Elemen Esensial, Strategi, dan Identitas

Faktor Fundamental, Strategi, dan Identitas
Ilustrasi MI(MI/Seno)

BERDASARKAN quick count (QC) SMRC, presiden petahana, Joko Widodo (Jokowi) bersama pasangannya, KH Ma’ruf Amin, diproyeksikan menjadi pemenang Pemilihan Biasa Presiden (Pilpres) 2019. Jokowi memperoleh dukungan suara di kisaran 54,85%, sedangkan pesaingnya Prabowo Subianto–Sandiaga Uno memperoleh sekitar 44,15%. Data QC Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga menunjukkan bahwa Jokowi unggul di 17 hingga 20 provinsi.

Terdapat beberapa catatan penting dari gambaran angka-angka tersebut. Pertama, keunggulan Jokowi memang lebih lebar jika dibandingkan dengan 2014; dari 6% menjadi sekitar 9%–10%. Tetapi, dukungan sekitar 55% tersebut sebetulnya cukup jauh dari ekspektasi jika dibandingkan dengan tingkat kepuasan publik atas kinerja petahana. Sejak akhir 2015, tingkat kepuasan warga terhadap kinerja petahana cukup stabil dan tinggi di kisaran 65%–70%. Apabila dibandingkan dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki tingkat kepuasan publik yang mirip, tapi memperoleh dukungan lebih dari 60% ketika terpilih untuk periode kedua di 2009.

Kedua, secara kualitatif, ada kesan bahwa militansi dan antusiasme pendukung pesaing petahana terlihat sangat tinggi. Kesan itu dapat terlihat di berbagai kampanye terbuka yang dilakukan. Bukan mengherankan kalau kubu penantang terkesan sangat percaya diri dan sering kali menyangkal temuan berbagai survei prapemilu yang masih menemukan keunggulan petahana. Tetapi, hasil akhir menunjukkan tampaknya militansi dan antusiasme tinggi ini tidak cukup untuk memenangkan sang penantang.

Ketiga, meskipun diproyeksikan kalah, penantang berhasil memperluas jumlah provinsi (wilayah) yang dimenangkannya. Prabowo berhasil memperluas keunggulan dari segi jumlah provinsi, yakni 14 hingga 15 provinsi. Di pilpres 2014, Prabowo hanya unggul di 10 provinsi. Di satu sisi, strategi memperluas jangkauan wilayah ini sudah tepat dan cukup berhasil. Tetapi, ini tidak cukup untuk memenangkan penantang karena di sejumlah daerah kunci, petahana berhasil mempertebal kemenangannya jika dibandingkan dengan Pilpres 2014.

Pertanyaan yang penting untuk dijawab dari data versi QC tersebut ialah bagaimana menjelaskannya. Elemen-faktor apa yang menjelaskan keunggulan petahana? Mengapa petahana tidak memiliki keunggulan lebih tinggi seperti diindikasikan tingkat kepuasan publik? Mengapa penantang berhasil memperluas jangkauan wilayah keunggulan, tapi tidak mampu membendung petahana di sejumlah daerah kunci?

Jawaban ringkas atas pertanyaan-pertanyaan itu ialah tiga faktor besar yang saling terkait. Gabungan dari faktor-faktor fundamental, strategi pemenangan (kampanye), dan persoalan politik identitas atau semacamnya, menjadi tiga faktor yang menentukan mengapa hasil pilpres, berdasarkan QC, menunjukkan keunggulan signifikan petahana walaupun jaraknya tidak melebihi 10%.

 

Elemen fundamental

Di pemilu mana pun, di negara demokrasi, bila ada petahana yang kembali berkompetisi untuk periode kedua, para ahli politik menemukan pentingnya faktor fundamental yang memengaruhi pilihan politik warga terhadap petahana atau terhadap penantang. Di Indonesia, setidaknya ada empat faktor yang penting; tingkat kepuasan dan kepercayaan warga terhadap kapasitas kepemimpinan petahana (incumbency effect), ekonomi, stabilitas politik, dan stabilitas keamanan.

Cek Artikel:  Anak-Anak di Tengah Demonstrasi Anarkistis

Selama tiga sampai empat tahun terakhir pemerintahan Jokowi, empat faktor fundamental itu cenderung stabil dan positif. Spesifik untuk ekonomi, evaluasi warga cenderung positif, tetapi terdapat sejumlah catatan di beberapa bagian sehingga evaluasi terhadap faktor ini sering kali bersifat campuran antara positif dan negatif sekaligus.

Di atas sudah disampaikan bahwa evaluasi publik terhadap kinerja petahana cenderung stabil dan tinggi. Sejalan dengan ini, penilaian warga terhadap kapasitas petahana dalam memimpin juga stabil dan tinggi di kisaran 65%–70%. Jadi, faktor kepetahanaan memang cenderung lebih berpihak kepada Jokowi. Karena penilaian umum terhadap kinerja dan kapasitas kepemimpinan petahana, terjemahan elektoralnya ialah kecenderungan pemilih untuk memberinya peluang memegang jabatan selama dua periode. Sebaliknya, bila penilaian umum masyarakat terhadap faktor ini rendah atau negatif, petahana akan sulit memenangi pilpres untuk periode kedua.

