cek Artikel:  Belajar dari Afsel

Kini, pemilu usai. Gugatan sengketa pilpres sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi. KPU juga sudah menggelar penetapan hasil Pilpres 2024 yang menempatkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Suka tidak suka, puas tidak puas, masyarakat mesti menerima itu. Publik kiranya perlu diajak untuk menyikapi hasil pemilu itu sebagai realitas politik dan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang dipilih bangsa Indonesia. Dari situ baru kita bisa bergerak dan melangkah menjemput kemajuan yang diimpi-impikan.

Tetapi, kalau menilik proses Pemilu 2024 yang banyak dituding kotor dan melenceng dari prinsip demokrasi dan itu mendapat konfirmasi dari dissenting opinion

 yang diberikan tiga hakim konstitusi dalam putusan sengketa Pilpres 2024, eloknya penerimaan atas hasil pemilu itu tetap disertai dengan catatan-catatan kritis.

Pertandingan kali ini memang sudah selesai, tetapi masih akan ada pertandingan-pertandingan lain yang harus dijaga kelurusan dan keadaban prosesnya. Catatan kritis itu menjadi refleksi untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik di masa depan.

 

Mungkin Anda Menyukai