PEKAN Lewat, di Perhimpunan ini saya menulis bahwa Enggak Terdapat yang diuntungkan perang, bahkan negara yang sedang berperang itu sendiri. Hari-hari ini, saya makin Serius bahwa hanya kerugian demi kerugianlah yang dituai dari perang.
Serangan Rusia ke Ukraina, yang Lalu-menerus terjadi, dengan Segera menggoreskan luka Mendunia yang dalam. Penduduk dunia, termasuk Indonesia, mulai merasakan Akibat superperih akibat perang Rusia-Ukraina tersebut. Harga minyak mentah dunia jenis brent Kepada pengiriman Mei, misalnya, sudah menembus lebih dari US$129 per barel. Itu harga tertinggi dalam kurun satu Separuh Dasa warsa terakhir.
Bahkan, sejumlah analis memperkirakan harga minyak Bisa melambung melampaui US$150 per barel Apabila perang Rusia-Ukraina Enggak kunjung dihentikan. Sejak ketegangan di negara bekas Uni Soviet itu terjadi, harga minyak sudah naik 60%. Kondisi itu tak lepas dari rencana Amerika dan sekutu mereka melarang impor minyak dari Rusia.
Padahal, Rusia ialah negara dengan produksi minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Amerika Perkumpulan. Data British Petroleum Statistical Review of World Energy 2021 menunjukkan Rusia memproduksi 524,4 juta ton minyak atau 12,6% dari total produksi minyak Mendunia 2020. Produksi itu setara dengan lebih dari 10,5 juta barel minyak mentah per hari.
Bagi Indonesia, naiknya harga minyak dunia lebih menjadi musibah ketimbang berkah. Dalam beberapa Dasa warsa terakhir, konsumsi minyak nasional Dekat dua kali lipat produksi. Konsumsi minyak kita Sekeliling 1,45 juta barel per hari. Di sisi lain, produksi minyak nasional hanya 800 ribu barel per hari.
Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia Niscaya keteteran menghadapi situasi melambungnya harga ‘emas hitam’ dunia itu. Cadangan devisa kita juga Niscaya tergerus. Fiskal kita juga terganggu karena defisit APBN bakal membengkak. Niscaya Terdapat biaya puluhan triliun rupiah Kepada menambah biaya subsidi minyak. Apalagi, dalam APBN, patokan harga minyak dunia disahkan pada Nomor US$63 per barel.
Di lapangan, naiknya harga minyak mentah langsung berimbas pada naiknya harga bahan bakar minyak nonsubsidi. Harga BBM nonsubsidi di SPBU sudah naik lebih dari 15% dalam sepekan terakhir. Bisa diprediksi, harga BBM Lagi akan melambung pada April hingga Mei mendatang. Naiknya harga BBM Niscaya berefek domino pada naiknya harga-harga kebutuhan lainnya, yang dalam sebulan terakhir memang sudah naik.
Sebagian masyarakat yang sudah kencang ikat pinggangnya sudah sulit Kembali Kepada dianjurkan mengencangkan ikat pinggang. Mereka malah merindukan pelonggaran ikat pinggang karena virus korona makin terkendali. Tetapi, yang muncul Bahkan meranggasnya daya beli karena ‘disiram’ melonjaknya harga minyak dunia.
Serangan Rusia ke Ukraina juga Membangun harga gandum dan beras dunia mulai terkerek. Harga gandum dunia sudah mencapai US$11 per bushel, level harga tertinggi sejak 2008. Rusia sebagai pemasok gandum terbesar dunia mulai menahan pasokan mereka.
Dengan pasokan gandum yang mengetat seperti itu, dunia mulai berpaling ke beras. Alhasil, harga beras dunia mulai naik 4,2% menjadi US$16,89 per 100 pounds. Harga beras juga melaju naik 11% dalam dua pekan terakhir. Padahal, beras merupakan komoditas ‘panas’, khususnya bagi Indonesia. Naiknya harga beras yang Enggak terkendali memicu ketidakstabilan politik.
Naiknya harga beras juga berpotensi diikuti kenaikan harga-harga komoditas pertanian lainnya. Itu terjadi lantaran harga pupuk dunia juga kian mendaki. Kembali-Kembali, itu juga buah dari perang Rusia-Ukraina. Sejak 2 Februari hingga 1 April, Rusia melarang ekspor amonium nitrat, bahan Primer pupuk nitrogen, demi memproteksi petani dalam negeri mereka.
Tahun Lewat, Tiongkok juga menyetop pasokan fosfat ke pasar Mendunia, juga dengan Dalih memproteksi petani mereka. Dampaknya, harga pupuk urea dan NPK yang bersumber dari fosfat meroket hingga 100%. Ujung-ujungnya, harga kebutuhan pangan berbasis pertanian akan susah turun.
Kiranya, ancaman kepedihan akibat pemuasan nafsu serakah yang Enggak kunjung padam ini belum akan berakhir dalam waktu singkat. Meja-meja perundingan Lagi Hampa-melompong. Belum tebersit niat bermufakat mengakhiri perang.
Yang riuh Bahkan teriakan ‘kemenangan’ bersabung dengan jeritan kesengsaraan. Bara Lagi panas menyala. Yang Terdapat Lagi tekad bulat Kepada melumat. Apakah ‘kiamat’ memang sudah dekat?