Konsistenitas politik juga cenderung terjaga dan stabil paling tidak selama hampir empat tahun terakhir. Setidaknya itulah penilaian umum warga. Berbagai survei prapemilu SMRC menunjukkan kecenderungan ini. Pada survei nasional 5-8 April 2019, sekitar seminggu menjelang pilpres, sekitar 36% warga menilai baik kondisi politik, 21% menilai buruk, dan 39% menilai sedang. Bila penilaian baik dan buruk kita bandingkan, selisih keduanya ialah positif. Definisinya, secara umum penilaian masyarakat terhadap stabilitas politik, cenderung positif. Kecenderungan positif itu terus terjaga sejak Desember 2015.

Kondisi keamanan, jika dibandingkan dengan faktor politik dan ekonomi ialah yang paling positif dalam penilaian warga. Sejak Desember 2015 sampai dengan April 2019, warga yang menilai kondisi keamanan secara positif cenderung stabil di kisaran 55%–60%. Sementara itu, yang menilai negatif atau lebih buruk, cenderung stabil di kisaran 10%–15%. Memang ada beberapa kali penilaian positif ini berada di bawah 50%. Misalnya, pada Mei 2018, evaluasi positif masyarakat anjlok ke kisaran 48%. Elemen penyebab utama tampaknya ialah peristiwa bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya ketika itu. Meskipun demikian, tetap saja penilaian positif pada Mei 2018 itu lebih banyak jika dibandingkan dengan yang menilai negatif. Penilaian positif terhadap keamanan ini juga lebih cenderung menguntungkan petahana, yakni Presiden Jokowi.

Elemen ekonomi tampaknya yang menjadi faktor yang memberikan dampak positif sekaligus negatif kepada petahana. Menurut data BPS, angka inflasi selama 3,5 tahun terakhir selalu rendah di kisaran 3%. Di Indonesia maupun di negara demokrasi pada umumnya, ditemukan hubungan atau korelasi yang sangat erat antara angka inflasi dan positif-negatifnya penilaian terhadap ekonomi. Bila inflasi rendah, penilaian negatif terhadap ekonomi rendah (evaluasi positif). Sebaliknya, bila inflasi tinggi, penilaian negatif terhadap ekonomi juga tinggi (evaluasi negatif). Selanjutnya, penilaian ekonomi yang positif berdampak positif terhadap petahana.

Cek Artikel:  Ke Mana Pemilih Bimbang Berlabuh

Tetapi demikian, bila faktor ekonomi ini dirinci dan dihubungkan dengan kinerja pemerintah dalam berbagai bidang, penilaian menjadi campuran antara yang sangat positif dan kurang positif. Selama empat tahun terakhir, masyarakat menilai pemerintahan Jokowi berhasil dan sangat positif dalam bidang pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan kesehatan yang terjangkau, dan penyediaan layanan pendidikan untuk semua. Ini memberikan efek positif terhadap petahana.

Tetapi, ada sejumlah aspek penting ekonomi yang mengalami penilaian yang kurang positif (rendah), meskipun tidak selalu negatif. Segalanya terkait dengan kehidupan ekonomi sehari-hari warga, yakni soal pengangguran, kemiskinan, dan harga barang-barang kebutuhan pokok (sembako). Bilangan pengangguran secara umum menurut BPS memang di kisaran 5%. Tetapi, untuk angkatan kerja berusia 40 tahun ke bawah, angka pengangguran lebih tinggi jika dibandingkan dnegan angka nasional. Bilangantan kerja di bawah 40 tahun, masih menurut BPS 2018, ada di kisaran hampir 8% yang menganggur, sedangkan yang berusia 30 tahun ke bawah, sekitar 12% menganggur.

Bahkan di angkatan yang lebih muda lagi, di bawah 25 tahun, pengangguran berada di angka sekitar 15%. Demi masalah kemiskinan, meskipun angka resmi kemiskinan menurut sampai satu digit, tetapi masih sekitar 25%-30% warga menilai orang miskin di sekitar mereka masih banyak. Terhadap harga sembako, di kisaran 25%-30% warga menilainya kurang atau tidak terjangkau.

Dengan kata lain, penilaian terhadap ekonomi meskipun secara umum positif, tapi terdapat sejumlah catatan negatif, terutama soal kehidupan ekonomi sehari-hari masyarakat. Inilah salah satu alasan dari faktor fundamental yang cukup menghambat petahana untuk memperoleh elektabilitas yang lebih tinggi dari yang diperolehnya saat ini berdasarkan hitungan QC.

Terlepas dari adanya catatan tersebut, empat faktor fundamental itu memberikan kontribusi kuat atas kecenderungan masyarakat pemilih untuk memberikan periode kedua kepada petahana. Bila keempat faktor fundamental itu diparalelkan dengan elektabilitas petahana berdasarkan survei-survei prapemilu, tergambar korelasi yang erat. Bila penilaian terhadap faktor fundamental meningkat positif, elektabilitas petahana meningkat atau stabil. Bila sebaliknya, elektabilitas petahanapun cenderung menurun karena secara rata-rata faktor fundamental cenderung positif, ia memberi alasan yang kuat atas proyeksi terpilihnya kembali petahana. 

     

Strategi pemenangan

Sejak awal, strategi dasar kedua kubu, minimal di atas permukaan cukup jelas terlihat, baik kubu Jokowi maupun Prabowo menggabungkan strategi demografi dan isu ekonomi. Bagi kubu Jokowi, mempertahankan wilayah-wilayah yang di 2014 dimenangkan dan merebut sejumlah wilayah yang dulu kalah. Dengan posisi sebagai petahana, Jokowi punya cukup alasan untuk meyakini strategi ini bisa berhasil. Maka dari itu, kinerja petahanalah yang menjadi isu pokok yang dijual, terutama soal pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi.

Bagi kubu Prabowo, ialah keharusan untuk menambah jumlah wilayah kemenangan jika dibandingkan dengan 2014, sekaligus merebut wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Terdapatnya narasi di awal masa kampanye resmi bahwa markas pemenangan kubu Prabowo antara lain dipusatkan di Jawa Tengah misalnya, ialah suatu bagian dari upaya membangun strategi demografi atau penguasaan wilayah seperti ini.

Cek Artikel:  Antinomi Aturan Pemilu Kagakkoruptor

Demi menjalankan strategi demografi ini, kubu Prabowo harus menggunakan isu yang paling menyentuh kehidupan masyarakat, dipadu dengan berbagai isu lainnya yang mungkin. Maka dari itu, isu ekonomi, terutama soal pekerjaan dan harga sembako menjadi isu terdepan (lead issues) yang dipakai. Masalahnya, isu ekonomi, terutama inflasi dan pembangunan infrastruktur justru menjadi isu utama yang dipakai petahana. Tak mengherankan kalau kubu Prabowo terus-menerus mencoba mendelegitimasi keberhasilan pembangunan infrastruktur misalnya, dengan narasi bahwa itu hanya menguntungkan segelintir orang (elite) dan membebani masyarakat karena dibangun dengan utang, termasuk utang dari Tiongkok.

Data QC menunjukkan bahwa strategi demografi untuk Prabowo berhasil memperluas wilayah yang mereka menangkan. Tetapi, strategi demografi Jokowi berhasil mempertebal kemenangannya di wilayah-wilayah kunci, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebut wilayah kunci karena jumlah pemilihnya sangat besar. Mengapa ini yang terjadi, tampaknya dapat dikaitkan dengan isu lain yang langsung maupun tak langsung terpakai dalam pilpres kali ini.

Data QC menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang berhasil direbut atau dibuat imbang oleh Prabowo jika dibandingkan dengan 2014 ialah DKI Jakarta dan beberapa daerah Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan dan Sumatra. Dalam bahasa yang lebih umum, wilayah yang dimenangkan Prabowo memiliki kecenderungan lebih kental Islamnya (terutama dalam pengertian politik) dan kecenderungan non-Jawa. Maka dari itu, kuat dugaan faktor-faktor identitas, terutama soal agama dan etnik berjalin dengan faktor-faktor lainnya membuat Jokowi kesulitan mempertahankan sejumlah wilayahnya atau memperluas jangkauan penguasaan provinsi.

Dalam temuan survei SMRC Maret misalnya, isu-isu identitas termasuk isu palsu tentang identitas terkait dengan Jokowi itu lebih berpengaruh kepada pemilih yang termasuk kental Islam (politik)-nya dan etnik luar Jawa. Akibatnya, upaya petahana untuk secara intensif mengunjungi dan memperhatikan wilayah-wilayah tersebut seperti ditunjukkan selama ini, tidak memberikan pengaruh elektoral yang signifikan. Sebaliknya, upaya petahana untuk menjual berbagai prestasi, terutama ekonomi secara intensif, tampak lebih berhasil di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga kemenangan petahana di wilayah tersebut di 2019 lebih tebal jika dibandingkan dengan 2014.

Ringkasnya, petahana di Pilpres 2019 ini diuntungkan sejumlah faktor fundamental yang positif, tapi lajunya terhambat sejumlah isu ekonomi yang berpadu dengan sejumlah isu lainnya, termasuk identitas. QC menunjukkan bahwa pengaruh faktor fundamental (incumbency) masih cenderung lebih kuat jika dibandingkan dengan faktor lainnya sehingga tidak membuat petahana menjadi kalah.

Mungkin Anda Menyukai